Site icon PinterPolitik.com

Saatnya Prabowo Tangkis Populisme Anies? 

Anies Prabowo

Anies dan Prabowo (Foto: Istimewa)

Dengarkan artikel ini!

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/01/prabowo-populisme-full-audio.mp3

Calon presiden (capres) nomor urut 01, Anies Baswedan, kerap menyerang capres nomor urut 02, Prabowo Subianto. Mungkinkah ada narasi populisme di baliknya? 


PinterPolitik.com 

Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) hanya tersisa 20 hari lagi, dan saat ini, diskursus soal politik Indonesia mungkin sedang berada di tahap yang paling panas. 

Terkhusus warga Indonesia yang memiliki kesempatan untuk memantau perkembangan politik di media elektronik dan media sosial, mungkin akan banyak yang setuju bila dikatakan bahwa permainan narasi yang terjadi saat ini mulai berani menunjukkan penyerangan keras ke masing-masing kontestan.  

Mungkin, yang kerap menjadi perhatian warganet adalah serangan yang beberapa kali dilontarkan oleh pasangan calon (paslon) 01 terhadap paslon 02, baik dari debat capres pertama, hingga debat cawapres kedua kemarin. Utamanya, topik-topik yang jadi pusat perdebatan tersebut adalah persoalan lahan kepemilikkan Prabowo Subianto, dan kritik soal kinerja beberapa sektor pemerintah yang diklaim berperforma buruk. 

Walaupun posisi benar atau salah, serta positif atau negatif dari topik-topik tersebut sebenarnya masih sangat bisa diperdebatkan, Anies Baswedan tetap tampak yakin ‘mengucilkan’ kubu 02. Menariknya, sebagian besar warganet, khususnya di platform media sosial X (Twitter) terlihat mengikuti narasi yang dilempar Anies tersebut.  

Bisa dikatakan, mungkin ada semacam efek ikut-ikutan atau ‘bandwagoning’ dari keresahan yang mulai muncul itu. Bagi sebagian pengamat politik, hal ini mungkin mengingatkan mereka kepada sebuah konsep yang bernama ‘populisme’, atau politik yang menekan kepada keresahan dan aspirasi rakyat sebagai bahan bakar kampanye politisi. 

Lantas, muncul sebuah pertanyaan menarik: mungkinkah ada motif populisme di balik narasi antagonisme yang dilakukan Anies, khususnya terhadap kubu 02? 

Anies dan Sisi Negatif Demokrasi? 

Indonesia adalah sebuah negara demokrasi yang memiliki sistem pemilihan langsung. Dan berbeda dengan negara yang menjalankan sistem pemilihan tidak langsung, politisi yang berada di negara dengan sistem pemilihan seperti di Indonesia harus bisa cari cara agar mendapat jaminan suara dari para calon pemilih. 

Namun, salah satu penyakit paling berbahaya dari negara dengan sistem demokrasi seperti ini adalah kita tidak pernah benar-benar bisa meregulasi gaya kampanye seperti apa yang dilarang atau dianjurkan dilakukan seorang politisi. Seringkali, seorang politisi bisa mendapatkan dukungan yang banyak hanya karena ia berhasil memancing amarah masyarakat. 

Permasalahan seperti ini jatuh dalam ruang lingkup populisme. 

Saskia Pauline Ruth-Lovell dan Sandra Grahn dalam tulisan mereka Threat or corrective to democracy? The relationship between populism and different models of democracy, menyebutkan bahwa kemunculan populisme dalam sistem demokrasi telah menjadi ancaman yang semakin lama semakin serius. 

Seharusnya, di dalam sebuah negara demokrasi, seorang warga memilih calon pemimpinnya berdasarkan keyakinan mereka bahwa orang tersebut bisa menjalankan aspirasi masyarakat, akan tetapi, kemunculan populisme telah menjauhkan kita dari idealisme itu.  

Tidak jarang, masyarakat yang terpapar kepada lingkungan populisme menyalahartikan keinginan politik mereka dengan kemarahan kolektif. Dan pahitnya, seorang politisi yang paham akan fungsi populisme kemungkinan besar memahami persoalan ini. 

Bagaimana maksudnya? Well, mungkin kita bisa mengambil contoh dari narasi yang dibawa Anies Baswedan terhadap Prabowo Subianto ketika debat capres kedua pada Hari Minggu (7/1/2024) silam. Kala itu, banyak warganet yang melihat kepemilikkan lahan Prabowo yang seluas 500 ribu hektar sebagai sesuatu yang tidak bisa dibenarkan. Padahal, lahan tersebut diketahui merupakan lahan Hak Guna Usaha (HGU). 

Bagi orang yang paham dengan bagaimana HGU didistribusikan, mungkin kepemilikkan tersebut adalah sesuatu yang biasa saja, akan tetapi bagi warga biasa yang tidak paham, kepemilikkan HGU yang luas tersebut bisa saja diartikan hanya sebagai bentuk ketidakadilan. Hal ini bisa menjadi lebih parah bila terdapat kecemburuan kolektif antara masyarakat biasa dengan masyarakat kaya. 

Bagi politisi yang berhasil memunculkan keresahan tersebut, tentu itu adalah hal yang positif bagi keterpilihan mereka, karena mereka bisa dilihat sebagai sosok yang ‘membuka kebenaran’. Akan tetapi, bagi politisi yang ‘terantagoniskan’, hal ini tentu bisa jadi bahaya. 

Kalau kita melandaskan pandangan kepada konsep populisme yang demikian, maka bisa jadi Anies sesungguhnya telah menggunakan gaya populisme tersendiri dalam debat-debat capres kemarin. 

Menariknya, hal ini sebetulnya bisa menjadi ‘sentilan kesadara’ bagi Prabowo sendiri. Lantas, bagaimana bisa demikian? 

Justru Jadi Pelajaran Untuk Prabowo? 

Seperti yang sudah diketahui, Prabowo bukanlah kontestan baru dalam Pilpres. Sebelumnya, pada tahun 2019, Prabowo juga mencalonkan diri sebagai capres dan berhadapan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menariknya, dalam debat capres kala itu Jokowi juga sempat menyebutkan lahan HGU yang dimilikki Prabowo. 

Hal ini menjadi pelajaran tersendiri untuk Prabowo karena kita bisa mengetahui bahwa setiap kali ia terlibat dalam kontestasi politik, para lawan politiknya kemungkinan besar akan memainkan narasi antagonisme orang kaya yang sama demi merebut hati para calon pemilih. 

Namun, Prabowo pun sebenarnya ada peluang untuk menangkal narasi semacam itu. 

Pertama, jalankan narasi ‘orang kaya yang baik’. Tidak semua orang kaya adalah orang yang keji dan tidak adil. Sebaliknya, orang kaya pun bisa menjadi ‘malaikat’ bagi kelompok orang miskin bila ia mengakui adanya kesenjangan ekonomi di negaranya dan berusaha untuk menutup kesenjangan tersebut dengan kelebihan yang dimilikinya. 

Seperti yang diketahui, Prabowo sebetulnya juga adalah seorang pebisnis yang juga membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Selain itu, Prabowo pun kerap disebut memberikan sebagian kekayaannya untuk membantu masyarakat Palestina. Seharusnya, bila ia kembali diserang dengan narasi antagonisme orang kaya lagi, Prabowo bisa menangkalnya dengan narasi ‘orang kaya yang baik’ tadi. 

Kedua, tangkis tuduhan dengan data. Musuh terbesar dari politisi yang memainkan populisme adalah keakuratan dan interpretasi data. Seringkali, data yang diungkit oleh seorang populis hanya merepresentasikan segenap dari keseluruhan fakta. Pada debat selanjutnya, mungkin ada baiknya Prabowo pun bisa fokus kepada jawaban atas tudingan-tudingan terhadapnya dengan mengandalkan kebenaran data atau interpretasi yang sebenarnya dari data tersebut. 

Dengan demikian, amarah publik yang muncul pun bisa diredam karena mereka disajikan jawaban yang meyakinkan dari orang yang sedang dituduh. 

Namun, pada akhirnya kedua hal tadi membutuhkan sikap yang lebih keras dari Prabowo sendiri. Seharusnya, antagonisme-antagonisme yang diarahkan kepadanya ketika debat-debat lalu jadi peringatan yang keras bahwa mungkin Prabowo pun perlu sedikit ‘bermain’ untuk menangkal narasi populisme yang berbahaya. (D74) 

Exit mobile version