Di tengah berbagai persoalan ekonomi, pemerintah justru terlihat lebih disibukkan dengan kasus Ferdy Sambo dan hacker Bjorka. Apakah ini menunjukkan potret negara yang latah? Apakah pemerintahan Jokowi tidak memiliki prioritas pembahasan masalah?
Pada tahun 1807, seorang jurnalis Inggris bernama William Cobbett menulis cerita menarik untuk menyindir rekan-rekan jurnalisnya. Di suatu sore, ia melihat seekor anjing sedang mengejar kelinci. Karena merasa kasihan, Cobbett melempar ikan haring merah (red herring) yang kebetulan ada di dapur rumahnya.
Karena ikan haring merah sangat berbau menyengat, anjing yang tadinya mengejar kelinci menjadi teralihkan dan lebih memilih memakan ikan tersebut. Sang kelinci pun lolos dari terkaman.
Cerita ini digunakan Cobbett sebagai metafora perilaku beberapa rekan jurnalisnya. Alih-alih fokus memberitakan isu domestik yang bersifat penting dan vital, para jurnalis justru sibuk memberitakan informasi palsu tentang kekalahan Napoleon Bonaparte.
Anjing yang diceritakan Cobbett merujuk pada para jurnalis. Mereka seharusnya fokus pada masalah serius, yakni memburu kelinci, bukannya memakan ikan haring merah berbau menyengat.
Kritik satir yang ditulis Cobbett lebih dari 200 tahun lalu itu tampaknya akan selalu relevan untuk direfleksikan, tidak hanya oleh para jurnalis, melainkan juga oleh para pejabat pemerintahan.
Pasalnya, seperti yang terlihat saat ini, di tengah berbagai persoalan ekonomi – seperti inflasi, turunnya tax ratio, dan meningkatnya utang – pemerintah justru terlihat lebih sibuk merespons isu-isu yang bersifat bombastis.
Dua yang paling menonjol terakhir ini adalah kasus Ferdy Sambo dan hacker Bjorka. Tentu dua isu itu penting. Yang pertama mengangkat persoalan laten di kepolisian.
Sementara yang kedua menunjukkan lemahnya keamanan siber Indonesia. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) bahkan langsung disahkan setelah mengalami pembahasan alot sejak tahun 2016.
Namun, masalahnya adalah, porsi pembahasan yang besar terhadap kasus Sambo dan Bjorka telah membuat pemerintah, jurnalis, dan masyarakat menjadi teralihkan dari persoalan yang jauh lebih esensial dan vital.
Padahal, apabila kita merujuk pada raison d’être negara dalam teori kontrak sosial, tugas utama negara adalah menjamin keberlangsungan hidup masyarakatnya. Jika pemerintah lebih sibuk merespons isu bombastis seperti Sambo dan Bjorka, bukankah ia telah berbelok dari raison d’être-nya untuk menjaga kehidupan masyarakat, yakni masalah ekonomi?
Seperti Merebus Katak?
Untuk menggambarkan situasi yang terjadi saat ini, ada sebuah anekdot menarik yang ditulis oleh Daniel Quinn dalam bukunya The Story of B.
Quinn bercerita, jika kita menaruh seekor katak di sebuah panci yang berisi air mendidih, katak tersebut pasti akan langsung meloncat untuk menyelamatkan diri. Namun, jika katak diletakkan dengan hati-hati di panci yang berisi air hangat dan dikecilkan apinya, katak tersebut akan tetap mengapung dengan tenang.
Saat air mulai memanas, katak itu akan tenggelam dalam keadaan pingsan karena kehabisan tenaga. Akhirnya, sang katak mati dalam keadaan direbus.
Cerita yang disampaikan Quinn menggambarkan berbagai situasi sosial-ekonomi. Masyarakat sering kali seperti katak. Kita akan langsung menyadari bahaya jika bahaya tersebut sudah besar dan terpampang nyata. Namun, jika bahaya itu hadir secara perlahan, banyak dari kita tidak akan menyadarinya.
Ketika bahaya-bahaya kecil sudah terakumulasi menjadi bahaya besar, sama seperti kasus katak di dalam panci, kita sudah terlambat untuk melompat, dan krisis pun terjadi.
Senada dengan anekdot tersebut, Jared A. Brock dalam tulisannya We’re Living in a Boiling Frog Economy juga menjelaskan, jika lingkungan sosio-ekonomi-politik berubah dalam waktu yang lambat secara gradual, kebanyakan orang tidak akan menyadarinya, bahkan cenderung menormalisasinya.
Brock mencontohkan kasus kenaikan harga suatu barang. Jika kenaikan terjadi secara gradual alias sedikit demi sedikit, masyarakat cenderung menganggapnya lumrah. Padahal, jika dirunut secara kronologis, mungkin kenaikan harga tersebut akan terlihat luar biasa.
Sebagai ilustrasi, katakanlah pada bulan Januari 2022, uang Rp200 ribu cukup untuk membeli kebutuhan pokok selama satu bulan. Dua bulan berikutnya, ternyata kita dibutuhkan Rp220 ribu. Pada bulan Mei 2022, kita harus menghabiskan Rp250 ribu. Dan di bulan Agustus 2022, uang yang harus dikeluarkan adalah Rp270 ribu.
Jika tidak memperhatikan kronologisnya, mungkin kita akan menganggapnya remeh, kenaikannya hanya Rp20-30 ribu. Padahal, jika dirunut dari Januari sampai Agustus 2022, terjadi kenaikan signifikan dari Rp200 ribu menjadi Rp270 ribu. Pada tahun 2023, mungkin kita akan mengeluarkan uang sampai Rp300 ribu untuk belanja bulanan.
Cerita katak rebus sekiranya terjadi pada Krisis Moneter tahun 1998 (Krismon 98). Galina Hale dalam tulisannya Could We Have Learned from the Asian Financial Crisis of 1997-98? mengatakan Krismon 98 sebenarnya dapat dihindari jika para investor dan pembuat kebijakan di Indonesia tidak mengabaikan beberapa tanda peringatan krisis ekonomi.
Waktu itu, permasalahan modal asing tidak terasa bagi pemerintah karena secara makro perekonomian masih dianggap dalam keadaan baik.
Investor dan pembuat kebijakan melewatkan beberapa tanda peringatan dari ledakan pinjaman yang tidak berkelanjutan, seperti rasio utang terhadap ekuitas perusahaan yang tinggi. Pada tahun 1996, rasio utang terhadap ekuitas perusahaan mencapai 310 persen. Sementara rasio utang jangka pendek terhadap cadangan bank sentral mencapai 177 persen.
Singkat cerita, tidak terdeteksinya tanda-tanda ancaman ekonomi itu yang membuat Krismon 98 meletus.
Pemerintah Harus Paranoid?
Agar tidak bernasib sama seperti katak di cerita Quinn, pemerintah perlu merefleksikan temuan Jared Diamond dalam bukunya The World Until Yesterday. Ketika berinteraksi dengan masyarakat tradisional di Papua Nugini, Jared sempat bingung dengan perilaku mereka yang takut bermalam di bawah pohon.
Ketika Jared mendirikan tenda untuk beristirahat di bawah sebuah pohon yang telah mati, orang-orang Papua Nugini yang menemaninya justru menolak ajakan untuk tidur bersama di tenda. Jared sampai keheranan kenapa mereka menolak dengan reaksi ketakutan yang menurutnya berlebihan.
Mereka takut pohon mati itu tiba-tiba roboh dan lebih memilih tidur di tempat lain yang agak jauh. Jared mencoba meyakinkan mereka bahwa pohon itu masih kokoh dan butuh waktu bertahun-tahun untuk roboh. Namun, mereka tetap memilih tidur di luar karena begitu ketakutan.
Beberapa hari kemudian, Jared menjadi paham mengapa orang-orang Papua Nugini yang menemaninya begitu ketakutan. Setiap harinya Jared mendengar suara pohon roboh dari kedalaman hutan. Ketika melihat statistik, tertimpa pohon roboh ternyata adalah salah satu faktor utama yang paling banyak membunuh masyarakat tradisional Papua Nugini.
Di titik itu, Jared menjadi paham. Ketakutan mereka bukanlah ketakutan yang berlebihan, melainkan ketakutan yang sangat wajar. Justru karena ketakutan itulah, masyarakat tradisional Papua Nugini dapat meningkatkan kemungkinan bertahan hidupnya di hutan belantara yang dapat mengancam nyawa mereka setiap saat. Mereka sangat awas terhadap potensi ancaman.
Pengalaman itu menginspirasi Jared untuk membuat istilah “paranoia konstruktif”, yakni rasa takut positif yang berguna untuk bertahan hidup. Tidak seperti pandangan umum yang mendefinisikan paranoia sebagai istilah peyoratif, Jared justru menggunakannya dalam artian positif dengan menambahkan kata “konstruktif” di belakangnya.
Dengan demikian, agar pemerintah tidak bernasib sama seperti katak yang direbus dan tidak latah dalam menghadapi berbagai krisis, pemerintah perlu menerapkan paranoia konstruktif. Pemerintah harus memetakan masalah-masalah krusial saat ini, serta potensi masalah yang mungkin terjadi di masa depan.
Itu lah harapan kita terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Pun demikian dengan pemerintahan selanjutnya di 2024 nanti. (R53)