Citra dari pemimpin Turki, Recep Tayyip Erdoğan, yang dikenal sebagai Islamis membuat banyak dikagumi oleh sebagian besar rakyat Turki – bahkan juga dunia. Akan tetapi, apakah memang sejak awal Erdoğan dan partainya, AKP, benar-benar memegang prinsip Islamis?
“As a politician who cherishes religious conviction in his personal sphere, but regards politics as a domain belonging outside religion, I believe that this view is seriously flawed” – Recep Tayyip Erdoğan, Presiden Turki
Masih dalam suasana menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) untuk jabatan presiden dan parlemen Turki yang akan diselenggarakan tahun ini – entah pada bulan Mei atau Juni nanti. Sudah banyak persiapan oleh para partai beserta calonnya menyiapkan strategi untuk menarik simpati masyarakat.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan sejauh ini punya basis dukungan kuat dan mengakar karena, selama dua dekade, pria berumur 69 tahun ini sangat dikenal dengan profil Islamis yang sangat kuat. Begitu juga dengan penilaian sebagian besar masyarakat Turki terhadap partainya, AKP.
Ini juga disebabkan beberapa kebijakan juga mengarah kepada dukungannya terhadap umat Muslim yang menjadi mayoritas di negara tersebut. Salah satu kebijakan terbesarnya adalah mengembalikan status Hagia Sophia sebagai masjid.
Karena hal itulah, Erdoğan semakin banyak dikagumi kelompok Muslim di Turki – bahkan juga orang-orang Muslim di negara-negara lain. Inipun tidak terkecuali dengan Indonesia yang memiliki jumlah populasi agama Islam terbesar di dunia – yang mana sebagian punya pandangan yang sangat positif terhadap pria yang pernah menjabat sebagai Wali Kota Istanbul.
Citra positif Erdoğan ini membuatnya kerap disebut sebagai salah satu pemimpin Muslim berpengaruh di dunia. Bahkan, di sejumlah narasi yang beredar di media sosial (medsos), Erdoğan disebut-sebut menjadi “harapan” masa depan.
Namun, sebenarnya, apakah Erdoğan dan partainya benar-benar berprinsip Islamis? Bila ternyata tidak, mengapa presiden Turki tersebut tampak bercitra Islamis?
Erdoğan dan Lahirnya AKP
Pemahaman lebih mendalam mengenai sekularisme menjadi penting karena nantinya akan menjelaskan mengapa Erdoğan cukup berbeda dengan ideologi utama dari sekularismenya dari Kemalisme.
Kemalisme menjadi salah satu pengaruh utama bagaimana transformasi prinsip ataupun ideologi politik dari seorang Erdoğan saat awal mendirikan AKP hingga menjadi seorang presiden selama dua dekade.
Jadi, kita perlu ketahui terlebih dahulu secara umum definisi dari sekuler ala presiden pertama Turki, Mustafa Kemal Ataturk. Ini juga merupakan landasan utama dari negara yang sempat menjadi kekhalifahan terakhir ini.
Dalam buku karya Trias Kuncahyono berjudul Turki: Revolusi Tak Pernah Henti, dijelaskan bahwa sekularisme yang dibawa oleh Mustafa Kemal agak berbeda dengan kebanyakan negara lain yang menganut prinsip sama, khususnya di negara Barat.
Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa sekularisme Turki yang ingin dibawa oleh Mustafa Kemal berdasarkan dari lacaism Jacobin radikal – di mana dalam sebuah perubahan itu harus melalui kekuasaan dan mengeliminasi agama dari lingkungan masyarakat sekali untuk selamanya.
Mustafa Kemal juga mengusahakan bahwa sekularisme ini tidak hanya pemisahan terhadap agama, tetapi juga dengan segala aspek sosial yang dinilai menghambat pada kemajuan pembangunan bangsa Turki.
Perubahan definisi sekularisme oleh Erdoğan dalam praktiknya sangat melakukan pendekatan yang sangat berbeda. Perbedaan sekularisme yang dibawa oleh Erdoğan adalah membebaskan masyarakat pada ranah privat tanpa ada kendali pemerintahan. Dengan begitu masyarakat Turki bisa mengekspresikan identitas diri, termasuk agama, secara lebih leluasa.
Ini dibuktikan dengan beberapa kebijakan Erdoğan yang cenderung bernada identitas agama. Salah satunya adalah mencabut larangan hijab pada tahun 2010 dan paling fenomenal adalah mengubah fungsi Hagia Sophia menjadi masjid.
Jika kita melihat dari kacamata lain, Erdoğan mencoba membalikkan lagi soal definisi sekularisme itu sendiri. Jika sekuler itu mestinya memisahkan hal politik dengan privat, mengapa mesti diatur oleh negara. Itu juga yang dirasakan oleh banyak muslim di Turki yang tidak bisa menggunakan ranah privatnya dalam hal ekspresi identitas agama.
Namun, bagaimana bisa kita ketahui bahwa Erdoğan dan partainya bukan merupakan partai Islam di awal pendiriannya? AKP bukanlah partai Islam berdasarkan awal sejarahnya tidak pernah meletakkan dasarnya sebagai partai yang berbasis pada agama.
Pada awalnya, AKP sendiri merupakan pecahan dari Refah Partisi (RP) yang memang awalnya merupakan partai Islamis. Namun, RP gagal untuk meredam kritik lawan-lawan politiknya yang menganggap RP sudah keluar dari prinsip Kemalis. Setelah itu, terjadi perpecahan dan mendirikan beberapa partai sendiri – termasuk AKP yang salah satu pendirinya adalah Erdoğan.
Partai AKP hanya berbasis pada sosial berkeadilan tanpa membawa identitas Islam di dalamnya – yang sebenarnya sudah terlihat pada awal pendiriannya. Masih berdasar pada penjelasan Kuncahyono, AKP mendeklarasikan dirinya sebagai partai demokratis konservatif.
Ada alasan mengapa AKP tidak menasbihkan diri sebagai kelompok Islam sejak awal. Pertama, sebelum berpecah dengan RP, banyak sekali kaum konservatif yang terlalu mengampanyekan posisi sebagai Islamis secara besar-besaran. Maka, terjadi banyak penolakan secara masif.
Kemudian, akibatnya, lawan-lawan politiknya semakin menekan RP karena dinilai melenceng dari nilai Kemalisme sedangkan anggotanya sendiri menginginkan stabilitas politik dengan merangkul juga sebagian besar kelompok lawan politik mereka.
Lalu, karena tidak menemui jalan tengah, maka banyak keluar termasuk sebagian anggota yang mendirikan AKP. AKP menggunakan pendekatan yang berbeda, dengan lebih terbuka untuk bekerja sama dengan kaum sekuler. Itu juga menegaskan bukti identitas untuk setia terhadap nilai fundamental konstitusi Turki, yaitu Kemalisme.
Dari Mana Islamis-nya Erdoğan?
Kemudian, bagaimana transformasi politik dari Erdoğan sendiri melalui AKP? Alasan utamanya adalah betapa pentingnya fleksibilitas AKP dalam menjalani kontestasi yang menghasilkan kemenangan parlemen dan presiden selama dua dekade terakhir.
Contoh fleksibilitas dari AKP sendiri adalah dengan mereformasi visi partai yang berbeda dengan lainnya, yakni dengan cara mengombinasikan paduan tradisi Turki di masa lalu dan demokratis di masa sekarang.
Kemudian, ini diejawantahkan dalam bentuk kebijakan yang bukan hanya memihak sekuler liberalis saja, melainkan juga menjaga identitas Turki yang yang sempat hilang selama puluhan tahun, yaitu kaum Muslim.
Salah satu dari kebijakan tersebut sekali lagi pada pendekatan sekularisme yang berbeda dengan rezim di awal Republik Turki. Perpaduan antara modernisme sekuler tetapi tetap mempertahankan identitas keagamaan, terutama Muslim, menjadi kunci sukses mendapatkan pengaruh dan mendominasi kontestasi politik dalam waktu sangat lama.
Jadi, memang benar Erdoğan tidak sepenuhnya Islamis seperti yang kita kira selama ini. Akan tetapi cara pendekatan terhadap sekularisme itulah sebenarnya menjadi penentu arah politik dari Erdoğan dan juga partainya AKP ke arah Islamis – atau pada akhirnya juga disebut dengan post-Islamist.
Pergerakan post-islamist Turki merupakan sebuah respons terhadap apa yang terjadi oleh RP pada tahun 1997. Dalam jurnal berjudul Rethinking Human Right, Democracy, and The West: Post-Islamist Intelectuals in Turkey karya Ihsan D. Dagi, dijelaskan bahwa gerakan ini merupakan usaha mendampingi dua kepentingan antara agama Islam dan nasionalisme dari nilai Kemalisme itu sendiri.
Berbeda dengan sebelumnya bahwa kelompok Islamis pada era RP benar-benar menunjukkan sikap perlawanannya terhadap sekularisme Turki yang terlanjur mengakar puluhan tahun. Sehingga keberadaannya banyak tentangan dari berbagai pihak, khususnya dari oposisi seperti CHP.
Sementara itu, Erdoğan dan AKP menggunakan post-islamism untuk mendapatkan perhatian dari dua sisi, baik Islamis maupun Kemalis, sehingga menghasilkan kekuatan politik yang stabil dan cenderung adil setidaknya selama dua dekade berkuasa.
Maka dapat disimpulkan bahwa Erdoğan meskipun memang ada latar belakang Islamis dari partai pendahulunya yaitu Refah akan tetapi dirinya maupun partai AKP berposisi sebagai pragmatis, atau dalam artiannya hanya mengincar posisi populis mayoritas masyarakat Turki.
Akhirnya, Erdoğan memainkan politiknya dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat Turki pasca-tahun 2000-an. Akan tetapi, jalannya pemerintahannya tidak meninggalkan sepenuhnya fondasi ideologi Kemalisme yang mengakar kuat sejak tahun 1923. (A88)