HomeNalar PolitikKapolri dan Budaya Pemerkosa

Kapolri dan Budaya Pemerkosa

Ungkapan seksis Kapolri ketika membahas korban perkosaan menyulut reaksi dari beberapa aktivis perempuan, tagar #MulaiBicara bermunculan. Apakah itu cukup meredam budaya perkosaan di Indonesia?


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]K[/dropcap]apolri Jenderal Tito Karnavian sudah merubah pernyataannya seputar teknis pemeriksaan dan pertanyaan yang biasa ditanya penyidik kepada korban perkosaan, Ia menyangkal jika dianggap melecehkan korban. “Jangan sampai dianggap bahwa apa yang disampaikan di media online itu menggambarkan bahwa seolah-olah saya selaku Kapolri tidak peduli kepada korban pemerkosaan dan lain-lain. Saya sangat peduli,” jelasnya.

Pernyataan Tito untuk menanyakan korban perkosaan, apakah nyaman ketika diperkosa, berhasil menyulut emosi beberapa lapisan masyarakat. Mulai dari netizen, aktivis perempuan, hingga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, mengirimkan suara keberatan kepadanya.

Pernyataan seksis dan tak berempati yang sempat keluar dari Jenderal Kepolisian itu menggelorakan budaya victim blaming atau budaya menyalahkan korban, terutama korban perkosaan. Pola pikir ini pula yang menurut para aktivis dari tim #MulaiBicara membuat banyak korban atau penyintas perkosaan, tak sudi mengandalkan institusi kepolisian untuk mengejar dan menghukum pelaku.

Prasangka sang Jenderal juga membuktikan jika melapor ke polisi itu sangat sulit. Bukannya mendapat solusi, malah banyak korban mengalami pengalaman interogasi yang traumatis dengan pertanyaan tak simpatik dan makin membuatnya merasa dilecehkan. Maka tak jarang berbagai kasus pemerkosaan berhenti di tengah jalan, sebab korban makin trauma dengan alur penyidikan di kepolisian.

Tito Tak Satu-Satunya

Selain Tito, beberapa tahun lalu seorang calon hakim agung juga mengatakan  hal yang hampir senada seputar kasus pemerkosaan. Hakim Muhammad Daming Sanusi berseloroh jika pelaku perkosaan tak harus dihukum mati sebab baik dirinya dan korban sama-sama menikmati. Atas pernyataannya itu, dirinya tak direkomendasikan oleh salah satu anggota Komisi III Partai PKS sebagai hakim agung.

Sementara itu, di belahan negara lain, yakni Amerika Serikat, selama dua minggu terakhir dipenuhi oleh pengakuan korban pelecehan seksual oleh seorang produser kenamaan Hollywood, Harvey Wenstein. Hingga detik ini sudah lebih dari 30 korban ‘keluar’ menceritakan pengalamannya sembari membagi tagar #MeToo.

Baca juga :  Menguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Namun, gerakan #MeToo yang ramai di sosial media sejak dua minggu lalu itu, tak langsung menggerakkan pihak kepolisian untuk menurunkan penyelidikan lebih lanjut. Kepolisian baru bergerak beberapa hari lalu setelah Weinstein dipecat dari perusahaannya sendiri dan dikeluarkan dari Akademi Oscar yang bergensi. Alih-alih langsung dibawa ke kepolisian, Weinstein lebih dulu dibawa ke klinik psikolog dan direhab selama seminggu.

Melihat penanganan kepada pelaku pelecehan seksual dan bagaimana institusi perlindungan masyarakat beroperasi, sepertinya Amerika Serikat tak lebih baik dari Indonesia. Pihak berwenang masih belum sigap bergerak menangani pelaku. Sekalipun terciduk, penanganannya juga tersendat. Di saat yang sama, jumlah korban yang keluar menceritakan kekerasan seksualnya dengan tagar #MeToo semakin meningkat.

Indonesia dan Budaya Pemerkosa

Kampanye global #MeToo yang ramai di Amerika Serikat dan mulai tersebar di Indonesia lewat tagar #MulaiBicara, sempat menerbitkan rasa optimisme terhadap kemajuan berbagai kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Namun, kampanye global tersebut tak juga mengeluarkan laki-laki, yang mayoritas menjadi pelaku, untuk ikut berpartisipasi.

Berapa banyak perempuan di Indonesia yang mengingatkan para lelaki di sekitarnya supaya tak melecehkan lawan jenis? Berapa banyak sesama lelaki yang megingatkan temannya supaya tak menjadikan perempuan sebagai obyek? Berapa banyak orangtua mewanti-wanti anak lelakinya agar tak jadi pemerkosa? Pertanyaan ini belum juga bisa dijawab.

Budaya pemerkosa masih kuat tercetak pada candaan seksis, mesum, dan cabul yang beredar hampir setiap hari. Begitu juga lewat lagu-lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi kenamaan, contohnya lagu Iwan Fals berjudul Mata Indah Bola Pingpong, yang menurut salah satu penulis dan pegiat hak perempuan, Syahar Banu, sebagai normalisasi Catcalling atau pelecehan verbal.

Salah satu penintas kekerasan seksual (sumber: istimewa)

Dari tagar #MeToo yang tersebar, sangat miris jika hanya ada sedikit sekali suara lelaki yang mengambil bagian, baik mengaku sebagai korban maupun mendukung para korban. Kampanye ini juga menampar balik masyarakat, sebab lagi-lagi para korban yang harus maju dan keluar lebih dulu untuk bercerita. Mereka harus kembali membuka luka lama demi kampanye kepedulian tentang kekerasan seksual.

Baca juga :  Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Selain itu, partisipasi laki-laki sendiri harus berjalan beriringan pula. Sebab, apa guna kampanye melindungi korban dari pelecehan jika tak didukung oleh pihak yang mayoritas menjadi pelakunya. Dengan demikian, kampanye #MeToo ini memang penting, tetapi bukannya ia tak bebas dari masalah.

Baca Juga: Tuntutan Women’s March di Jakarta

Agenda menghapus budaya pemerkosa memang masih sangat panjang di Indonesia. Bagaimana tidak? Secara budaya, mayoritas masyarakat dibesarkan dengan pola pikir dan cara pandang patriarkis. Pelanggengan lewat perkataan atau candaan sehari-hari yang seksis bahkan merendahkan perempuan, dianggap sebagai hal yang normal. Padahal, sejak itulah bibit pelecehan terhadap perempuan dimulai, bahkan tak jarang dilestarikan hingga dewasa.

DPR sebagai bagian dari elemen negara, tentu mempunyai pekerjaan rumah segudang untuk segera mengesahkan Undang-Undang Anti Kekerasan Seksual. Sebagai tambahan, Prancis sudah menggalakkan hukuman bagi pelaku yang bersiul, menggoda, dan perilaku memperlihatkan nafsu di tempat-tempat umum. Kebijakan tersebut terbit menyusul riuh kasus Harvey Weinstein.

Baca juga : Perempuan dan Ketimpangan Hukum

Indonesia tak menutup kemungkinan akan menerbitkan undang-undang yang serupa Prancis, walau sampai hari ini peraturan untuk melindungi perempuan tersebut tak kunjung disahkan. Namun begitu, bukan berarti kita akan berdiam diri sembari menunggu terbitnya UU tersebut. Kita bisa memulainya dari diri sendiri dan dari lingkaran terdekat. Dengan mengingatkan teman, adik, ayah, maupun kerabat agar tak menjadi orang yang melecehkan.

Selain itu, kita juga bisa menjadi salah satu bagian dari sistem pendukung untuk menciptakan lingkungan yang aman untuk perempuan dan laki-laki di sekitar kita. (Berbagai Sumber/A27)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan. PinterPolitik.com Ella S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....