Dengarkan artikel ini:
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bersiap untuk membentuk tim guna mengambil alih PKB. Mengapa ini jadi upaya PBNU untuk selamatkan PKB dari cengkeraman Muhaimin Iskandar alias Cak Imin?
“Sampai wafat, Bapak (Gus Dur) masih berwasiat Cak Imin harus diganti” – Yenny Wahid, Ketua Badan Pengembangan Inovasi Strategis PBNU (5/9/2023)
Saat itu, semua pihak bersiap untuk menerima sebuah amplop kertas. Orang-orang penting mulai berkumpul di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dengan niat yang sama, mereka menunggu untuk menerima giliran panggilan. Kala itu, KPU tengah menyiapkan sejumlah kegiatan untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.
Tepat, pada tanggal 9 Juli 2008 itu, pihak KPU akhirnya memanggil PKB. Alih-alih satu orang yang mengambil amplop tersebut, muncullah dua pentolan PKB yang naik ke panggung.
Dua sosok itu adalah Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang mengklaim bahwa dirinya adalah ketua umum (ketum) PKB dan Yenny Wahid yang mengklaim bahwa dirinya adalah sekretaris jenderal (sekjen) PKB.
Namun, mereka mengambil amplop nomor urut bukan dengan raut muka bersemangat, melainkan ada ekspresi ketidakikhlasan di antara satu sama lain. Bahkan, mereka sempat saling berebut untuk mendapatkan sebilah kertas tersebut.
Momen ini adalah momen puncak atas pertengkaran yang terjadi di internal PKB kala itu. Saat itu, PKB tengah mengalami dualisme, yakni antara kubu Cak Imin dan kubu Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Konflik antara dua kubu inipun masih berlangsung hingga sekarang meskipun PKB kini sepenuhnya secara de facto berada di bawah kendali Cak Imin. Namun, tampaknya, kendali penuh ini mulai mendapat tantangan.
Bagaimana tidak? Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berencana untuk membentuk tim khusus untuk mempertimbangkan pengambilalihan PKB. PBNU menilai PKB kini semakin melenceng dari sejarah.
Mungkinkah ini menjadi langkah untuk kembali merebut PKB dari Cak Imin? Lantas, mengapa PKB di bawah Cak Imin bisa disebut kehilangan arah dari apa yang disebut oleh PBNU?
Perseteruan Antar-kiai di NU?
Pergulatan pemikiran di internal NU sebenarnya sudah berlangsung sejak dekade-dekade lalu. Bahkan, ini berakar sejak tahun 1926, di mana terdapat khittah bahwa NU hanyalah organisasi sosial-masyarakat (jamiyyah).
Keengganan NU untuk berpartisipasi dalam politik praktis ini bermula sejak era Hindia Belanda. NU kala itu memang menjauhkan diri dari pemerintahan Belanda, meskipun memiliki kesempatan untuk ikut serta dalam Volksraad.
Namun, usai kemerdekaan, NU memiliki semangat untuk terlibat aktif dalam politik. Sempat tergabung dalam Masyumi, NU akhirnya memisahkan diri pada tahun 1950-an dan mendominasi Departemen Agama kala itu.
Meski begitu, mengacu ke tulisan Greg Fealy dan Robin Bush yang berjudul “The Political Decline of Traditional Ulama in Indonesia,” terdapat dorongan dari internal NU agar menarik diri dari politik. Pasalnya, ada anggapan bahwa NU mulai beralih pada kepentingan-kepentingan politik untuk beberapa orang saja.
Dorongan-dorongan ini terus hadir dalam perpolitikan Indonesia, hingga era Orde Baru. Di bawah pemerintahan Soeharto, NU dianggap mengalami “hukuman” karena sering beroposisi dengan pemerintah.
Alhasil, dorongan untuk menarik diri dari politik semakin besar. Puncaknya, terjadi pada tahun 1984, ketika NU akhirnya memutuskan untuk kembali menjadi organisasi jamiyyah murni. Salah satu tokoh pendorongnya kala itu adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Namun, pada tahun 1998, terdapat desakan agar suara NU bisa kembali terwakilkan di perpolitikan nasional. Menyusul runtuhnya Orde Baru, sejumlah kiai, termasuk Gus Dur, akhirnya mendeklarasikan berdirinya PKB.
Lantas, apa kaitannya antara sejarah berdirinya PKB dengan dinamika terkini? Mengapa upaya untuk merebut kembali PKB menjadi penting bagi PBNU?
Melenceng di Bawah Cak Imin?
Bila diamati kembali sejarah PKB di atas, ada satu benang merah yang bisa didapatkan. Ada kekhawatiran bahwa NU akan disalahgunakan untuk kepentingan politik pribadi atau perorangan saja.
Pada tahun 2004 silam, Gus Dur pernah mengingatkan bahwa PKB adalah alat politik NU. Presiden keempat RI tersebut juga berpesan bahwa PKB dalam berpolitik harus mengedepankan etika dan tidak berlomba hanya untuk memperoleh suara saja.
Marwah PKB inilah yang mungkin telah direnggut oleh Cak Imin. Pasalnya, di bawah Cak Imin, PKB bergerak dan bermanuver politik layaknya pendulum.
Dalam tulisan PinterPolitik.com yang berjudul “Poros Islam PKB: Strategi ‘Pendulum’?,” dijelaskan bahwa Cak Imin dikenal sebagai politikus yang pandai bermanuver. Dalam berpolitik, PKB di bawah Cak Imin dinilai lebih pragmatis dalam menentukan arah politik.
Pendapat sejalan juga pernah dituliskan oleh Greg Fealy dalam tulisannya yang berjudul “Nahdlaul Ulama and the Politics Trap” di New Mandala. Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa Cak Imin telah melakukan PKB-isasi terhadap NU.
Demi meningkatkan suara PKB, Cak Imin melakukan sejumlah strategi politik. Salah satunya adalah dengan membangun pola kekuasaan patron-klien dengan pesantren-pesantren.
Guna memenuhi pendanaan dan pembiayaan berbagai pesantren, Cak Imin juga mencari dana dengan menggandeng sejumlah pebisnis dan pengusaha. Salah satu yang disebutkan adalah Rusdi Kirana, pemilik Lion Air yang akhirnya sempat bergabung dengan PKB.
Alhasil, alih-alih menjadi partai politik yang menjadi corong suara NU, PKB akhirnya hanya menjadi alat politik pribadi tertentu saja. Belum lagi, NU kala itu juga mengalami PKB-isasi, di mana akhirnya PKB lebih mengkontrol NU daripada sebaliknya.
Pada akhirnya, menjadi masuk akal apabila ada dorongan agar PKB bisa kembali pada alasan sebenarnya mengapa partai politik itu berdiri. Mungkin, salah satu jalannya adalah dengan mengembalikannya kepada para Nahdliyin sendiri. (A43)