HomeNalar PolitikSalahkah Politisasi Masjid?

Salahkah Politisasi Masjid?

Program anti-politisasi masjid dianggap sebagai sesuatu yang salah kaprah.


PinterPolitik.com

[dropcap]W[/dropcap]alk out atau pergi dari lokasi khotbah di masjid sempat menjadi semacam tren pada Pilgub Jakarta 2017 lalu. Kala itu, masyarakat begitu geram tempat ibadah mereka yang suci diisi oleh urusan politik. Kini, tren serupa nampaknya akan berlanjut.

Relawan Jokowi yang tergabung dalam Gerakan Nasional Jutaan Relawan Dukung Jokowi membuat program anti-politisasi masjid. Relawan tersebut menggagas agar masjid dikembalikan fungsinya sebagai tempat ibadah.

Program ini kemudian menimbulkan polemik di media sosial. Para relawan yang ingin melawan politisasi masjid ini dianggap tidak benar-benar paham akan fungsi rumah ibadah tersebut. Alih-alih menciptakan tren, program tersebut justru dianggap menunjukkan ketidakpahaman para relawan akan fungsi masjid.

Bagi umat Islam, masjid memang memegang peran strategis, bukan hanya dalam dimensi ibadah, tetapi banyak dimensi lain termasuk politik. Akan tetapi, banyak pihak yang justru tidak senang jika terjadi politisasi masjid terutama untuk urusan elektoral. Lalu bagaimana caranya agar peran politik masjid tetap optimal?

Pilkada dan Politisasi Masjid

Ribut-ribut soal politisasi masjid mengemuka sejak lama. Masyarakat kerap mengeluhkan muatan berbau politik partisan dan juga paham radikal dari balik mimbar masjid. Oleh karena itu, secara umum banyak masyarakat yang enggan kalau masjid digunakan untuk urusan politik.

Salah satu momen utama tentang polemik politisasi masjid adalah saat Pilgub Jakarta 2017 lalu. Saat itu, sejumlah masjid seperti memberi keuntungan kepada calon tertentu yang tengah berkompetisi. Masjid dan penceramahnya kerapkali menyuarakan isu tertentu yang dapat merugikan calon lain.

Mimbar-mimbar khotbah kerapkali diisi dengan ceramah soal pentingnya memilih pemimpin yang satu keyakinan. Selain itu, sempat viral pula spanduk yang menggambarkan keengganan masjid untuk mengurus pemakaman pemilih kandidat tertentu.

Publik merespons buruk sikap sejumlah masjid dan penceramahnya pada saat gelaran tersebut. Masjid tempat mereka beribadah justru kini seperti neraka, karena terlihat memihak salah satu kandidat. Kekecewaan ini mereka gambarkan dengan aksi walk out saat khutbah mulai menjurus ke isu politik.

Meski dianggap buruk, bagi banyak orang, Pilgub Jakarta 2017 justru menjadi penanda dimulainya aksi menjual politik elektoral dari balik mimbar masjid. Tumbangnya kandidat lawan melalui isu yang disebarkan dari masjid, menjadi bukti dari kuatnya peran institusi tersebut. Oleh karena itu, disinyalir langkah semacam itu akan berlanjut ke berbagai Pilkada lainnya.

Jika melihat kekuatannya, sangat rasional jika banyak kandidat ingin memanfaatkan masjid untuk mendulang suara. Akan tetapi, menurut Eep Saefullah Fatah, salah seorang konsultan politik Anies-Sandi di Pilgub Jakarta 2017, menilai bahwa menggunakan masjid untuk isu politik elektoral tidak benar-benar menguntungkan.

Bagi Eep, memanfaatkan masjid untuk kepentingan politik  justru akan dapat menjadi bumerang bagi kandidat itu sendiri. Kondisi ini ia gambarkan dengan isu penolakan jenazah oleh suatu masjid. Menurutnya, sikap masjid tersebut merugikan citra Anies-Sandi karena menjadi melemahkan sisi kemanusiaan mereka. Oleh karena itu, menggunakan masjid di Pilkada tidak selalu berhasil baik.

Baca juga :  Politik Hukum Jokowi dan Sejahtera Hakim

Peran Sentral Masjid

Banyak orang masih menilai kalau Masjid hanya digunakan sebagai tempat ibadah saja. Akan tetapi, jika melihat sejarah dan fungsi bangunan tersebut, sebenarnya kegiatan yang dilakukan tidak terbatas pada hal-hal yang berbau ritual keagamaan saja. Sejak era Nabi Muhammad SAW hingga saat ini, masjid memegang urusan dalam berbagai dimensi umat Islam.

Salahkah Politisasi Masjid?

Jika ditelusuri, peradaban Islam sangat bergantung dan berutang besar pada masjid. Bangunan suci tersebut selama bertahun-tahun telah menjadi pusat pemikiran, pendidikan, strategi perang, dan juga pemerintahan

Nabi Muhammad SAW menjadikan masjid sebagai pusat kendali pemerintahannya. Bagi pemerintahan sipil, berbagai keputusan penting dihasilkan dari tempat tersebut. Dikarenakan sifatnya yang terbuka, masyarakat juga dapat berperan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Masjid sebagai pusat pemerintah ini, berlanjut di era pasca Rasulullah wafat yang berganti menjadi era para khilafah.

Di era Nabi Muhammad SAW, masjid juga menjadi arena mobilisasi yang sangat efektif. Berbagai pidatonya dari dalam masjid berhasil memobilisasi umat untuk ikut berbagai perang membela panji Islam. Masjid kala itu memiliki peran besar dalam gerakan jihad.

Berbagai perkara juga seringkali diselesasikan dari lantai masjid. Penyelesaian perkara hukum, resolusi konflik, atau pemberian hukuman seringkali berasal dari bangunan suci tersebut. Rasulullah memegang peran sentral dalam penyelesaian persoalan-persoalan tersebut.

Menurut Salah Eddin Zaimeche Al-Djazairi dari University of Constantine, masjid juga merupakan tempat pendidikan utama bagi umat Islam. Saat Islam menguasai Cordoba, berbagai ilmu diajarkan di masjid, seperti artitmatika, tata bahasa, aljabar, sejarah, biologi, hukum dan lain sebagainya.

Di antara berbagai ilmu tersebut, menurut Yusuf Al Qaradhawy, salah satu ilmu yang berkembang pesat dari dalam masjid adalah ilmu politik. Melalui pengajaran ilmu politik tersebut, Islam mengalami kemajuan pesat dan dapat dikatakan sebagai salah satu peradaban yang jaya.

Menurut Martin Hillenbrand, masjid juga menjadi penghubung antara kehidupan sosial dan kehidupan politik. Masjid memiliki peran yang amat kuat dalam menjalin komunitas di antara umat Islam. Rumah ibadah ini menjadi pusat sosialisasi masyarakat, di mana umat tidak hanya mendapat nilai-nilai keagamaan tetapi juga menyatukan mereka di dalam ajaran tersebut.

Tidak terhitung berapa banyak gerakan Islam politik yang berasal dari “rumah Allah” tersebut. Di Palestina misalnya, gerakan Intifada yang merepotkan Israel mengawali konsolidasi mereka dari balik dinding masjid.

Di Indonesia hal serupa juga pernah terjadi. Peristiwa Tanjung Priok misalnya, menjadi ilustrasi bahwa masjid memiliki kekuatan mobilisasi massa yang luar biasa. Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa hal yang bersifat politis dan ideologis dapat bermula dari “rumah Allah”.

Baca juga :  Perang Bharatayuddha Jokowi vs Megawati

Berbagai uraian tersebut menggambarkan bahwa di sifatnya yang paling alamiah, masjid sebenarnya berkaitan dengan politik. Politisasi masjid bukanlah hal yang tabu, karena dari sejarahnya, berbagai hal berbau politis berasal dari tempat suci tersebut. Akan tetapi, politik partisan dan elektoral tampaknya jauh dari aktivitas politik terdahulu. Di zaman Rasul, kepentingan umat yang lebih luas kerap didahulukan ketimbang kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Menjauhkan Politik Partisan

Meski memegang peranan yang berbau politis, idealnya masjid memang tidak diarahkan untuk kepentingan politik yang partisan. Di sinilah kesucian masjid sebagai tempat ibadah menjadi ternodai. Sebagai tempat yang memegang peran penting dalam peradaban, masjid justru direndahkan untuk kepentingan politik pribadi atau figur tertentu.

Menurut cendekiawan Muslim Azyumardi Azra, ketika masjid digunakan untuk kepentingan semacam itu, maka masjid hanya akan menjadi arena memecah belah, karena politik yang seperti itu, menurutnya, bersifat divisif. Akibatnya, masjid yang menjadi sumber peradaban justru menjadi sumber kontestasi dan konflik antarumat.

Al Qaradhawy juga menyayangkan bahwa kini mimbar masjid dijadikan sebagai corong politik figur tertentu. Di titik ini menurutnya, masjid justru menjadi kehilangan pengaruh dan wibawanya di hadapan umat.

Jika yang dituju adalah politisasi masjid untuk kebaikan umat, maka peran yang harus lebih banyak dimainkan adalah mengenai pendidikan politik bagi umat. Ini sejalan dengan pemikiran Al Qaradhawy, bahwa ilmu politik Islam sangat berkembang saat diajarkan dari masjid.

Jika fungsi pendidikan ini diutamakan ketimbang politik partisan, maka politisasi masjid akan bermanfaat pada kemajuan peradaban Islam seperti di era keemasan Islam dulu. Wibawa masjid dan Islam akan kembali jika politisasi masjid fokus pada pengembangan ilmu politik, seperti di era Islam masuk ke Cordoba.

Politisasi masjid semacam ini tidak akan menjauhkan masyarakat dari rumah ibadah tersebut. Masyarakat yang semula melakukan walk out akan kembali ke “rumah Allah” tanpa adanya pretensi dan praduga. Peran masjid yang sentral di era Nabi, perlahan akan kembali meski tidak akan benar-benar serupa.

Berdasarkan kondisi tersebut, anti-politisasi masjid secara luas adalah hal yang salah kaprah. Yang perlu dijauhkan dari masjid adalah kampanye politik untuk kebencian atau menyatakan dukungan kepada tokoh atau partai politik tertentu. Politisasi masjid harus dikembalikan ke fungsi pendidikan dan pembinaan umat, agar masyarakat yang semula anti dengan politisasi masjid, mau kembali ke “rumah Allah”. (H33)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...