Site icon PinterPolitik.com

Salahkah Jokowi Tidak Demokratis?

Salahkah Jokowi Tidak Demokratis?

Presiden Joko Widodo (Foto: The Conversation)

Tidak sedikit yang menyebut terjadi kemunduran demokrasi di bawah pemerintahan Jokowi. Ada pula yang menyebutnya ke tendensi otoriter. Ben Bland dalam bukunya Man of Contradictions, bahkan menyebut Jokowi sebagai seorang neo-otoritarian. Lantas, haruskah Jokowi menjadi penjaga gerbang demokrasi seperti harapan Ben Bland?


PinterPolitik.com

“Demokrasi, entah sejak kapan, telah menjadi kata keramat yang sangat menentukan nasib sebuah negara.” – Pengantar Redaksi, dalam buku Ilusi Demokrasi

Pada 6 Mei kemarin, Lembaga Penelitian Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) merilis survei yang menyebut 52,1 persen responden setuju tengah terjadi peningkatan ancaman kebebasan sipil, sehingga masyarakat semakin takut dalam berpendapat.

Sebelumnya, pada awal Februari lalu, Economist Intelligence Unit (EIU) juga merilis indeks demokrasi 2020 yang menunjukkan penurunan indeks demokrasi Indonesia. Dengan skor 6.30, Indonesia mencatatkan skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.

Atas berbagai catatan dan peristiwa politik yang ada, berbagai pihak mulai mempertanyakan komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menegakkan demokrasi.

Ben Bland dalam bukunya Man of Contradictions: Joko Widodo and the struggle to remake Indonesia bahkan menyebut mantan Wali Kota Solo ini sebagai neo-otoritarian. Demokrasi hanya dilihat Presiden Jokowi sebagai alat untuk meningkatkan kehidupan masyarakat, bukan sebagai tujuan.

Terlepas dari semua sentimen yang ada, menjadi menarik untuk dipertanyakan, apakah harus menyalahkan Presiden Jokowi jika ia memang benar-benar kurang demokratis? Terkait hal ini, berbagai pihak akan menyinggung semangat Reformasi. Ini adalah pertanyaan tabu. Bagaimana mungkin kita mengkhianati perjuangan panjang dan berdarah dalam menjatuhkan Soeharto.

Terkait hal ini, menarik untuk melihat buku Ilusi Demokrasi karya Saiful Arif. Tulisnya, “Demokrasi memang mengajarkan agar perbedaan pendapat jangan dilarang, tapi demokrasi sama sekali tak mengizinkan perbedaan yang mengkritik dirinya.”

Baca Juga: Jokowi Tidak Sadar Otoriter?

Berbagai pendapat yang bertentangan dengan ide demokrasi akan dicap diktator, otoriter, fasis, dan pelabelan peyoratif lainnya.

Saiful Arif memperkuat argumentasi dengan menunjukkan berbagai bukti bagaimana demokrasi menjadi semacam alat politik Amerika Serikat (AS) untuk menginvasi berbagai negara dengan dalih penegakan demokrasi. Ada pula kasus-kasus tidak berhasilnya demokrasi di berbagai negara.

Pertanyaannya, atas nama demokrasi yang menjaga perbedaan pendapat, mungkinkah demokrasi memberi ruang bagi dirinya untuk digugurkan?

Mungkinkah Demokrasi Digugurkan?

Ya, pertanyaan itu tabu, tapi sangat layak untuk diajukan. Namun, berbeda dengan Saiful Arif yang menguji demokrasi dengan berbagai bukti empiris, tulisan ini tidak akan melakukan hal semacam itu. Alasannya sederhana, dan ini sangat mendasar.

Selaku ide ideal, demokrasi harus diuji secara teoretis, bukannya empiris. Ini juga ditegaskan oleh Irianto Wijaya dalam tulisannya Apa yang Salah Dengan Demokrasi?. Menurutnya, para pengkritik demokrasi kerap terjebak dalam category-mistake atau kekeliruan kategoris.

Category-mistake adalah konsep yang diperkenalkan oleh filsuf Gilbert Ryle dalam bukunya The Concept of MindCategory-mistake adalah kekeliruan logis yang terjadi ketika seseorang keliru dalam menentukan kategorisasi, khususnya dalam menentukan mana yang bersifat abstrak dan mana yang konkret.

Menurut Irianto, sebagai suatu yang ideal, jika ingin mengkritik demokrasi, maka harus ditunjukkan bahwa demokrasi bermasalah sebagai suatu ideal atau secara teoretis, bukannya diserang melalui aspek aplikabilitas, seperti kegagalan dalam penerapannya.

Bertolak dari Irianto, agar tidak terjebak dalam category-mistake, tulisan ini menggunakan meta-analisis untuk menjawab pertanyaan apakah demokrasi dapat menggugurkan dirinya.

Nah menariknya, pertanyaan tersebut persis seperti pertanyaan yang ditujukan terhadap konsep falsifikasi dari filsuf Karl Popper. Falsifikasi adalah konsep yang diperkenal Popper untuk memberi demarkasi terhadap teori apa yang layak disebut sebagai sains. Hipotesisnya sederhana, teori sains harus memberi ruang bagi dirinya untuk dibantah atau difalsifikasi.

Namun, ada yang mempertanyakan, apakah falsifikasi dapat difalsifikasi? Pertanyaan ini misalnya diajukan oleh filsuf asal Swedia, Sven Ove Hansson.

Baca Juga: Mudah Membaca Logika Kekuasaan Jokowi

Ulf Persson dalam tulisannya Is Falsification Falsifiable? memberi ulasan terkait kekeliruan dalam pertanyaan Sven Ove Hansson tersebut. Bantahan Persson sangat sederhana.

Menurutnya, Hansson memahami falsifikasi Popper secara harfiah karena memaknainya sebagai prinsip atau kategorisasi yang harus dirujuk oleh saintis. Padahal, Popper hanya menawarkan kriteria, bukannya mengklaim kriterianya harus dirujuk dalam aktivitas ilmiah.

Popper memaksudkan falsifikasi sebagai semacam metode yang dapat digunakan atau tidak, bukannya tujuan atau guideline yang harus digunakan. Artinya, pertanyaan apakah falsifikasi dapat difalsifikasi sebenarnya tidak valid karena sedari awal falsifikasi memberi ruang bagi dirinya untuk tidak digunakan.

Nah, penjelasan serupa juga berlaku pada demokrasi. Untuk menjawab demokrasi dapat digugurkan atau tidak, perlu dijawab terlebih dahulu, apakah demokrasi merupakan salah satu sistem politik (metode), atau tujuan yang harus diwujudkan?

Metode atau Tujuan?

Kembali pada Ben Bland. Alasannya memberi kritik kepada Presiden Jokowi adalah, karena Bland menganggap demokrasi sebagai tujuan yang harus dicapai. Jika benar demokrasi adalah tujuan, maka pertanyaan apakah demokrasi dapat menggugurkan dirinya menjadi tidak valid. Ini karena sedari awal ruang tersebut tidak diberikan.

Namun, benarkah demokrasi adalah tujuan?

Menariknya, ilmuwan politik yang dikenal luas karena meramal demokrasi – tepatnya demokrasi liberal – sebagai akhir sejarah sistem politik, yakni Francis Fukuyama justru mengindikasikan demokrasi sebagai metode. Dalam tulisannya Liberalism and Its Discontents: The challenges from the left and the right terdapat penekanan menarik.

Menurut Fukuyama, liberalisme yang lekat dengan demokrasi memang memiliki masalah karena bekerja perlahan melalui musyawarah dan kompromi, dan tidak pernah mencapai tujuan komunal atau keadilan sosial selengkap yang diinginkan para pendukungnya. Akan tetapi, Fukuyama belum bisa membayangkan nilai selain liberalisme untuk kepentingan menjaga keberagaman.

Dalam bukunya yang terkenal, The End of History and the Last Man, Fukuyama juga memberikan catatan menarik yang kembali dipertegas dalam buku Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment.  

Menurutnya, demokrasi liberal memiliki tantangan untuk menjawab masalah thymia, khususnya megalothymia. Selaku sistem politik yang menjaga keberagaman pendapat, seberapa jauh demokrasi liberal mampu menampung hasrat ingin diakui yang tidak akan pernah hilang dan terus membesar?

Singkatnya, meskipun menjadi salah satu pendukung demokrasi, Fukuyama sebenarnya tidak menegaskan bahwa demokrasi liberal adalah pemenang secara per se. Melainkan, posisi itu diambil karena belum menemukan sistem politik yang lebih ideal. Di kemudian hari, demokrasi dapat diganti atau gugur apabila terdapat sistem politik yang lebih baik.

Konteks demokrasi sebagai metode dapat kita lihat pada kasus Soekarno yang memperkenalkan gagasan NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) yang menjadi ciri dari Demokrasi Terpimpin. Soeharto juga melakukan hal serupa dengan menggunakan Pancasila sebagai asas tunggal.

Nah, jika demokrasi merupakan metode atau salah satu sistem politik, maka secara teoretis, sebenarnya tidak masalah apabila Presiden Jokowi kurang demokratis. Mantan Wali Kota Solo ini bahkan pernah memberi pernyataan terbuka bahwa demokrasi Indonesia sudah kebablasan karena kerap memantik pembelahan.

Jika demokrasi ternyata tidak memberi stabilitas politik dan menghambat pertumbuhan ekonomi, sistem politik itu dapat diganti atau dimodifikasi.

Baca Juga: KPK di Bawah Tangan Jokowi?

Yang menjadi masalah adalah, pernyataan semacam itu kerap dibenturkan pada persoalan pelanggaran HAM. Jika tidak menegakkan demokrasi, maka akan terjadi bentuk pemerintah otoriter yang berlaku sewenang-wenang terhadap warga negaranya.

Well, sayangnya pernyataan semacam itu tampaknya terlalu sentimental. Bantahannya dapat dilihat pada kasus Singapura. Siapa yang mengatakan Singapura adalah negara demokratis? Namun, apakah terjadi pertumpahan darah di sana?

Seperti kutipan di awal tulisan, sejak kapan demokrasi menjadi kata keramat yang sangat menentukan nasib sebuah negara? (R53)

Exit mobile version