Sakdiyah Ma’ruf, komikus Indonesia masuk jajaran 100 perempuan berpengaruh versi BBC. Topik-topiknya tentang Islam, perempuan dan humanisme disebut menjadi cara cerdas dalam membangun diskursus yang selama ini sensitif.
Pinterpoliik.com
“Comedy is provocation in a funny and subtle manner.”
:: Sakdiyah Ma’ruf ::
[dropcap]B[/dropcap]aru-baru ini Sakdiyah Ma’ruf masuk dalam 100 jajaran perempuan berpengaruh versi BBC 100 Women, sebuah ajang nominasi yang mengumpulkan perempuan-perempuan berpengaruh di komunitasnya dari seluruh dunia. Sakdiyah masuk mewakili Indonesia atas aktivismenya di dunia komedi.
Dia adalah perempuan, berhijab, keturunan Arab, dan mewarisi ajaran konservatif. Menjadi perempuan muslim yang bebas bicara adalah kemewahan. Di Indonesia dan banyak bagian dunia lain, kemewahan itu masih terbatas pada forum-forum diskusi tertutup atau panggung pertunjukan.
Sementara itu, konteks “perlawanan” serupa lewat dunia komedi juga turut menyeret nama Tretan Muslim dan Coki Pardede. Keduanya juga berada pada jalur menembus batas-batas konteks politik identitas, entah itu agama, suku, ras, dan lain sebagainya. Namun, karena lawakannya cenderung “berani”, mereka mendapatkan persekusi dari berbagai kelompok.
Dua kondisi ini menimbulkan dua perasaan sekaligus. Apakah peristiwa Tretan dan Coki adalah sinyal negatif sebab bagi sebagian orang, menertawakan kegelisahan tentang identitas masih dianggap sangat sensitif, atau dengan terpilihnya Sakdiyah sebagai perempuan berpengaruh menjadi tanda positif, bahwa komedi menemukan jalan “perlawanan” meski jalan itu sempit dan berliku?
Lalu, bagaimana komedi hari ini menemukan relasinya dengan politik?
Sakdiyah dalam Panggung Komedi
Berasal dari lingkungan konservatif Islam, Sakdiyah lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 36 tahun silam, sebagai anak keturunan Arab. Kekerasan fisik dan aturan-aturan ketat dari ayahnya, menekan Sakdiyah sepanjang masa kecilnya. Hal itu memicu “kemarahan” dan rasa takut yang tak terhindarkan. Dalam konteks tersebut, ia kerap membaca karya-karya tulisan perempuan Afrika-Amerika yang kerap meneriakkan kemarahan akan kondisi yang mereka alami.
Sampai saat ini, Sakdiyah selalu menyukai karya-karya yang bersuara tentang kemarahan.
Sakdiyah aktif di organisasi mahasiwa Islam moderat di kampus. Ia ikut kegiatan pers kampus dan terlibat di berbagai macam demonstrasi mahasiswa. Tahun 2009, Sakdiyah menemukan DVD Robin William’s Live on Broadway – sebuah komedia tunggal yang dibawakan oleh Robin William – dan menontonnya beberapa kali.
Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menyuarakan kemarahan dan melawan ekstremisme melalui komedi. Di tahun itu pula, Sakdiyah untuk pertama kalinya melawak dengan komedi tunggal (stand up comedy) di acara kampus.
Pada tahun 2011, Sakdiyah mengikuti ajang Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) – kompetisi lawakan tunggal yang diadakan oleh Kompas TV – edisi perdana. Dari sana namanya mulai melambung.
Sakdiyah disebut sebagai perempuan komikus – sebutan untuk pelaku komedi tunggal – muslim pertama dari Indonesia yang menggunakan komedi sebagai cara untuk menantang ekstremisme Islam dan kekerasan terhadap perempuan.
Masalah-masalah perempuan kerap menjadi materi saat berada di panggung, termasuk soal hijab. Selain itu, Sakdiyah juga kerap menyuarakan kegelisahannya terhadap sikap radikal yang ditunjukkan sebagian warga keturunan Arab di Indonesia.
Komedi dan Religi dalam Satu Balutan
Selain menjadi komedian, publik mengenal Sakdiyah sebagai seniman dan penerjemah. Selain itu, dirinya memiliki gelar master di bidang studi Amerika Serikat (AS). Dalam tesis masternya tentang comedy jihad, Sakdiyah bercerita tentang bagaimana muslim di AS memulai pertunjukan-pertunjukan komedi tunggal sebagai respon terhadap publik negara tersebut yang semakin antipati kepada Islam.
Situasi AS sesudah tragedi 11 September 2001 memang sulit bagi kelompok muslim. Semua yang berjenggot, berhijab, memiliki nama Muhammad atau bau Arab lainnya akan dicurigai sebagai teroris. Terlalu banyak kecurigaan konyol yang ditujukan kepada muslim AS di pasar, sekolah, bandara, dan jalanan sehingga masyarakat muslim hampir-hampir tidak menemukan cara untuk membela diri.
Di tengah situasi sulit itulah AS memunculkan Dean Obeidallah, Hasan Minhaj, dan kawan-kawan mereka yang memutuskan untuk melawan keadaan dengan “menertawakan” kondisi tersebut.
Dean akhirnya mengajak muslim AS bersama-sama menertawakan kondisi mereka lewat komedi tunggal. Menertawakan kesedihan sepertinya memang manuver penting untuk bertahan.
Selamat @sakdiyahmaruf! Melawan radikalisme dan kekerasan pd perempuan dg lelucon. Layak masuk 100 perempuan berpengaruh versi @BBCWorld.https://t.co/jgva7t51AV
— Budi Setyarso (@BudiSetyarso) November 20, 2018
Di wilayah lain, Marjane Satrapi, feminis Iran berkewarganegaraan Prancis melakukan hal serupa lewat Persepolis – sebuah autobiografi grafis – dan karya-karyanya yang lain. Satrapi mengantar ide perlawanan lewat tulisan-tulisan satire.
Para komedian tersebut memang berani untuk menyuarakan kegelisahan di daerahnya masing-masing. Semua satire dan sarkasme yang mereka lempar adalah materi-materi yang “berbahaya” jika didengar telinga-telinga yang tidak siap.
Dalam kadar tertentu, lawakan maupun satire yang dibawakan oleh mereka bisa disebut sebagai dark comedy atau komedi gelap.
André Breton, menciptakan istilah dark comedy untuk menggambarkan teks yang berada di tengah-tengah tawa dan air mata, mengambil ketidakbahagiaan dan mengubahnya menjadi lelucon.
Bagi Breton, dark comedy – juga disebut dark humor atau black humor – menertawakan penderitaan dan masalah keseharian lewat medium sastra, seni, dan film. Secara bersamaan, genre ini menawarkan rasa lega, tapi juga memprovokasi ketidaknyamanan.
Genre ini berusaha untuk merepresentasikan hal-hal yang paling mengerikan dan serius, membaca humor sebagai reaksi terhadap keputusasaan atau kecemasan. Singkatnya, para penikmat dark comedy memilih untuk tertawa daripada menangis.
Jalan Panjang Komedi Indonesia
Beberapa waktu lalu, dua komedian tunggal, Tretan Muslim dan Coki Pardede membuat geger jagat maya. Pasalnya, mereka berdua membuat konten di Youtube, memasak daging babi dicampur sari kurma. Sebelum daging siap saji, mereka juga mencampuri madu dengan kemasan bertuliskan bahasa Arab.
Unggahan Tretan tersebut langsung menuai kontroversi. Akun-akun sosial media mengatasnamakan agama tertentu menyebut Tretan dan Coki melakukan penistaan. Tak butuh waktu lama untuk viral, Tretan akhirnya memutuskan menghapus konten tersebut.
Sakdiyah Ma'ruf masuk dalam 100 perempuan berpengaruh versi BBC. Share on XPadahal, jika dilihat secara utuh, konten memasak ala Tretan dan Coki lebih menyindir fenomena “kearab-araban” yang kini diasosiasikan dengan agama Islam. Ketika memakai madu sebagai saus, misalnya, ditekankan labelnya yang bertuliskan huruf Arab. Namun, ada sebagian warganet yang menganggap guyonan mereka, termasuk soal babi yang haram, menyindir ajaran Islam.
Terlepas dari menghina atau tidak, komedi sebenarnya tak lain adalah cara. Dia menawarkan perspektif dalam melihat realitas. Dengan komedi, ada peroalan serius yang bisa dipahami dengan sederhana, yakni tertawa. Dan dengan komedi pula orang sepenuhnya larut dalam perenungan.
Baik Sakdiyah, Tretan, maupun Coki adalah komikus yang menggunakan agama sebagai topik yang menarik untuk disimak. Semuanya, yang merupakan jebolan SUCI tersebut, hendak “memprovokasi” wacana-wacana yang selama ini dianggap “tidak nyaman” dengan cara menertawakannya.
Namun, ada perbedaan di antara ketiganya dalam mengolah materi komedi. Kondisi ini juga turut dicermati Sakdiyah dalam mengolah materi.
Menurut Sakdiyah, komedi tidak boleh asal lucu atau asal kritik sosial saja, tetapi banyak hal yang harus dipertimbangkan dan menjadi pegangan dan etika bagi komikus. Sakdiyah mencontohkan bahwa memiliki pengetahuan yang cukup atas materi adalah hal penting untuk dibawakan.
akhirnya nonton youtube Majelis Lucu Indonesia yang lagi rame. pake istilah dark comedy (andre breton) segala. sok kritis dan berani.
moon maap nih ya, nyinyir sama kritis beda. argumentasi teman-teman Majelis Lucu payah. konteks masalah yang dilihat masih permukaan.
— doell (@gadoell) October 31, 2018
Meskipun persoalan komedi berada pada cara komikus menyampaikan materinya, namun tetap saja masyarakat Indonesia nampak belum siap menerima komedi gelap seperti yang disampiakan oleh Tretan dan Coki.
Kondisi ini juga dipengaruhi karena timing Tretan dan Coki terjadi pada tahun politik. Sebab di Indonesia, sangkaan terhadap penistaan agama marak terjadi pada tahun-tahun politik seperti saat ini. Kasus ini mulai meningkat sejak Pilpres secara langsung digelar pertama kali di Indonesia, yaitu pada 2004.
Marzena Romanowska dalam tulisannya di Religious Offences as a Political Tool menyatakan bahwa agama kerap dijadikan alat politik yang digunakan oleh suatu kelompok atau negara demi kepentingan tertentu.
Selama tidak ada batasan yang jelas mengenai kebebasan berpendapat dan pelanggaran terhadap agama, membawa agama ke ranah politik menjadi mungkin, terutama di negara yang tidak memisahkan antara kebebasan beragama dan dunia politik.
Ia juga menjelaskan bahwa penggunaan agama sebagai alat politik dapat dilakukan karena nilai absolut dalam agama. Agama dilihat sebagai kebenaran mutlak dan ada pemeluknya yang meyakini bahwa tidak ada ruang untuk dialog. Hal ini kemudian menjadi alat yang digunakan dalam politik dan membatasi kebebasan berpendapat.
Pada titik inilah, bisa dipahami mengapa di Indonesia sulit untuk membawa diskursus tentang agama dalam panggung komedi. Persekusi yang didapatkan oleh Tretan dan Coki bisa jadi karena saat ini adalah tahun politik. Sementara kelompok-kelompok konservatif sedang menggunakan kekuatannya untuk pertarungan di ranah elektoral.
Namun, dengan terpilihnya Sakdiyah dalam jajaran 100 perempuan berpengaruh versi BBC, pertanyaannya adalah apakah menjadi pertanda bahwa harapan perbincangan mengenai isu-isu yang sebelumnya dianggap sensitif dalam ranah komedi pada suatu saat akan keluar dari batasan-batasannya?
Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, politik identitas masih menjadi komoditas yang laku dijual di saat-saat seperti ini dan melahirkan sekat dalam masyarakat. Perlu lebih dari sekedar keberanian untuk membuatnya menjadi bagian dari komedi. Seperti kata Sakdiyah di awal, komedi adalah provokasi dengan lucu dan cara yang halus. Sebab, lebih mudah memprovokasi orang daripada membuatnya tertawa. Bukan begitu? (A37)