Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Tak lagi seputar dikotomi berlatarbelakang sipil vs militer, pengusaha sukses yang “telah selesai dengan dirinya sendiri” lalu terjun ke politik dinilai lebih ideal untuk mengampu jabatan politis serta menjadi pejabat publik. Mengapa demikian?
Bukan sekali atau dua kali pejabat publik disorot karena hasil “paparazzi” yang mengabadikan momen fasilitas premium digunakan. Bahkan, walau fasilitas tersebut berasal dari kocek pribadinya sendiri.
Di permukaan, tudingan mengenai penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi menjadi tajuk yang cukup seksi untuk “digoreng” dan memantik kritisi publik, tanpa terlebih dahulu melihat secara jernih asal muasal “anggaran” penggunaan fasilitas tersebut.
Fasilitas premium yang dimaksud sendiri cukup beragam, mulai berupa mobil mewah, aksesoris branded, hingga penggunaan carter pesawat jet pribadi.
Ending-nya, publik pun tak jarang terbungkam setelah mengetahui dengan jelas asal muasal fasilitas premium yang sebenarnya tak selalu digunakan politisi maupun pejabat publik tersebut.
Hal itu tak lain, karena realitanya sejumlah pengusaha memang turut terlibat dan berkontribusi di ranah politik-pemerintahan.
Di titik ini, interpretasi menarik pun mengemuka mengenai latar belakang pengusaha yang agaknya cukup ideal untuk mengampu jabatan politik-pemerintahan.
Memiliki Buffer Natural?
Dalam diskursus politik, kerap muncul sebuah pertanyaan menarik, yakni apakah seorang pebisnis yang masuk ke dunia politik lebih baik karena mereka sudah kaya, sehingga kecil kemungkinan mereka akan korup? Serta mereka akan sepenuhnya mengabdi untuk kepentingan rakyat?
Postulat sederhana kiranya eksis untuk menjelaskan pertanyaan tersebut. Dalam politik, insentif untuk melakukan korupsi sering kali berakar pada dua hal, yakni kebutuhan akan modal politik (kampanye, partai, logistik) serta ambisi pribadi untuk memperkaya diri.
Pebisnis yang sudah mapan dianggap tidak tergoda oleh insentif kedua karena mereka “sudah kenyang” secara finansial dan memiliki tekanan pendanaan.
Lalu, pengusaha pun dinilai memiliki pengalaman manajerial dan eksekutif. Mereka terbiasa mengelola sumber daya, organisasi besar, dan membuat keputusan strategis. Ihwal yang cakupannya mirip dengan peran kepala daerah atau menteri.
Kemudian, pengusaha pun disebut memiliki pola pikir jangka panjang dan berorientasi hasil. Pengusaha sukses biasanya punya orientasi pada outcome dan efisiensi, bukan sekadar retorika. Hal ini sesuai untuk reformasi birokrasi dan pembangunan.
Hal ini sejalan dengan pemikiran dari teori ekonomi politik klasik, seperti yang dikemukakan oleh James Buchanan dan Gordon Tullock dalam The Calculus of Consent.
Menurut keduanya, manusia (termasuk politisi) adalah homo economicus yang bertindak rasional demi kepentingan pribadinya. Ringkasnya, jika kebutuhan finansial sudah terpenuhi, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan menurun. Tentu dengan catatan bahwa integritas tetap terjaga.
Namun, hal tersebut tentu tak serta merta menjadikan pebisnis sebagai politisi yang ideal. Kita harus masuk ke level integritas dan orientasi kekuasaan mereka.
Dalam ilmu administrasi publik, terdapat konsep Public Service Motivation (PSM) yang dikembangkan oleh James L. Perry.
PSM adalah dorongan untuk melayani publik demi kebaikan bersama, bukan karena dorongan materi. Seorang pebisnis yang terjun ke politik bisa menjadi politisi yang efektif dan jujur jika ia memiliki PSM tinggi, yaitu ketika kekayaannya digunakan sebagai modal untuk memberi kembali kepada masyarakat.
Kendati demikian, integritas menjadi kunci dalam kondisi ini, di mana tanpa integritas, kekayaan justru bisa menjadi alat untuk membeli kekuasaan.

Tetap Ada Jebakan Paradoks?
Dalam karya klasik The Republic yang digubah Plato, ada satu pertanyaan mendasar, yaitu siapa yang paling layak memerintah? Bagi Plato, jawaban idealnya adalah “the philosopher-king“—mereka yang tidak berambisi berkuasa, tapi justru karena itu pantas diberi kekuasaan.
Konsep ini kiranya dapat kita tarik sejajar dengan pengusaha atau pebisnis mapan yang tidak (lagi) membutuhkan kekayaan dari kekuasaan.
Mereka, secara teoretis, lebih dekat kepada model “penguasa ideal” karena mereka tidak bergantung pada kekuasaan untuk mengakumulasi harta.
Namun, dalam probabilitas skenario lainnya, sebagaimana ditunjukkan dalam teori elite klasik dari Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto, bahkan kelompok yang memiliki sumber daya non-politik (seperti kapital) akan mencari konversi kekayaan menjadi kekuasaan politik.
Dalam konteks ini, pengusaha tertentu yang masuk ke politik bukan karena panggilan moral, melainkan untuk memperluas atau melindungi kekuasaan mereka.
Di sinilah integritas menjadi pembeda antara pebisnis-politisi yang melayani dan yang mengeksploitasi.
Kembali, mengacu pada Buchanan dan Tullock, aktor dalam sistem demokrasi tetaplah self-interested utility maximizers. Maka, untuk mencegah penyimpangan, desain insentif dan struktur biaya-hukuman memang harus memadai.
Pengusaha atau pebisnis yang masuk ke ranah politik dengan motivasi luhur serta “modal sendiri” secara teoritis sudah memiliki buffer terhadap kebutuhan untuk memanipulasi sistem demi uang.
Masuk ke wilayah moral-filosofis, Aristoteles dalam Nicomachean Ethics berpendapat bahwa tindakan politik yang benar harus didasari oleh virtue ethics, yakni tindakan yang baik bukan hanya karena hasilnya, tapi karena aktor tersebut memang memiliki karakter yang baik. Dalam hal ini, integritas menjadi bentuk dari kebajikan (areté).
Seorang pengusaha yang tidak hanya kaya tapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai etika seperti keadilan (dikaiosynē), keberanian (andreia), dan tanggung jawab sosial (philanthropia), akan membawa kekayaan sebagai alat, bukan tujuan dalam politik.
Inilah yang Aristoteles sebut sebagai zoon politikon yang matang, manusia yang menggunakan kapasitasnya untuk membangun polis, bukan mengurasnya.
Pada akhirnya, gerak-gerik pengusaha yang terjun ke jabatan politik atau publik kiranya dapat diidentifikasi, baik secara kasat mata maupun tersirat.
Kendati bukan jaminan bahwa seorang politisi tak korup atau memiliki alat untuk menutupi sisi gelapnya, sejumlah gestur seperti kerap berbagi kepada yang membutuhkan hingga keterlibatan secara “tulus” di aktivitas sosial kemasyarakatan bisa menjadi indikator positif sosok ideal tersebut.
Akan tetapi, penjelasan di atas merupakan interpretasi semata. Kembali, integritas sejati akan selalu menjadi pembeda yang akan terlihat dari para pejabat publik, terlepas dari latar belakangnya. (J61)