Bergabungnya Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) ke Partai Golkar tampaknya memiliki sejumlah makna sekaligus menguak banyak hal. Namun satu pertanyaan sederhana mengemuka, mengapa Partai Golkar yang dipilih RK?
Jika mengadopsi istilah perpindahan pemain sepak bola dari satu klub ke klub lain, bergabungnya Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) ke Partai Golkar kiranya menjadi sebuah saga transfer dalam politik tanah air.
RK yang dapat dikatakan jadi salah satu bintang dalam politik dan pemerintahan nasional tampaknya akan memperkuat “lini serang” Partai Golkar di kompetisi politik 2024 yang belakangan mulai terasa memanas.
Saga transfer RK sendiri cukup bersejarah mengingat partai berlambang pohon beringin itu menjadi identitas politik pertamanya sejak terjun ke dunia politik dan pemerintahan sebagai sosok indie pada tahun 2012 silam.
Kembali, bak peresmian pemain bintang baru sebuah klub sepak bola, pengumuman bergabungnya RK terasa istimewa. Diumumkan pada 18 Januari lalu, Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto memakaikan langsung jas kuning kepada RK sebagai simbol politik sahih.
Secara substansial, Airlangga menyiratkan deal transfer RK dikarenakan mantan Wali Kota Bandung itu memenuhi kriteria sebagai kader partai serta untuk memperkuat lini Partai Golkar di Jawa Barat jelang kontestasi elektoral 2024.
Secara tersurat, Airlangga mengatakan RK akan mengemban tugas untuk menggalang pemilih yang muaranya adalah kemenangan di Pemilu 2024.
Memang, sambutan istimewa terhadap sosok yang juga kerap disapa Kang Emil itu kiranya juga mengindikasikan dirinya bukan politisi biasa.
Sebagai sosok pemimpin muda dengan reputasi positif sejak menjadi wali kota, RK bahkan langsung masuk bursa kandidat prominen dalam Pemilu 2024, baik untuk meneruskan kepemimpinan di Jabar, promosi sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta, hingga sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Bahkan, pengamat politik dari Cyrus Network Arifki Chaniago menyebut RK bisa menjadi alternatif calon presiden (capres) Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) – Partai Golkar, PAN, dan PPP – jika Airlangga urung maju karena perkara elektabilitas.
Terlepas dari potensi peran dan pos konkret dalam Pemilu 2024, keputusan RK memilih Partai Golkar agaknya juga menarik untuk ditelisik.
Terlebih, saat diwawancara oleh PinterPolitik pada Agustus 2020 silam, Kang Emil mengaku dirinya telah ditawari bergabung oleh empat partai politik. Pertanyaan sederhana kemudian mengemuka, yakni mengapa RK memilih Partai Golkar?
Golkar Paling Menjanjikan?
Harus diakui, meski perjalanan politik Partai Golkar diwarnai pasang surut, entitas politik ini menjadi yang paling konsisten di jajaran elite kekuasaan. Bahkan, setelah Orde Baru (Orba) tumbang pada tahun 1998.
Di era Orde Baru, Partai Golkar memang menjadi alat kekuasaan Soeharto, dengan selalu meraih lebih dari 60 persen suara.
Bisa dikatakan, Partai Golkar menjadi entitas tertua yang terus bersaing hingga kini. Setidaknya, posisi partai berlambang beringin ini selalu ada di tiga besar peraih suara terbanyak dalam dua dekade terakhir.
Selain konsistensi di jajaran elite dan kekuasaan, Partai Golkar pasca Reformasi dapat disebut cukup menarik karena tidak bergantung pada satu tokoh tertentu. Ihwal yang disinggung Ulla Fiona dan Dirk Tomsa dalam Parties and Factions in Indonesia: The Effects of Historical Legacies and Institutional Engineering.
Hal tersebut menjadi keunikan tersendiri karena menurut Fiona dan Tomsa, mayoritas parpol-parpol lain justru hanya punya satu atau dua tokoh sentral dalam partai.
Berkaca pada dua parpol yang pernah dan sedang berkuasa pasca Reformasi, yakni PDIP dan Partai Demokrat, aspek ketokohan menjadi penopang kelembagaan.
Itu yang dinilai membuat partai begitu rentan jika Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak lagi dapat berpengaruh secara konkret.
Sementara itu, di Golkar dengan karakteristik terbuka atau catch-all party terdapat banyak aktor prominen yang meski terkadang berbeda kepentingan, tetapi tetap satu perjuangan menjaga stabilitas internal.
Intrik di antara Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo (Bamsoet), misalnya, kendati tampak begitu panas namun tetapi bisa terselesaikan dan justru seolah membuat Partai Golkar tampak tangguh dalam beradaptasi terhadap dinamika.
Selain Airlangga dan Bamsoet, terdapat nama berpengaruh lain di Partai Golkar seperti Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla (JK), hingga Luhut Binsar Pandjaitan.
Lebih lanjut, Akbar Tandjung dalam The Golkar Way: Survival menyebut kunci keberhasilan Partai Golkar mampu beradaptasi dengan berbagai turbulensi politik adalah karena sejak awal tidak menganut ideologi politik yang ekstrem, baik kiri maupun kanan.
Sikap politik terbuka, kepemimpinan partai yang tidak tersentralisasi, dan merangkul sebanyak mungkin kelompok sosial menjadi faktor yang membuat Partai Golkar begitu menjanjikan. Sebuah hal yang kemungkinan dilihat RK dengan visi politiknya.
Lantas, bagaimana peluang RK dan Golkar menyongsong kontestasi elektoral mendatang?
Titik Balik Golkar?
Banyaknya aktor membuat eksistensi faksi-faksi di internal Partai Golkar tidak dapat dihindari. Raphael Zariski dalam Party Factions and Comparative Politics: Some Preliminary Observations mendefinisikan faksi secara lebih spesifik sebagai kelompok intrapartai, yang mana anggotanya memiliki identitas dan tujuan yang sama serta bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut.
Menariknya, faksi-faksi tersebut pernah disinggung Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar pada 18 Desember 2017 silam.
Kembali, nama JK, Aburizal Bakrie, Luhut Binsar Panjaitan, Akbar Tandjung, hingga Agung Laksono disinggung kepala negara sebagai aset berharga partai.
Jika ditelisik tipologinya, di internal partai kuning kiranya terdapat tiga faksi kuat yang saling menopang dan “bersaing secara sehat”, di antaranya faksi hijau Islam, faksi hijau militer, dan faksi pengusaha.
Kompetisi di antara tiga faksi tersebut tak dapat dihindari, seperti dalam penentuan ketua umum.
Namun, setelah kontestasi selesai, mereka tampak kembali bersatu untuk kepentingan partai. Sebuah hal yang oleh Francoise Boucek dalam Factional Politics: How Dominant Parties Implode or Stabilize dilihat sebagai faksionalisasi kompetitif dengan mengedepankan meritokrasi.
Kemungkinan, Partai Golkar mengadopsi konsep dalam dunia bisnis, yakni multiple large shareholder sebagaimana dijelaskan Najah Attig dalam Do Multiple Large Shareholders Play A Corporate Governance Role? Evidence From East Asia.
Dikatakan, sebuah perusahaan yang memiliki banyak shareholder akan lebih kuat dibanding perusahaan yang hanya bergantung pada satu pemilik.
Itu dikarenakan, ketika terjadi turbulensi, para pemegang saham cenderung akan saling bahu membahu demi tetap tegaknya perusahaan.
Di Partai Golkar, JK pernah menyiratkan kesesuaian dengan konsep tersebut. Dalam banyak hal, mantan Wakil Presiden itu menyebut para faksi kerap kali saling mem-back up satu sama lain.
Kondisi semacam itu dianggap menguntungkan Golkar. Keberadaan banyak tokoh memungkinkan orang yang menjadi pemimpin partai dan para pembuat keputusan strategis adalah sosok yang benar-benar punya kemampuan politik yang andal. Ini yang juga disinggung oleh Akbar Tandjung.
Fleksibilitas dan prospek itu yang kemungkinan besar membuat RK memilih Partai Golkar sebagai wadah sekaligus entitas untuk mengabdi di politik dan pemerintahan.
Tak hanya RK, eks politisi PSI Rian Ernest yang baru saja bergabung dengan Partai Golkar juga bisa jadi melihat hal serupa.
Di titik ini, kehadiran tokoh progresif seperti RK bukan tidak mungkin membuat Partai Golkar akan bangkit dan tak hanya sekadar mengisi tiga besar, tetapi menjadi jawara di pemilu-pemilu mendatang.
Mengacu pada penentuan sosok capres 2024 yang hingga kini masih diarahkan kepada Airlangga, prospek sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta kiranya dapat menjadi batu loncatan menjanjikan bagi RK dan Partai Golkar untuk bangkit dari tidur panjang sebagai partai non-penguasa.
Kini, tinggal titah besar dari pimpinan Partai Golkar dan aktualisasi konkretnya yang dinantikan. Selain itu, jika ingin menghadirkan loncatan signifikan, kehadiran RK dengan elektabilitas dan modal sosial-politiknya kiranya harus disikapi dengan kebesaran hati lebih dari para elite Golkar.
Di sisi lain, tidak menjadi aktor politik yang sekadar ngekos di Partai Golkar juga agaknya harus menjadi prinsip RK jika ingin bersama-sama menguasai blantika politik dan pemerintahan tanah air kelak. (J61)