Boleh jadi pertarungan pada pilkada Jakarta putaran kedua nanti bukan hanya soal Ahok/Djarot vs Anies/Sandi saja, tetapi juga ada pertarungan dalam klan Soeryadjaya.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]T[/dropcap]idak akan ada kebakaran kalau tidak ada yang menyalakan api. Mungkin itu ungkapan yang cocok untuk menggambarkan situasi politik nasional secara umum dan peta politik di Jakarta secara khusus. Setelah berbulan-bulan lamanya energi semua orang terkuras dengan kasus dugaan penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), saat ini muncul kasus lain yang menjerat lawan politiknya.
Berita terbaru adalah adanya kasus hukum yang menimpa calon wakil gubernur (Cawagub) Sandiaga Uno. Sandi diduga terjerat kasus penggelapan uang. Kok bisa?
Sandi sudah mengikuti pemeriksaan yang dilakukan di Polda Metro Jaya selama 4 jam pada Jumat, 31 Maret 2017 kemarin. Ia dimintai keterangan terkait kasus dugaan penggelapan tanah. Pada pemanggilan sebelumnya, Sandi tidak hadir. Penyidik Subdit Harta Benda dan Bangunan Tanah (Harda Bangtah) Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya akan menanyakan kepada Sandi seputar jual beli lahan seluas 3.000 meter persegi di Curug, Tangerang, Banten. Sandi yang dilaporkan sebagai terduga pelaku penggelapan hasil penjualan tanah itu masih berstatus saksi.
Kapolda Metro Jaya, Irjen Mochamad Iriawan membantah adanya ‘pesanan politik’ dalam penyelidikan kasus ini. Menurut Kapolda, semua orang sama di mata hukum. Kepolisisan tak bisa memenuhi permintaan Sandi untuk menunda pemeriksaan hingga setelah pencoblosan 19 April 2017 nanti. Apalagi, Surat Edaran Peraturan Kapolri Nomor SE/7/VI/2014 tentang penangguhan kasus hukum calon kepala daerah telah dicabut. Hal yang sama terjadi ketika memproses hukum calon gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait dugaan penodaan agama.
Sandiaga Diperiksa, Kapolda: Tidak Ada Urusan dengan Elektabilitas https://t.co/ExQBBa7Pwy pic.twitter.com/DpU76xDoSj
— detikcom (@detikcom) March 30, 2017
Yang jelas, kasus ini membuat gelaran pilkada DKI Jakarta menjadi semakin menarik. Lalu, bagaimana sebetulnya awal mula kasus ini?
Kasus Penggelapan Aset Tanah
Sandi dilaporkan ke Polisi atas dugaan penggelapan aset tanah atas nama Djoni Hidayat. Djoni yang diwakilkan kuasa hukumnya RR Fransiska Kumalawati Susilo melaporkan Sandi dan Andreas Tjahyadi pada 8 Maret 2017. Djoni menuduhkan Sandi dengan dugaan pelanggaran Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara.
Sementara menurut kuasa hukum Sandi, Arifin Djauhari, kasus ini bermula pada 2001 ketika Edward Soeryadjaya melalui beberapa tangan melepaskan 1.000 lembar sahamnya atas PT Japirex. Sandi membeli 1.000 lembar saham tersebut dan akhirnya menjadi pemilik 40 % saham perusahaan. Dalam kedudukannya sebagai pemegang saham, Sandi masuk ke dalam kepengurusan perseroan sebagai komisaris.
Diperiksa Polisi, Sandiaga Bagikan Kue Hasil Ok Oce https://t.co/QqSauR3q4B pic.twitter.com/b8C4L7UlEy
— METRO TV (@Metro_TV) March 31, 2017
Pada perkembangannya, tanggal 11 Februari 2009, Sandi selaku pemegang saham 40 persen dan Andreas yang memegang saham 60 persen, memutuskan untuk membubarkan PT Japirex. Berdasarkan aturan umum yang berlaku untuk korporasi, ketika perusahaan dibubarkan, dibentuk tim likuidasi. Segala hak dan kewajiban yang melekat pada PT Japirex menjadi urusan tim likuidasi. Tim likuidasi yang diangkat dalam pembubaran tersebut adalah Andreas Tjahyadi selaku ketua tim likuidator, Effendi Pasaribu sebagai wakil ketua tim likuidator, Djoni Hidayat dan Triseptika sebagai anggota tim likuidator. Sementara – menurut kuasa hukum Sandi – nama Sandi tidak ada di dalam daftar tim tersebut.
Tugas tim likuidator mengurus segala hak dan kewajiban perseroan, termasuk jika ada aset yang harus dijual dan berapa hutang yang harus dibayar. Setelah semua hak dan kewajiban terlaksana, baru dilakukan pembagian berdasarkan proporsi saham yang dimiliki oleh pemegang saham. Dalam proses likuidasi, tim likuidator menjual sebidang tanah yang terletak di Curug. Luasnya 3.000 meter persegi, atas nama Djoni Hidayat.
Sebagaimana aturan korporasi, ketika dilikuidasi, ditentukan di mana dana hasil penjualan tersebut disimpan. Karena perusahaannya sudah tidak ada, maka dibuatkan akta untuk penyimpanan dana secara perseorangan. Dibuatlah akta yang menerangkan bahwa seluruh hasil penjualan itu dimasukkan ke dalam rekening Andreas selaku ketua. Oleh karena itu, menurut kuasa hukumnya, Sandi tidak pernah terlibat dalam kasus tersebut.
Namun, versi kisah yang lain menuturkan bahwa kasus ini bermula ketika Sandi dan Andreas berencana menjual aset tanah PT Japirex seluas sekitar 6.000 meter persegi yang berlokasi di jalan Curug Raya kilometer 3.5 Tangerang Selatan. Di belakang tanah asset PT Japirex itu terdapat tanah seluas 3.000 meter persegi milik Djoni Hidayat.
Tanah 3.000 meter milik Djoni itu adalah tanah titipan dari mendiang Happy Soeryadjaya yang tak lain adalah istri pertama dari konglomerat Edward Soeryadjaya. Sandi dan Andreas mengajak Djoni untuk ikut menjual tanahnya dengan iming-iming akan ada keuntungan dengan penjualan itu. Dalam laporannya kepada polisi bernomor LP/1151/III/2017/PMJ/Dit Reskrimum, Djoni Hidayat mengklaim tanah dengan total luas sembilan ribu meter persegi itu akhirnya laku Rp12 miliar. Persoalan muncul karena Djoni merasa tidak mendapatkan seluruh keuntungan yang dijanjikan Sandi. Edward Soeryadjaya pun turut menjadi pihak pelapor dalam kasus itu.
Atas penjualan tanah itulah Sandi kemudian digugat. Fakta adanya nama Edward Soeryadjaya di belakang kasus ini tentu membuat persoalan ini menjadi menarik. Mengapa demikian?
Pilkada dan Pertarungan dalam Klan
Edward Soeryadjaya adalah mantan rekan bisnis Sandi. Ia adalah putera sulung taipan pendiri grup Astra, William Soeryadjaya. Nama klan Soeryadjaya memang tidak bisa lepas dari Sandi. Kesuksesan bisnis Sandi pun tak lepas dari keluarga tersebut. Sandi adalah salah satu ‘murid’ berbisnis William Soeryadjaya.
Bisnis Sandi dimulai pada 1997 ketika ia bersama Rosan Perkasa Roeslani – yang kini menjabat Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) – mendirikan perusahaan penasihat keuangan bernama PT Recapital Advisors. Setelah mengenal William Soeryadjaya, kedekatan Sandi dengan klan Soeryadjaya pun berlanjut. Pada 1998, Sandi dan Edwin Soeryadjaya – putra kedua William Soeryadjaya – mendirikan perusahaan investasi bernama PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. Perusahaan itu berkecimpung di bisnis pertambangan, telekomunikasi, dan produk kehutanan.
Kinerja Saratoga terbilang sukses. Perusahaan mampu menyedot modal investor untuk mencaplok perusahaan-perusahaan bermasalah, kemudian melegonya setelah dibenahi. PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) menjadi salah satu perusahaan yang mampu dibenahi Saratoga.
Sejak Saratoga didirikan, Sandi menjadi pucuk pimpinan yang langsung mengarahkan bisnis perusahaan. Sandiaga juga ditengarai memiliki 16 jabatan di seluruh perusahaan dan anak usahanya. Namun, setelah memilih berfokus di dunia politik bersama Partai Gerindra, Sandi rela melepas semua jabatan di bisnisnya. Saat ini, tahta pimpinan Saratoga diserahkan kepada cucu William Soeryadjaya, Michael Soeryadjaya.
Sejatinya, masalah yang terjadi di antara Sandi dan Edward bukanlah hal yang baru. Sebelumnya, Edward melaporkan Sandi dangan tuduhan pemalsuan sertifikat lahan Depo Pertamina di Balaraja, Tangerang. Melalui PT Siwani Makmur Tbk, Edward melaporkan PT Pandan Wangi Sekartaji yang sempat dipimpin oleh Sandi ke Polda Metro Jaya atas dugaan pemalsuan dan penggelapan dokumen.
Perselisihan tersebut terus bergulir hingga Edward mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, putusan MA pada 21 Desember 2010 menolak permohonan kasasi Edward atas klaim lahan seluas 199.910 meter persegi yang dipersengketakan.
Setelah kasus itu berakhir, saat ini Edward kembali muncul dengan serangan tuntutan baru kepada Sandi tatkala sedang sibuk maju dalam panggung politik di Jakarta. Sandi dihantam dengan tuduhan penggelapan tanah yang berujung kerugian pihak lain. Tak pelak banyak yang menilai kasus ini sangat berkaitan dengan Pilkada Jakarta.
Desas-desus yang muncul di seputaran kasus ini adalah soal dukungan Edward Soeryadjaya kepada calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang bahkan sudah dilakukan saat ia mendukung Jokowi dan Ahok pada pilgub Jakarta 2012. Di beberapa forum, diskusi tentang masalah ini cukup hangat dibicarakan, walaupun belum bisa dibuktikan kebenarannya secara utuh.
Sementara di lain pihak, saudara Edward – Edwin Soeryadjaya – justru menjadi salah satu pihak yang mendukung Sandi. Maka, ketika Sandi mengatakan bahwa ada pertarungan ‘dua orang super kaya dalam kasus penggelapan tanah ini’, Sandi sesungguhnya mungkin merujuk pada dua orang ini.
Faktanya, beberapa pihak juga menyebutkan bahwa hubungan dalam keluarga Soeryadjaya juga sangat buruk. Hubungan Edward dan adiknya Edwin sangat buruk. Edwin dan saudara-saudara lainnya menuduh Edward sebagai sumber malapetaka grup Astra.
Boleh jadi pertarungan pada pilkada Jakarta putaran kedua nanti bukan hanya soal Ahok/Djarot vs Anies/Sandi saja, tetapi juga ada pertarungan kepentingan dalam klan Soeryadjaya. Benarkah demikian? Menanggapi kasus penggelapan tanah ini misalnya, Sandi sempat diundang oleh Edwin Soeryadjaya. Terkait undangan tersebut, Sandi mengatakan:
“Dia (Edwin) berpesan tabahlah, karena ini bukan yang pertama saya berhadapan dengan Pak Edward, sudah berkali-kali dan kuncinya sekarang ini kan bobotnya lebih ke arah politik, Pak Edward sudah secara terang-terangan mendukung calon lain, ya menurut saya ini sah-sah saja.”
Kalaupun hal tersebut benar, maka kasus hukum yang dituduhkan kepada Sandi pun menjadi sarat muatan politik. Menarik untuk ditunggu apa dampak kasus ini terhadap hasil pilgub putaran kedua pada 19 April nanti. (Berbagai sumber/S13)