HomeHeadlineSaling Sikut Cawapres Ganjar, Sandi vs Erick?

Saling Sikut Cawapres Ganjar, Sandi vs Erick?

Satu kursi calon wakil presiden (cawapres) untuk mendampingi Ganjar Pranowo agaknya akan diperebutkan dengan sengit oleh Sandiaga Uno dan Erick Thohir. Jika keliru dalam memilih, koalisi PDIP kiranya justru akan terkena bumerang politik. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com 

Mengacu pada dinamika politik yang mengemuka hingga detik terakhir, Sandiaga Uno dan Erick Thohir kiranya menjadi dua nama terkuat yang akan bertarung memperebutkan satu kursi cawapres untuk mendampingi Ganjar Pranowo. 

Ihwal itu sendiri berangkat dari sejumlah variabel yang ada, yakni nama keduanya yang selalu teratas dalam bursa cawapres, modal politik, hingga gelagat ambisi politik mereka dalam sejumlah gestur, langkah, dan pernyataan. 

Jika itu terjadi, Sandi dan Erick kini dihadapkan pada pertarungan yang lebih dekat dengan level yang berbeda dibandingkan Pilpres 2019. 

Pada kontestasi elektoral edisi tersebut, berada di dua kutub yang bersaing panas. Sandi menjadi calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto, sementara Erick dipercaya menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin. Di akhir laga, Erick-lah pemenangnya. 

Menariknya, atmosfer panas persaingan kala itu tak membuat mereka turut larut bersitegang. Faktor utamanya kemungkinan dikarenakan Sandi dan Erick adalah sahabat karib sejak kecil. 

Ya, seperti diketahui, Sandi dan Erick yang usianya terpaut tak sampai satu tahun itu telah berkawan sejak Sekolah Dasar (SD) hingga sama-sama menuntut ilmu bangku kuliah ke negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS).

infografis pan dukung ganjar erick

Kendati Sandi menempuh magister di George Washington University dan Erick di National University (California), persahabatan keduanya terus berlanjut karena memiliki kesamaan minat di bidang bisnis. 

Bahkan, istri dan anak-anak kedua tokoh itu juga diketahui bersahabat satu sama lain dan kerap terlihat bersama dalam agenda rutin. 

Sekembalinya ke Indonesia, Sandi dan Erick bergabung dan aktif di HIPMI (Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia)  

Erick Thohir dan Sandiaga Uno keduanya tergabung menjadi anggota HIPMI (Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia). Erick adalah pengurus saat Sandi menjabat sebagai Ketua Umum (Ketum) HIPMI periode 2005-2008. 

Akan tetapi, pertarungan yang kemungkinan eksis untuk memperebutkan satu kursi cawapres Ganjar kali ini kiranya akan berbeda. Sebab, kembali, mereka kiranya akan dihadapkan pada persaingan di balik layar dengan segala lobi, intrik, proses, serta dinamika politiknya. 

Tak menutup kemungkinan, efek dari persaingan itu bisa mengubah secara drastis poros politik dan keberpihakan entitas politik lain di Pemilu dan Pilpres 2024. Mengapa demikian? 

2024, Cawapres Sangat Krusial? 

Sebelum menganalisis lebih dalam persaingan dan dampak dari kemungkinan persaingan Sandi-Erick memperebutkan kursi cawapres, menelaah esensi kandidat RI-2 kiranya dapat menjadi pintu masuk terbaik. 

Di ekosistem demokrasi dengan proses pemilihan presiden dan wakil presiden (wapres), ada kalanya posisi “wakil” dianggap sebelah mata. Tak terkecuali dalam tahapan penentuan kandidat dan calon wakil itu sebelumnya oleh sebuah poros politik. 

ppp dorong ganjar sandi 1

Apalagi, preseden kontribusi mereka kala menjabat sering kali terbatas dan tampak minim akibat berbagai hal. Mulai dari personalitas sosok wakil tersebut hingga – yang paling utama – kewenangan dan regulasi yang mengaturnya. 

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Postulat itu pun tampak teraktualisasi di Pilpres 2019 saat Ma’ruf Amin ditunjuk Koalisi Indonesia Maju sebagai cawapres Jokowi di “menit-menit akhir”. 

Kendati Ma’ruf juga memiliki basis massa, ekspektasi tertinggi kala itu sebenarnya cenderung mengarah kepada Mahfud MD. Itu setelah “spill” fitting busana pengumuman cawapres dikuak Mahfud sendiri kala itu sebagai bentuk kekecewaannya batal diusung. 

Namun, penentuan sosok cawapres di Pilpres 2024 kali ini kemungkinan akan berbeda. Bahkan, bisa saja menentukan proses pembentukan koalisi, postur koalisi politik final, serta hasil akhir kontestasi nantinya. 

Itu termasuk koherensi yang akan memengaruhi probabilitas persaingan Sandi dan Erick untuk memperebutkan posisi cawapres Ganjar. Setidaknya, hal itu dapat diinterpretasikan berdasarkan tiga hal. 

Pertama, dalam buku berjudul Do Running Mates Matter?: The Influence of Vice Presidential Candidates in Presidential Elections, Christopher Devine dan Kyle Kopko menjelaskan signifikansi seorang calon wakil melalui dua istilah, yakni running matte effects dan “Vice President (VP) Formula”. 

Menurut kajian keduanya, persepsi mengenai signifikansi seorang wakil selalu ada dan justru cukup menentukan. 

Keduanya berangkat dari riwayat proses politik di antara para aktor selama ini yang secara langsung memengaruhi kontestasi elektoral, baik dilihat dari perspektif sang kandidat utama, maupun dari sudut pandang para pemilih. 

Devine dan Kopko menyebut esensi dari VP Formula terkait pertimbangan terpenting aktor politik, yaitu memilih kandidat yang dapat membantu mereka mengendalikan situasi dan/atau menjadi presiden. 

Di sisi lain, kandidat presiden dan sebuah poros politik juga tampaknya percaya bahwa “game changer” yang direpresentasikan sosok wapres dapat membantu mereka menutup celah jika mereka tertinggal. 

Ini menunjukkan bahwa mereka yakin pasangan wapres tepat dapat mengayunkan suara ke arah yang positif. 

Sementara itu, pemilih pun tampaknya memiliki keyakinan yang sama. Seperti yang ditunjukkan oleh Devine dan Kopko dalam bukunya, sekitar 80 persen pemilih di AS menyebut cawapres berkontribusi pada pilihan suara mereka pada tahun 2016. 

Kedua, Pilpres 2024 kali ini boleh jadi merupakan yang paling menarik sejak Reformasi. Akan menghasilkan Presiden ke-8 RI, partai politik (parpol) dan para aktor di dalamnya kemungkinan akan berupaya semaksimal mungkin berinisiatif membentuk poros pemenang. 

Jika ditelaah dari kaca mata pragmatisme politik, tentu hal itu demi kesempatan mendapat ruang terbaik dan terbanyak di kekuasaan. 

Sejauh ini, tiga bacapres, yakni Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, telah mengemuka serta menghasilkan riak dan tensi politik yang cukup panas. 

Sebagaimana diketahui, hubungan Presiden Jokowi dan Ketum Partai NasDem Surya Paloh (penyokong Anies) yang sedang menghangat karena berbeda arah politik kiranya akan terus meruncing. 

Sementara itu, meskipun poros politik pendukung Prabowo tampak bersahabat dengan kubu Ganjar di bawah rangkulan Presiden Jokowi – dengan kewenangannya, perebutan konsesi kekuasaan kiranya akan tetap terjadi. 

Itu sebagaimana pandangan realisme politik yang menurut Alexander Moseley dalam Political Realism dan Utopianism adalah praktik yang sarat dengan egoisme dan banalitas untuk mencapai kekuasaan, termasuk di dalamnya adalah sikap oportunisme. 

Baca juga :  Possible Rebound Andika Perkasa

Oleh karena itu, perebutan, persaingan, hingga penentuan sosok cawapres tampaknya akan begitu krusial membentuk poros politik final di Pemilu dan Pilpres 2024. 

Selain itu, terdapat satu interpretasi lain untuk menjawab mengapa impresi persaingan perebutan cawapres di antara Sandi dan Erick akan sangat menarik. Apakah itu? 

Adu Kuat Modal? 

Jika menerka mengapa Sandi maupun Erick menjadi dua sosok prominen dan ideal untuk mendampingi Ganjar, relasinya dengan dua subjek berbeda kiranya dapat dijadikan tolok ukur. 

Pertama, dari sisi Sandi. Secara popularitas dan reputasi, sosok Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) itu kiranya cukup positif, terutama di media sosial. 

Selain itu, Sandi juga tampak memanfaatkan tupoksinya sebagai Menparekraf untuk membangun citra di akar rumput, khususnya bidang tourism dan UMKM. 

Sementara secara politik dan korelasinya dengan aspek ideologis, Sandi belakangan dekat dengan para kiai dan ulama. Ihwal yang kiranya menjadi salah satu pemantik semakin dekatnya kepindahan ia ke PPP. Ini tentu dapat melengkapi sosok cawapres, khususnya Ganjar yang cenderung memiliki karakteristik nasionalis. 

Sementara itu, PPP sendiri merupakan parpol eksternal pertama yang telah menyokong Ganjar sebagai capres 2024. 

Tentu, sederet variabel itu kiranya dapat menjadi modal yang cukup positif bagi Sandi untuk menopang “VP Formula” ideal seperti yang dijelaskan Devine dan Kopko. 

Akan tetapi, Erick pun kiranya memiliki variabel yang tak kalah kuat. Bahkan, tampaknya lebih dari pada apa yang dimiliki Sandi saat ini. 

Selain begitu dekat dengan Presiden Jokowi dan PDIP, Erick juga memiliki militansi di media sosial. Kinerjanya di PSSI dan Kementerian BUMN pun sejauh ini terlihat cukup baik, meski diliputi sedikit sentimen minor. 

Menariknya, Erick juga memiliki kedekatan dengan Nahdlatul Ulama (NU). Dalam agenda kolosal NU, Erick bahkan dipercaya menjadi Ketua Dewan Pengarah Panitia Hari Lahir (Harlah) ke-100 ormas Islam terbesar di Indonesia itu. 

Selain itu, sebagai sosok pejabat-pengusaha, keduanya juga bukan tidak mungkin disokong oleh modal finansial mumpuni untuk mendukung kemungkinan ambisinya menjadi cawapres Ganjar. 

Akan tetapi, impresi dukungan modal finansial kiranya kembali tak berpihak pada peluang positif bagi Sandi. 

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik dari tim pemenangan Sandi di Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019, tidak seperti sangkaan banyak orang, Sandi ternyata sangat sulit untuk dimintai “logistik” demi kepentingan pemenangan. 

Untuk Erick sendiri, Litbang PinterPolitik mengamati dan menganalisis bahwa “belanja media sosial” sosok Menteri BUMN itu tampak lebih baik dibanding Sandi. 

Ini bisa dilihat, misalnya, dari masifnya unggahan positif mengenai Erick dari para simpatisan yang kiranya cukup sulit untuk mendapat bekerja secara cuma-cuma tanpa dana di muka. 

Akan tetapi, penjelasan di atas masih sebatas interpretasi semata berdasarkan sejumlah refleksi atas dinamika yang sedang terjadi di tengah proses politik saat ini. Namun, tetapi menarik kiranya untuk ditunggu apakah Sandi atau Erick akan menjadi kandidat RI-2 mendampingi Ganjar? (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?