Kasus pembunuhan Brigadir J dengan tersangka Irjen Ferdy Sambo agaknya menguak satu fenomena menarik mengenai keberadaan “geng” di internal Polri yang sempat dikemukakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Lantas, mengapa fenomena geng itu bisa terjadi?
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membeberkan sejumlah pernyataan menarik pasca kasus Irjen Ferdy Sambo sedikit demi sedikit mulai terkuak. Salah satunya adalah mengenai eksistensi geng di tubuh Polri.
Ya, dalam unggahannya di Twitter, Mahfud mengaitkan kasus pembunuhan Brigadir J dengan keberadaan ranjau geng pelaku yang ditengarai merintangi proses pengungkapan.
“Begitu juga dalam kasus pembunuhan Brigadir J ini, sejak awal saya yakin bisa diungkap asal kita kawal dari ranjau geng pelaku,” ungkap Mahfud MD tanpa menjabarkan lebih lanjut geng yang dimaksud.
Sebelumnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga mengemukakan istilah menarik yang agaknya masih berkorelasi dengan frasa “geng”, yakni mabes di dalam mabes.
Seolah mengafirmasi analisis sejumlah pengamat, Mahfud menyatakan bahwa di Mabes Polri terdapat beberapa sub-Mabes yang kemungkinan saling bersaing dan saling menyandera di balik upaya pengungkapan kasus.
Itu dikarenakan kasus terbunuhnya Brigadir J sejauh ini menyeret beberapa perwira tinggi sekaligus pejabat utama Trunojoyo 3.
Jika ditafsirkan secara harfiah, serangkaian pernyataan Mahfud – dengan kapasitasnya sebagai seorang Menko Polhukam – agaknya turut membenarkan postulat selama ini atas eksistensi kubu-kubu di internal Polri. Termasuk sekelumit gambaran soal bagaimana “permainan” mereka.
Lantas, mengapa fenomena keberadaan geng ini dapat terjadi di institusi penegak hukum seperti Polri?
Fragmentasi Hierarki?
Ruang interpretasi seolah terbuka di saat Mahfud melontarkan terminologi “ranjau geng”. Hal ini seketika membuka kembali sinyalemen eksistensi beberapa geng saat pergantian Kapolri dari Jenderal Idham Azis pada penghujung 2020 lalu.
Ketika itu, Presidium Indonesia Police Watch (IPW) mendiang Neta S Pane menyebut ada upaya suksesi Idham dengan membuka peluang kepada orang-orang kepercayaannya seperti Fadhil Imran dan Ahmad Dofiri untuk menduduki posisi strategis.
Poros tersebut banyak dibingkai dalam wacana yang berkembang sebagai geng Makassar.
Situasi itu dinilai Neta untuk menggeser kekuatan geng Solo (koneksi dengan Presiden Joko Widodo) dan memperkuat geng Makassar. Plus memberi peluang pula bagi geng Pejaten (koneksi dengan Jenderal Budi Gunawan).
Meskipun Neta tak menjelaskan secara rinci mengenai geng di internal Polri, apa yang menjadi analisisnya tampak memiliki relevansi, yakni ketika berkaca pada karya ikonik berjudul Il Principe karya filsuf Italia Niccolò Machiavelli.
Dalam buku yang diterbitkan pada tahun 1532 itu, Machiavelli telah menyebutkan bahwa kekuasaan dan pengaruh memang lebih mudah dipertahankan apabila pihak terdekat yang ditunjuk sebagai suksesor, pembantu, dan sebagainya.
Meskipun terdengar seperti melanggengkan praktik nepotisme, praktik tersebut nyatanya memang harus dilakukan.
Tak lain, perumusan kebijakan yang efektif akan lebih mudah diimplementasikan apabila bekerja sama dengan pihak-pihak yang telah dipercayai sebelumnya.
Paling tidak, keputusan penunjukan Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri suksesor Jenderal Idham Azis, tampaknya memengaruhi konstelasi aktor-aktor prominen dalam geng lain untuk “menepi” sejenak.
Selain faktor itu, terdapat satu faktor berikutnya untuk memahami presumsi eksistensi geng dalam tubuh Polri.
Lagi-lagi Mahfud MD yang menjadi titik tolak analisis ketika dalam sebuah kesempatan mengatakan kasus penembakan Brigadir J bukanlah kriminal biasa. Menurutnya, ada aspek psiko-hierarki dan psiko-politis yang membuat kasus sulit diungkap.
Dalam konteks keilmuan, Peneliti Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Dicky Pelupessy mendefinisikan dua aspek yang dikemukakan Mahfud.
Dicky mendefinisikan psiko-hierarki sebagai hubungan hierarki, yaitu antara kedudukan lebih tinggi dan yang lebih rendah atau antara atasan dengan bawahan. Dalam analisisnya, hierarki itu melibatkan sesuatu yang tak kasat mata dan rumit.
Sementara itu, aspek psiko-politis dimaknai dan dapat berkaitan dengan hierarki individu ataupun institusi yang kemungkinan beririsan dengan aktor-aktor di luar institusi, terutama di ranah politik.
Ranah tersebut kiranya dapat menjadi variabel penjabaran yang relevan mengenai akar terbentuknya sejumlah geng di internal Polri, yang boleh jadi merupakan hasil dari tarik-menarik kepentingan ekonomi-politik atau vested interest.
Ahmad Khoirul Umam dalam Understanding the influence of vested interests on politics of anti-corruption in Indonesia, menyiratkan bahwa vested interest memiliki pengaruh besar dalam fungsi-fungsi politik dan pemerintahan di tanah air.
Lalu, benarkah kepentingan itu telah masuk ke sendi-sendi aparat penegak hukum seperti Polri dan berkonsekuensi pada munculnya geng-geng internal?
Kekeliruan Jokowi?
Sayangnya, presumsi bahwa vested interest telah masuk ke ranah penegakan hukum seperti Polri tampak selaras dengan apa yang dikemukakan Made Supriatma dalam publikasinya di ISEAS–Yusof Ishak Institute berjudul The Indonesian police’s dual function under Jokowi.
Menurut Made, Presiden Jokowi telah memperkuat posisi politik Polri. Ini tampak jelas dari intrik promosi Jenderal Budi Gunawan menjadi pimpinan Polri meskipun sebelumnya sempat terseret kasus suap dan gratifikasi.
Tekanan publik tak menghalangi Presiden Jokowi dengan menggeser Budi Gunawan ke Badan Intelijen Negara dan menunjuk Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri. Rotasi ini kemudian dinilai kian menebalkan aroma konsesi politik.
Meskipun tampak ironis, namun jika mengacu pada intisari buku Il Principe serta makna aspek psiko-hierarki seperti yang dijelaskan sebelumnya, apa yang dilakukan Presiden Jokowi memiliki relevansi dalam dimensi tersendiri.
Apalagi, relasi rumit tak kasat mata itu kiranya juga terjadi di negara-negara lain. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, penggeledahan rumah mantan Presiden Donald Trump oleh FBI pada 8 Agustus lalu ditengarai memiliki tendensi politis dan vested interest.
Elite Partai Republik Kevin McCarthy menduga Departemen Kehakiman sebagai induk FBI yang dipimpin Jaksa Agung Merrick Garland memiliki kecondongan tertentu dalam upaya pembongkaran dugaan kasus spionase itu.
Memang, dalam publikasi berjudul Restoring Integrity and Independence at the U.S. Justice Department, dijabarkan bahwa penegakan hukum di AS kerap beririsan dengan berbagai motif kepentingan. Salah satu pemantik hipotesa itu adalah terkuaknya Skandal Watergate pada tahun 70-an.
Tak hanya di AS, India juga memiliki kecenderungan itu sebagaimana dijelaskan Julio Ribeiro dalam Times Face-off: Is it time to loosen political control over police.
Disebutkan bahwa India telah memiliki kecenderungan vested interest sejak kasus aib pogrom Sikh di Delhi pada tahun 1984 dan di Gujarat pada tahun 2002.
Malaysia pun dinilai memiliki karakteristik kepolisian yang demikian. Haniza Hanim Mustaffa Bakri, Jamaliah Said, dan Zulyanti Abd Karim dalam jurnal berjudul Case Study on Integrity among Royal Malaysian Police (RMP): An Ethical Perspective, melihat institusi kepolisian dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaan atau memanfaatkan jabatannya untuk keuntungan pribadi.
Ketiganya menemukan bahwa perilaku-perilaku tidak etis dalam perspektif warga Malaysia terhadap Polis Diraja Malaysia (PDRM) masih cukup tinggi meskipun sulit dibuktikan secara empiris.
Padahal, karakteristik kepolisian semacam itu bertolakbelakang dengan bagaimana kondisi ideal di sebuah negara demokratis.
Dalam teori kontrak sosial yang dipopulerkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke, masyarakat telah memberikan haknya kepada negara dalam sebuah kesepakatan atau kontrak. Negara dalam konteks ini mencakup berbagai instrumen yang dimilikinya, termasuk aparat penegak hukum.
Akan tetapi, dengan kondisi aparat penegak hukum yang memiliki karakteristik seperti yang telah dijabarkan di atas, bagaimana negara memenuhi hakikatnya (raison d’être) dalam sebuah kontrak sosial?
Bagaimana negara mampu memberikan rasa aman dan keadilan bagi masyarakatnya jika di internal penegak hukum saja keadilan itu tidak terjadi?
Di atas semua itu, secara khusus, kasus Irjen Ferdy Sambo diharapkan dapat menjadi titik awal reformasi sesungguhnya bagi Polri ke arah yang lebih baik. (J61)