Site icon PinterPolitik.com

Saling Tuduh Komunisme vs Khilafah

Jokowi dan Prabowo di Istana Bogor (foto: istimewa)

Isu “Jokowi PKI” ataupun “Prabowo Khilafah” merupakan bentuk dehumanisasi dan pembunuhan karakter dalam Pilpres


PinterPolitik.com

[dropcap]J[/dropcap]elang 30 September, isu mengenai PKI kembali mengemuka. Salah seorang pentolan oposisi pemerintah, politisi PKS Mardani Ali Sera misalnya mengusung tagar #2019TetapAntiPKI. Kelompok oposisi di luar pemerintahan Jokowi memang tergolong rajin membawa isu ini.

Dalam kadar tertentu, kelompok oposisi dan pendukung Prabowo kerap mengalamatkan isu PKI ini kepada petahana Joko Widodo (Jokowi). Sejak 2014, Jokowi kerap dituding sebagai keturunan PKI.

Di lain pihak, kubu oposisi dan pendukung Prabowo juga kerap mendapat tuduhan yang sama rendahnya dari segelintir pendukung Jokowi. Prabowo misalnya belakangan dianggap akan mengganti sistem yang ada dengan sistem khilafah jika ia terpilih menjadi presiden. Hal ini kemudian ditambahkan dengan isu bahwa HTI telah mendukung mantan Danjen Kopassus tersebut.

Terlihat bahwa ada aksi saling tuduh dari masing-masing kubu. Ada nuansa saling merendahkan melalui isu-isu sensitif seperti komunisme dan khilafah. Lalu, mengapa kedua kelompok ini memilih langkah seperti ini untuk menyerang lawan masing-masing?

Isu PKI ditujukan ke Jokowi

PKI telah dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia sejak tahun 1966. Larangan itu tertuang dalam TAP MPRS No. 25/1966. Namun, isu kebangkitan PKI kerap kali muncul ke permukaan ketika negara ini memasuki tahun politik. Isu kebangkitan PKI sendiri mulai marak sejak Pilpres 2014, dimana tuduhan itu mengarah kepada Jokowi.

Pada tahun 2014, Jokowi yang maju ke kontestasi Pilpres dengan bermodalkan prestasi selama menjadi Wali Kota Solo dan pengalaman singkat sebagai Gubernur DKI, langsung dihantam dengan isu-isu miring bahwa ia adalah keturunan PKI dan Tiongkok. Lalu tersebar kabar luas bahwa ketika Jokowi memenangkan Pilpres, maka PKI akan bangkit.

Isu kebangkitan PKI dikemas dengan sangat rapi dan tersistematis. Isu itu disebar melalui media sosial, situs-situs Islam konservatif, dan tabloid. Obor Rakyat adalah tabloid yang sempat menggegerkan masyarakat pada tahun 2014, karena tabloid ini menuding bahwa Jokowi merupakan keturunan PKI  dan anak seorang Tionghoa.

Tabloid Obor Rakyat dapat digolongkan sebagai bentuk propaganda hitam yang serius, terorganisasi dan berbiaya besar. Tabloid itu diduga telah dicetak jutaan eksemplar dan didistribusikan gratis ke masjid-masjid dan pesantren-pesantren.

Peneliti SMRC, Sirajuddin Abbas berpendapat bahwa opini kebangkitan PKI di masyarakat tidak terjadi secara alamiah, melainkan hasil mobilisasi opini kekuatan politik tertentu. Pendapat ini seolah menegaskan bahwa isu-isu PKI di tahun politik merupakan agenda setting dari kekuatan politik tertentu untuk menyerang Jokowi.

Isu kebangkitan PKI di masyarakat tidak terjadi secara alamiah, melainkan hasil mobilisasi opini kekuatan politik tertentu Share on X

Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Rommy) pernah menyatakan bahwa isu Jokowi adalah keturunan PKI merupakan senjata politik lawan-lawan Jokowi pada Pilpres 2014. Rommy mengaku bahwa ia tahu hal itu karena pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Strategi Kampanye Prabowo-Hatta ketika PPP masih mendukung Prabowo tahun 2014.

Sekalipun lawan-lawan politik Jokowi membantah hal itu, rasanya sulit bagi masyarakat untuk percaya bahwa isu PKI terjadi secara alamiah tanpa setting. Pasalnya, tuduhan itu sering kali disuarakan oleh kelompok oposisi seperti Fadli Zon, Rizieq Shihab, Alfian Tanjung, hingga purnawirawan seperti Kivlan Zein. Mardani Ali Sera juga baru-baru ini memposting #2019GantiPresiden dengan tambahan #2019TetapAntiPKI dalam Twitter pribadinya.

Serangan ini merupakan bentuk dehumanisasi terhadap Jokowi.  Menurut David Livingstone Smith, dehumanisasi adalah tindakan menempatkan orang lain sebagai makhluk tidak manusiawi (subhuman). Dalam konteks ini, terlihat bahwa harkat dan martabat Jokowi coba dihancurkan dengan fitnah bahwa ia merupakan keturunan PKI. Dehumanisasi telah membunuh karakter Jokowi. Jokowi sendiri mengaku isu komunis tersebut sangat melukai perasaannya.

Berdasarkan hasil penelitian Indikator Politik Indonesia, ada korelasi antara massa yang menolak PKI dengan massa yang berpotensi untuk ditarik ke dalam sebuah kekuatan politik sejumlah partai yang ikut Pemilu 2019. Maka demi kepentingan politik elektoral, bukan tak mungkin isu kebangkitan PKI akan kembali mewarnai kontestasi Pilpres sebagai senjata politik untuk melawan Jokowi.

Serangan Balik Isu Khilafah?

Belum lama ini beredar spanduk HTI mendukung Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019. Spanduk dukungan itu terpasang di sepanjang jalan menuju tempat acara Ijtima Ulama II di Hotel Grand Cempaka Jakarta. Bahkan spanduk itu juga terpasang di Halte Bus Transjakarta dekat lokasi Ijtima Ulama II dengan bernada tulisan “HTI siap mendukung Ijtima Ulama II Mewujudkan Negara Khilafah”.

Pada awal pemerintahan Jokowi, HTI dapat bergerak dengan bebas. Namun, keadaan berubah ketika HTI, FPI dan kelompok Islam telah memobilisasi massa pada aksi bela Islam sepanjang 2016-2017. Melalui Perppu Ormas, Jokowi membubarkan HTI dengan asalan bahwa HTI dengan cita-cita khilafah bertentangan dengan konstitusi Indonesia dan ideologi Pancasila.

Setelah HTI dibubarkan, Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar telah mengambil garis tegas terhadap HTI. Dengan sepenuh hati NU mendukung keputusan Jokowi untuk membubarkan HTI. Dukungan NU sangat berarti bagi Jokowi karena hal itu bisa membantah tuduhan kalau Jokowi anti-Islam.

Jon Emont dalam tulisan berjudul As Indonesia Targets Islamist Hard-Liners, Even Rights Groups Object berpendapat bahwa pembubaran HTI adalah bagian dari upaya lebih luas Jokowi untuk mengendalikan kekuatan Islam garis keras yang menentang pemerintahannya sebelum Pilpres 2019.

Setelah mempersempit ruang kelompok Islam fundamentalis, pendukung Jokowi coba memunculkan isu intoleransi dan radikalisme ke tengah masyarakat. Intoleransi dan radikalisme dipropagandakan sebagai ancaman bagi NKRI karena bisa memecah-belah bangsa. Propaganda itu dikampanyekan secara sistematis melalui media sosial, spanduk-spanduk jalan, hingga berbagai kegiatan dari institusi pemerintahan.

Bisa saja isu intoleransi, radikalisme dan negara khilafah merupakan “isu balasan” dari kubu Jokowi untuk melawan kelompok Islam fundamentalis yang selama ini menuduh Jokowi sebagai PKI. Pendukung Jokowi seperti ingin mengalihkan opini masyarakat bahwa ancaman bagi keutuhan NKRI bukanlah komunisme, melainkan radikalisme dan intoleransi.

Dehumanisasi itu seperti digunakan pula oleh pendukung Jokowi untuk menjatuhkan harkat dan martabat Prabowo sebagai manusia. Sempat tersebar isu bahwa Prabowo tidak bisa salat.

Selain tak bisa solat, tersebar kabar bahwa Prabowo didukung oleh HTI. Hingga seandainya Prabowo menang maka Indonesia akan berubah menjadi negara Khilafah. Spanduk dukungan HTI terhadap Prabowo-Sandiaga di sepanjang jalan menuju Ijtima Ulama II belum lama ini boleh jadi merupakan bentuk dehumanisasi untuk menjatuhkan Prabowo.

Isu Jokowi PKI ataupun Prabowo dukung khilafah merupakan bentuk dehumanisasi manusia dalam Pilpres 2019. Dehumanisasi digunakan sebagai alat untuk membunuh karakter seseorang melalui fitnah dan merendahkan martabat. Tujuan utama dari dehumanisasi adalah untuk kepentingan jangka pendek, yakni memenangkan kontestasi politik.

Strategi poltik seperti itu merupakan ancaman bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Pasalnya, kedua kubu tidak lagi bertarung dalam ruang lingkup gagasan, melainkan sudah melakukan serangan terhadap pribadi seseorang.

Jika kedua kubu terus mempertahankan tradisi politik seperti ini, maka bukan tidak mungkin hal tersebut akan mempengaruhi pola pikir sebagian masyarakat dalam memandang Jokowi sebagai PKI ataupun Prabowo sebagai pendukung khilafah.

Lambat laun fitnah itu bisa diyakini menjadi sebuah kebenaran oleh masyarakat sekalipun Pilpres sudah usai. Maka hal itu akan menjadi bom waktu yang bisa menghancurkan persatuan dan kesatuan NKRI. (D38)

Exit mobile version