Site icon PinterPolitik.com

Sahabat Peradilan Lengserkan Oso

(Foto: Istimewa)

Setelah geger akibat polemik pengangkatan dirinya sebagai Ketua DPD RI April lalu, kini Oesman Sapta Odang atau yang akrab disapa Oso, terancam diturunkan dari jabatannya.


PinterPolitik.com 

Dengan ramah dan simpatik, Oesman Sapta Odang (Oso) bertukar senyum dengan Wakil Ketua Mahkamah Agung, Suwardi, tatkala dirinya dilantik sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). April lalu, Oso resmi terpilih secara aklamasi menduduki kursi Ketua DPD untuk periode April 2017 sampai September 2019, menggantikan Mohammad Saleh.

Pelantikan dirinya, banyak mengundang reaksi negatif dari berbagai pihak. Pasalnya, miliarder tambang yang namanya tercatat di Panama Papers ini juga menduduki kursi pemerintahan penting lainnya, yakni sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Masyarakat (MPR) RI dan Ketua Umum Partai Hanura.

Selain itu, lembaga hukum yang melegalkan posisinya sebagai ketua DPD, dinilai melanggar peraturan DPD nomor 1 2016 dan nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur masa jabatan Pimpinan DPD. Majelis Agung sebelumnya telah menolak Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang berisi masa jabatan Pimpinan DPD selama dua setengah tahun. Dengan demikian, seharusnya Mohammad Saleh dan Farouk Mohammad, sebagai Wakil Ketua DPD, masih menjabat. Namun, pada pelantikan Oso, Majelis Agung tiba-tiba berputar arah dan melaksanakan putusan yang telah ditolaknya.

Sementara Farouk Muhammad, Wakil Ketua DPD periode sebelumnya, tak ketinggalan menyatakan penolakannya. Ia bahkan mengeluarkan pernyataan tertulis yang berbunyi pemilihan Ketua DPD tidak bisa dianggap sah karena bertentangan dengan aturan dan hukum.

Terancam Dicopot Melalui Amicus Curiae

Jumat (2/6) lalu, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, diminta membatalkan pelantikan Oso. Salah satu pihak yang menuntut pembatalan tersebut adalah Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera dan Ketua Asosiasi HTN-HAN, sebagai pihak amicus curiae (Sahabat Peradilan), dirinya menyatakan jika pelantikan DPD tersebut cacat hukum.

Amicus curiae atau Sahabat Peradilan sendiri, yang diajukan sebagai langkah mencopot Oso dari kursi DPD RI, merupakan konsep hukum yang melibatkan pihak yang merasa berkepentingan dalam sebuah perkara, dengan memberi pendapat hukumnya kepada pengadilan. Konsep ini memang masih asing dan tak lazim di Indonesia, dan lebih sering dilakukan di negara penganut tradisi common law. Namun cara tersebut pernah ditempuh pada beberapa kasus politik di Indonesia.

Salah satu penggunaan amicus curiae yang menyita perhatian publik adalah peninjauan kasus majalah Time versus Soeharto di tahun 1999. Pihak pegiat kemerdekaan pers Indonesia memberi pendapatnya, dalam kapasitasnya sebagai dewan pers. Cara ini berhasil membawa Time meloloskan diri dari jeratan pidana yang dilemparkan pihak Soeharto.

(Foto: Istimewa)

Konsep amicus curiae sendiri dilindungi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, yang berbunyi, “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dalam kasus Oso, pihak yang menjadi amicus curiae adalah pakar hukum dari berbagai universitas serta badan LSM.

Langkah amicus curiae, memang masih dipandang sebelah mata, namun ia mampu melakukan intervensi sebuah perkara. Pengamat hukum tata negara, Refi Harun mengatakan, amicus dapat menekan kesesatan peradilan. Karena menurutnya jika hanya mengandalkan proses peradilan saja, maka proses peradilan rentan diwarnai kekuatan dan sentimen, “siapa yang punya kekuatan finansial dan bisa mempengaruhi pembentukan opini, maka bisa membelokkan arah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Refi menyatakan jika amicus curiae, membuka kesempatan kepada orang-orang independen dan kredibel untuk memberi masukan. Dalam konteks tertentu, mereka dapat dipanggil sebagai saksi ahli dalam peradilan di Mahkamah Konstitusi. Dibandingkan perkara pidana, Refi melihat, amicus curiae memang lebih berperan nyata dalam peradilan di MK. “Amicus ini di pengadilan pidana tak memiliki kekuatan apa-apa. Berbeda dengan MK, mereka bisa menjadi pihak ketiga. Aktif,” tutupnya.

Harapan Anulir Status Oso

Protes menurunkan Oso dari kursi DPD RI tak hanya datang dari kalangan hukum saja. Gerakan masyarakat sipil dari beberapa organisasi perempuan yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) turut meminta Mahkamah Agung membatalkan pelantikan pimpinan baru DPD, yang dianggapnya inkonstitusional.

GPPI desak turunkan Oso (Foto: Istimewa)

“Kami GPPI meyerukan kepada ketua MA Hakim Agung Hatta Ali untuk segera mengkoreksi tindakan MA dan membatalkan pelantikan pimpinan baru DPD yakni Oesman Odang, Nono Sampono, dan Damayanti Lubis yang dipilih inkonstitusional pada sidang pimpinan sementara DPD yang sah tanggal 4 April 2017, “ ujar Rita Serena Kolibonso selaku Koordinator GPPI.

Oso sendiri pernah berseloroh agar publik tak lagi mempermasalahkan pelantikan dirinya. “Anggap saja polemik itu sudah enggak ada lagi. Mari kita bangun DPD ke depan,” ungkapnya.

Baik sang ketua dan wakil ketua MA, belum memberikan pernyataan terkait ramainya penolakan yang terjadi. Melalui jubirnya, Ketua MA menitipkan pernyataan kepada Suhadi, “Ya itulah yang saya katakan itu wewenang ketua MA atau yang mewakili MA,” ujarnya.

Wewenang Hatta Ali, selaku ketua MA yang memberi persetujuan atau penolakan melantik ketua DPD RI, diserahkan pada wakilnya, Suwardi. Dirinya tak bisa memimpin pelantikan karena umroh ke Mekah saat itu. Sementara Suwardi, wakil ketua MA yang memandu pelantikan Oso, pada Mei lalu mewartakan melalui putrinya, Teti Suwardi, jika dirinya sudah pensiun. “Atas nama Beliau, mohon maaf jika ada kata atau perbuatan yang tidak berkenan,” ujarnya. Teti melanjutkan jika ayahnya kini menekuni hobi bersawah di kampung halaman dan menghabiskan waktu bersama cucu, tak lagi berkecimpung di dunia hukum dan politik. Sehingga, pernyataan Suwardi terkait pelantikan ‘kontroversialnya’ semakin sulit dikeluarkan.

DPD sendiri, badan di mana Oso menjabat sebagai orang nomor satu, didirikan tiga belas tahun lalu, memiliki tujuan mulia mewakili suara dan utusan daerah dan golongan. Sehingga, tiap daerah dapat tertampung aspirasi dan kebutuhannya, dan di saat yang bersamaan kontribusi wakilnya bisa melahirkan kebaruan di Indonesia.

Namun wacana pembubaran DPD RI, juga kencang seiring kisruh pelantikan Oso April lalu. Lembaga tersebut dipertanyakan efektifitasnya dalam menyuarakan aspirasi rakyat daerah di tingkat pusat. Anggota DPD dari NTT, Abraham Liyanto, menilai jika kewenangan SPS tidak diperkuat, lebih baik dibubarkan supaya tidak memboroskan keuangan negara. “DPD adalah bagian dar lembaga legislatif di parlemen. Kalau funsinya tidak kuat untuk melalukukan saling kontrol, lebih baik dibubarkan,” ujarnya.

Melihat kericuhan yang terjadi dalam tubuh DPD akibat perebutan kursi jabatan dan juga pembelokan aturan hukum oleh MA, serta keraguan efektifitas DPD, apakah badan ini layak dipertahankan? Berikan pendapatmu. (Berbagai Sumber/A27)

Exit mobile version