Site icon PinterPolitik.com

Safari Airlangga Sinyal Tiga Poros di 2024?

Safari Airlangga Sinyal Tiga Poros di 2024?

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto bersama Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh pada 9 Maret 2020 (Foto: Kumparan)

Dalam tiga minggu terakhir, Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto melakukan safari politik mengunjungi Surya Paloh, Suharso Monoarfa, dan Prabowo Subianto. Banyak yang menilai Airlangga tengah menjajaki potensi koalisi untuk 2024, terutama dengan Nasdem. Jika itu benar, apakah safari ini akan melahirkan tiga poros di 2024 nantinya?


PinterPolitik.com

Bagi mereka yang mengikuti perkembangan literatur politik, pasti mengenal Francis Fukuyama. Ilmuwan politik asal Amerika Serikat (AS) ini mendapatkan ketenarannya karena menulis buku The End of History and the Last Man pada tahun 1992.

Sampai saat ini, berbagai pihak menilai buku tersebut telah menjadi legitimasi moral bagi negeri Paman Sam untuk mempromosikan sistem politik demokrasi, tepatnya demokrasi liberal. Ada pula yang menyebut buku tersebut telah meninabobokan AS terkait kepercayaannya sebagai penjaga demokrasi dunia.

Tuduhan-tuduhan semacam itu bukannya tanpa alasan. Seperti judulnya, buku itu menilai demokrasi  liberal adalah akhir dari dialektika sistem politik. Ia menjadi pemenang atas pergulatannya dengan fasisme dan komunisme.

Akan tetapi, sepertinya banyak yang tidak penuh membaca atau memahami buku tersebut. Seperti yang ditegaskan Fukuyama dalam pengantar buku terbarunya yang ditulis pada tahun 2018, Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, sepertinya banyak yang tidak membaca bagian the Last Man.

Menariknya, dalam bab “the Last ManFukuyama justru mempertanyakan apakah demokrasi, khususnya nilai-nilai liberal dapat menjadi jawaban atas persoalan mendasar umat manusia, yakni hasrat untuk diakui.

Terkait persoalan tersebut, Fukuyama mengadopsi konsep thumos atau thymos dari Plato (Platon) dalam buku RepublicThymos adalah bagian jiwa yang sangat membutuhkan pengakuan akan martabat. Ada pula turunannya, yakni isothymia yang merupakan tuntutan atas kesetaraan, dan megalothymia yang merupakan keinginan untuk diakui sebagai yang lebih unggul. Namun intinya adalah adanya hasrat fundamental atas pengakuan dari pihak lain.

Baca Juga: Tepatkah Membandingkan Kerumunan Jokowi dengan HRS?

Menurut Fukuyama, dialektika sistem politik bergerak di atas thymos. Manusia mencari sistem politik yang paling mungkin untuk memenuhi thymos tersebut. Ini yang menjadi dasar argumentasi Fukuyama untuk mempromosikan demokrasi liberal sebagai yang terbaik, karena sistem politik ini memungkinkan penerimaan atas keberagaman dan memberikan kesempatan politik yang sama.

Menariknya, konsep thymos ini dapat kita gunakan untuk menganalisis hampir semua persoalan dan fenomena politik, termasuk safari politik terbaru Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto dalam tiga minggu terakhir ini.

Seperti yang diketahui, secara berurutan Airlangga telah mengunjungi Ketum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketum PPP Suharso Monoarfa, dan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Lantas, bagaimana thymos dapat menjelaskan safari politik Airlangga?

Terbentuk Tiga Poros?

Dalam membahas politik, kita perlu mengenal dua kategori. Pertama, kategori normatif, di mana politik ditujukan untuk menciptakan kebaikan bersama (common good) bagi masyarakat. Kedua, kategori realis, di mana politik ditujukan sebagai ajang perebutan kekuasaan.

Konsep thymos sangat tepat digunakan untuk memahami politik realis, atau politik yang sesungguhnya berjalan di lapangan. Dalam praktiknya, setiap aktor politik memang menginginkan pengakuan. Masalahnya, pengakuan paling maksimal didapatkan apabila berada di tampuk kekuasaan.

Rasionalisasi thymos ini membuat kita paham mengapa Airlangga sudah sedari dini melakukan safari politik, meskipun Pilpres 2024 masih tiga tahun lagi. Terkhusus safari ke Surya Paloh, yang disebut sebagai bentuk penjajakan koalisi Golkar dengan Nasdem, kita dapat memahaminya melalui nasihat terkenal dari ahli strategi asal Tiongkok, Sun Tzu, yakni pahamilah kekuatan dan kelemahan musuh – pahami kondisinya.

Nah, mengacu pada thymos, jika Airlangga bersama dengan Golkar ingin menjadi partai dominan di 2024 nanti, tentunya pilihan untuk bersama PDIP tidak lagi akan diambil. Pasalnya, PDIP mestilah ingin mempertahankan kekuasaannya.

Oleh karenanya, Golkar perlu melihat siapa parpol besar yang sekiranya juga tidak nyaman jika PDIP menjadi partai dominan lagi, dan itu tampaknya adalah Nasdem. Megawati Soekarnoputri yang terlihat tidak menyalami Surya Paloh saat pelantikan anggota DPR Periode 2019-2024 pada 1 Oktober 2019 lalu, jamak dinilai sebagai indikasi kuat retaknya hubungan Nasdem dengan PDIP.

Menurut berbagai pihak, ini karena Nasdem diduga membajak beberapa kader PDIP di Pemilu 2019. Ada pula ketidaksukaan terhadap Nasdem karena dinilai memanfaatkan posisi “kadernya” yang menjadi Jaksa Agung di periode pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Nasdem juga menunjukkan ketidaksukaan ketika Prabowo dan Sandiaga Uno masuk ke koalisi. Di sisi lain, hubungan PDIP dengan Gerindra sepertinya kembali erat.

Terkait dengan kunjungan ke Suharso dan Prabowo, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Jati menilainya sebagai strategi kamuflase untuk meminimalisir sentimen. Konteks ini juga dapat kita tarik dari nasihat Sun Tzu lainnya, yakni “perang adalah tipu muslihat”.

Baca Juga: 2024, Megawati vs Everybody?

Di sini sekiranya cukup jelas, Golkar telah menangkap retaknya hubungan tersebut, sehingga mungkin memutuskan Nasdem adalah partner potensial untuk menantang PDIP, yang kemungkinan akan berduet dengan Gerindra di 2024. Prabowo disebut akan diduetkan dengan Puan Maharani.

Sampai di sini, kita sudah dapat memetakan dua koalisi yang mungkin terjadi. Pertama, koalisi kubu PDIP, yang kemungkinan diisi oleh Gerindra dan PKB. Terkait PKB, ini merujuk pada hubungan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dengan Megawati, ataupun hubungan PDIP dengan NU.

Kedua, koalisi Golkar dan Nasdem. Menariknya, koalisi ini dapat juga diisi oleh PKS dengan merujuk pada manuver Surya Paloh yang terlihat mencoba mendekati partai Islam tersebut sejak Oktober 2019 lalu.

Jika nantinya PKS tidak bergabung, kita dapat berspekulasi akan ada poros atau koalisi ketiga dengan menggandeng Partai Demokrat. Pasalnya, sampai saat ini, PKS dan Demokrat yang terlihat konsisten berada di oposisi, meskipun pada awalnya partai Mercedes terlihat mendua.

Namun, mengacu pada presidential threshold (PT) 20 persen, poros ketiga tampaknya sulit terjadi karena gabungan suara PKS (8,21 persen) dan Demokrat (7,77 persen) hanya 15,98 persen.

Selain harus mencari partai lain, saat ini Demokrat juga tengah mengalami gejolak internal. Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko bahkan telah dinobatkan sebagai Ketua Umum dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara hari ini.

Airlangga Butuh Spionase?

Di titik ini, mungkin beberapa dari kita telah bersepakat bahwa Golkar tengah menjajaki koalisi 2024 dengan Nasdem. Penjajakan dini ini mungkin adalah pengejawantahan Airlangga atas strategi menyerang Sun Tzu.

Mengutip Andri Wang dalam bukunya The Art of War: Menelusuri Strategi dan Taktik Perang ala Sun Zi, dalam bab “Medan Perang”, Sun Tzu menulis, “Orang yang mau mengalahkan musuh harus mengambil peranan inisiatif dan aktif menyerang (offensive) terlebih dahulu.”

Akan tetapi, selaku politikus dan pebisnis ulung, Airlangga sekiranya jangan sampai melupakan nasihat Sun Tzu dalam bab “Manuver Perang”. Menurut Sun Tzu, pasukan musuh yang tiba lebih dahulu di medan perang memang memiliki keunggulan dalam hal semangat tempur yang tinggi. Namun, itu dapat disiasati dengan tidak dulu menyerang mereka, atau menunggu semangat tempurnya memudar.

Nah, di sini Airlangga perlu waspada. Jika benar sedang menjajaki koalisi dengan Nasdem, Menko Perekonomian ini perlu untuk menjaga dan memastikan semangat tempurnya tetap terjaga. Jika tidak, bisa jadi Nasdem akan beralih pilihan, ataupun risiko penjajakan koalisi ini diserang sejak dini.

Untuk mengantisipasi hal ini, Airlangga sebenarnya dapat menggunakan strategi spionase Sun Tzu. Dalam bab “Memanfaatkan Spionase”, Sun Tzu menjelaskan bahwa spionase atau strategi mengorek informasi tentang keadaan “perut” musuh sangatlah vital dalam perang.

Tidak hanya sekadar untuk memetakan situasi dan kondisi musuh, melainkan juga sebagai pengejawantahan nasihat Sun Tzu agar menyerang ketika musuh sedang tidak siap. Maksudnya, seharusnya Airlangga tidak terbuka memperlihatkan dirinya sedang bersafari politik, agar pihak-pihak lain yang mungkin tidak menyukai manuver tersebut tidak memberikan respons negatif ataupun memberikan serangan.       

Baca Juga: Revival Golkar, Partai Penguasa di 2024?

Well, pada akhirnya kita hanya dapat membuat interpretasi atas safari politik terbuka Airlangga ini. Apakah ini untuk menjajaki koalisi 2024 atau sekadar pertemuan antar ketua umum parpol biasa, hanya pihak-pihak terkait yang mengetahuinya. Kita amati saja perkembangannya. (R53)

Exit mobile version