Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun tengah menjadi perbincangan luas usai menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai firaun. Lantas, apakah keliru menyebut Jokowi sebagai firaun?
PinterPolitik.com
Firaun adalah salah satu sosok yang paling dikenal penduduk seluruh dunia. Tidak hanya karena sosoknya diceritakan dalam al-Qur’an dan Injil, firaun juga dikenal luas karena diadopsi ke dalam berbagai film layar lebar.
Meskipun filmnya berbeda-beda, gambaran terhadap firaun berpusat pada sosoknya yang merupakan representasi pemimpin kejam tak berperasaan. Atas pemahaman ini, tak heran kemudian pernyataan Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai firaun mendapat sorotan tajam dari segala penjuru.
“Karena Indonesia dikuasai oleh firaun yang namanya Jokowi, oleh Qorun yang namanya Anthony Salim dan 10 naga, terus, Haman yang namanya Luhut,” ungkap Cak Nun.
Merespons berbagai kritik yang ada, Cak Nun menyampaikan permintaan maaf. Ia menyebut dirinya kesambet, dan tidak pernah merencanakan pernyataan tersebut.
“Meneng-meneng aku ki ngomong hal Firaun (diam-diam saya itu ngomong hal Firaun), coba. Dan itu saya kesambet, yo. Kuwi aku ra duwe rencana moro-moro cangkemku mak pecotot (Itu saya tidak ada rencana tahu-tahu mengucap) Firaun, Haman, Qarun,” ungkap Cak Nun pada 17 Januari 2023.
Freudian Slips di Politik
Klarifikasi Cak Nun yang menyebut dirinya kesambet mengingatkan kita pada istilah keseleo lidah. Dalam studi psikologi, kita mengenalnya dengan Freudian slips atau parapraxis.
Yang menarik dari Freudian slips adalah pernyataan yang muncul dari ketidaksengajaan tersebut justru diyakini sebagai yang sebenarnya.
Teori ini sendiri dikemukakan oleh Sigmund Freud yang merupakan pionir mazhab psikoanalisa – mazhab psikologi yang mengkaji alam bawah sadar (unconscious).
Tidak hanya dialami Cak Nun, Freudian slips beberapa kali menghinggapi pemimpin-pemimpin dunia. Yang terbaru, ada pernyataan mengejutkan Presiden ke-43 Amerika Serikat (AS) George W. Bush ketika memberi pidato soal perang Rusia-Ukraina.
“The result is an absence of checks and balances in Russia, and the decision of one man to launch a wholly unjustified and brutal invasion of Iraq,” ungkap Bush pada 19 Mei 2022.
Sadar telah salah ucap, Bush langsung mengoreksi pernyataannya dengan mengatakan, “I mean, of Ukraine.”
Kesimpulan bahwa AS melakukan kesalahan ketika menginvasi Irak telah menjadi diskursus umum. Tidak hanya soal nihilnya temuan senjata pemusnah massal, melainkan juga soal gagalnya AS mendirikan sistem politik demokrasi di Irak.
Well, terlepas dari Cak Nun mengalami Freudian slips atau tidak, apakah merupakan kesimpulan yang final untuk mengatakan keliru menyamakan Presiden Jokowi dengan firaun?
Peyorasi Makna Firaun
Seperti disebutkan sebelumnya, firaun atau pharaoh telah lama menjadi simbol pemimpin kejam tak berperasaan. Namun, pertanyaannya, apakah semua firaun adalah sosok kejam?
Setidaknya, terdapat 170 firaun yang diketahui. Jean-Pierre Isbouts dalam tulisannya We may now know which Egyptian pharaoh challenged Moses di National Geographic, menyebut firaun yang disebut dalam cerita Nabi Musa adalah Ramses II.
Pertanyaannya, bagaimana jika firaun yang lain tidak sejahat Ramses II?
Melihatnya menggunakan kacamata ilmu logika, mengatakan semua firaun jahat karena kasus Ramses II dapat disebut sebagai hasty generalization fallacy. Ini adalah kesesatan bernalar (fallacy) ketika temuan parsial atau sebagian disimpulkan menjadi universal.
Namun, kendati mengatakan semua firaun adalah jahat merupakan sebuah kesesatan bernalar, simpulan atas itu pada dasarnya dapat dibenarkan.
Karena bagaimanapun juga, telah lama masyarakat luas memahami firaun sebagai simbol pemimpin kejam, tak berperasaan, sombong, dan tidak patuh kepada tuhan.
Mengutip studi linguistik, kata “firaun” telah mengalami peyorasi atau perubahan makna menjadi negatif. Kata firaun sebenarnya bermakna netral. Itu adalah gelar pemimpin negara sekaligus pemimpin agama di Mesir kuno.
Kasusnya sama dengan kata “babi”, “anjing”, dan “monyet”. Ketiga kata tersebut sebenarnya bermakna netral. Itu adalah nama-nama binatang. Namun, karena masyarakat mengidentikkan berbagai sifat buruk ke dalamnya, ketiga binatang tersebut kemudian menjadi istilah untuk menghina.
Well, sebagai penutup, ada dua hal yang dapat dikatakan. Pertama, mengacu pada klarifikasi Cak Nun bahwa dirinya kesambet, besar kemungkinan ia mengalami Freudian slips.
Kedua, karena istilah firaun telah mengalami peyorasi makna, sosok intelektual seperti Cak Nun sekiranya sangat memahami betapa buruknya jika menyebut seseorang sebagai firaun.
Dengan kata lain, kritik keras terhadap Cak Nun bukan karena semua firaun memang jahat, melainkan karena istilah firaun telah menjadi simbol kejahatan. (R53)