HomeNalar PolitikSaatnya Polri di Bawah Kemenhan?

Saatnya Polri di Bawah Kemenhan?

Gubernur Lemhanas Agus Widjojo memberi usulan agar Polri ditempatkan di bawah kementerian. Sama dengan TNI, apakah sudah seharusnya Polri di bawah Kementerian Pertahanan? 


PinterPolitik.com

Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur meletakkan sejarah dengan memisahkan Polri dari TNI. Melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Gus Dur menyelesaikan upaya Presiden sebelumnya, BJ Habibie yang mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian dari ABRI pada 1 April 1999.

Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 89 Tahun 2000, Polri diposisikan berkedudukan langsung di bawah Presiden. Sementara TNI, mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden. Sementara dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan.

Dalam perkembangannya, berbagai pihak menaruh tanda tanya, berbeda dengan TNI yang berada di bawah Kementerian Pertahanan (Kemenhan), mengapa Polri tidak ditempatkan di bawah kementerian?

Baru-baru ini, tepatnya pada 2 Januari, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo juga mengusulkan agar Polri berada di bawah suatu kementerian. 

“Untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban perlu ada penegakan hukum, itu Polri. Seyogianya diletakkan di bawah salah satu kementerian,” ungkapnya.

Sama dengan Agus, pada 28 November 2014, Menteri Pertahanan (Menhan) saat itu, Ryamizard Ryacudu, juga memberi pertanyaan, mengapa Polri tidak berada di bawah kementerian seperti halnya TNI? Menurutnya, di berbagai negara, kepolisian memang ditempatkan di bawah suatu kementerian.

Seperti yang mudah ditebak, usulan ini mengundang beragam respons, yang umumnya bernada sinis. Ketua Penasihat Ahli Kapolri, Irjen (Purn) Sisno Adiwinoto, misalnya, menyebut jangan hanya karena negara lain menempatkan organisasi polisi berada di bawah kementerian, kita kemudian otomatis ingin menerapkannya.

Masih dalam nuansa kritik namun berbeda sudut pandang, pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing juga menunjukkan kekhawatirannya pada usulan tersebut. Menurutnya, jika Polri berada di suatu kementerian, itu dapat mengganggu independensi kepolisian karena berada di bawah menteri yang bersangkutan. 

“Polisi sebagai penegak hukum yang independen menjadi sulit diwujudkan,” ungkapnya.

Kritik Emrus Sihombing sekiranya menarik untuk didalami, apakah jika berada di bawah kementerian Polri akan kehilangan independensinya?

Apa Itu Independensi?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, hal pertama yang mutlak dilakukan adalah mendefinisikan apa yang disebut dengan independensi kepolisian. Untuk kepentingan ini, tulisan Rick Muir yang berjudul What do we mean by police independence? dapat menjadi rujukan yang bagus.

Baca juga :  Siasat Rahasia Prabowo-Sri Mulyani?

Bertolak pada tulisan Rick Muir, perdebatan terkait independensi kepolisian ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di berbagai negara. Namun menurutnya, sering kali perdebatan ini tidak berjalan baik karena pihak-pihak yang berdebat tidak memahami apa yang disebut dengan independensi kepolisian.

Di satu sisi, banyak pihak ingin kepolisian harus menegakkan hukum secara tidak memihak. Ini membuat penempatan kepolisian di bawah suatu kementerian atau lembaga kerap dianggap mengganggu independensi. Namun di sisi lain, atas nama demokrasi, pihak yang sama juga menginginkan dan setuju agar kepolisian harus bertanggung jawab kepada lembaga tertentu.

Tarikan dua keinginan ini dilihat menimbulkan kebingungan. Jika ingin kepolisian melaporkan kinerjanya, bukankah harus berada di bawah kementerian atau lembaga tertentu?

Menurut Rick Muir, akar kebingungan itu sebenarnya karena tidak adanya definisi tertulis tentang apa itu “kemandirian operasional”. Ini yang kita sebut sebagai independensi.

Pada dasarnya, apa yang disebut independensi kepolisian adalah ketika kepolisian memiliki wewenang penuh untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum. Sesederhana itu. 

Menurut Muir, penempatan kepolisian di bawah kementerian atau lembaga tertentu justru harus dilakukan, karena dalam demokrasi, tidak ada lembaga yang benar-benar independen. Maksudnya bukan suatu lembaga dipolitisasi, melainkan setiap lembaga harus diawasi dan memberikan pertanggung jawaban. Ini yang kita sebut sebagai akuntabilitas. 

Senada dengan Muir, ilmuwan politik Francis Fukuyama juga menyebut akuntabilitas adalah ciri khas demokrasi modern, tepatnya demokrasi liberal.

Philip Stenning dalam tulisannya The Idea of the Political “Independence” of the Police: International Interpretations and Experiences menggambarkan relasi antara independensi dan akuntabilitas dalam diagram berikut:

Menurut Stenning, masyarakat sering kali memahami independensi pada kuadran 3, yakni tidak adanya akuntabilitas dan kontrol. Tentu pertanyaannya, tanpa adanya akuntabilitas dan kontrol, bukankah itu lebih tepat disebut anarki? 

Ini yang membuat Stenning menyebut definisi independensi masyarakat perlu untuk dikritisi. Seperti pernyataan Rick Muir, sekali lagi ini menunjukkan kebingungan masyarakat terkait apa itu independensi.

Di Bawah Kemenhan?

Setelah membahas independensi, sekarang kita dapat jernih menjawab pertanyaan, apakah jika berada di bawah kementerian Polri akan kehilangan independensinya?

Terkait pertanyaan ini, pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memberikan komentar kritis. 

“Saya rasa perdebatannya bukan independensi ya, karena penempatan seperti ini terjadi di berbagai negara. Perdebatan yang seharusnya itu soal integritas dan kemampuan berjarak dengan kekuasaan,” ungkapnya.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Komentar Fahmi tersebut adalah apa yang disebut dengan questionable cause, disebut juga causal fallacyfalse cause, atau non causa pro causaQuestionable cause adalah kesalahan bernalar yang terjadi ketika seseorang keliru mengidentifikasi penyebab atas suatu kejadian.

Seperti pernyataan Fahmi, ancaman terhadap independensi kepolisian bukanlah ditempatkan di kementerian atau tidak, melainkan sejauh mana kepolisian menjaga integritas dan kemampuannya berjarak dengan kekuasaan. 

Jika dua hal tersebut tidak dimiliki, Polri tidak mungkin dapat menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum secara proporsional. Dengan demikian, perdebatan terkait independensi Polri yang dikaitkan dengan penempatan di kementerian tertentu pada dasarnya kurang valid untuk diajukan.

Setelah membedah konstruksi logis dari pertanyaan tersebut, sangat penting sekiranya untuk merujuk kembali tulisan Rick Muir dan Philip Stenning. Atas nama demokrasi yang menggaungkan semangat akuntabilitas, bukankah seharusnya Polri berada di bawah suatu kementerian atau lembaga untuk memberikan laporan pertanggung jawaban?

Terkait ini, Khairul Fahmi menilai Polri perlu didorong untuk berada di bawah Kementerian Pertahanan (Kemenhan), sama halnya dengan TNI. Simpulan ini ditarik Fahmi dengan mengacu pada Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”

Menurutnya, TNI dan Polri sebenarnya adalah dua perangkat dalam sebuah sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta atau Sishankamrata. TNI bertugas mempertahankan, melindungi, serta memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sedangkan Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.

Menurut Fahmi, dengan keduanya merupakan sebuah sistem pertahanan, mengapa ada perbedaan, di mana Polri berada langsung di bawah Presiden, sementara TNI tidak? Mengapa TNI secara administratif ditempatkan di bawah Kemenhan, sedangkan Polri tidak? 

Lanjutnya, mungkin akan menarik jika Kementerian Pertahanan kembali pada nomenklatur sebelumnya, yaitu Kementerian Pertahanan dan Keamanan. Kementerian ini akan mengurus kebutuhan TNI dan Polri, serta menjalankan visi misi Presiden dalam membangun Sishankamrata. 

Well, kita lihat saja kelanjutan wacana menarik ini. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...