Perubahan adalah sebuah kemutlakan, begitu pula dalam memilih pemimpin dalam sebuah masyarakat. Saat ini muncul perdebatan tentang pemimpin cerdas versus pemimpin merakyat, seolah ada perubahan dalam menentukan pemimpin yang ideal. Mungkinkah saatnya pemimpin cerdas dapat menggantikan pemimpin merakyat?
Jelang 2024 akan menjadi tahun yang banyak memproduksi narasi-narasi politik, salah satunya yang muncul dan mendapatkan atensi publik, yaitu tentang calon presiden idaman rakyat. Masyarakat diminta partisipasinya untuk turut memberikan opini, tentang calon presiden yang idealnya muncul pada Pilpres 2024.
Berdasarkan survei bertajuk opini publik menuju 2024 yang dilaksanakan oleh lembaga survei KedaiKOPI pada 16 sampai 24 November 2021, responden diberikan beberapa opsi calon presiden ideal. Survei ini dilakukan secara nasional di 34 provinsi, melibatkan 1.200 responden dengan metode home visit atau face to face interview.
Hasil survei memperlihatkan responden lebih menginginkan presiden cerdas sebanyak 98,4 persen, dan juga presiden yang visioner atau punya pandangan ke depan sebesar 98,0 persen, lalu presiden merakyat 97,9 persen. Tegas dan berwibawa merupakan dua kriteria tertinggi berikutnya dengan masing-masing 97,2 persen dan 96,5 persen. Sementara hanya 51,2 persen responden yang mengatakan keibuan merupakan kriteria yang penting bagi mereka dalam menentukan pilihan.
Dalam survei, posisi pertama ditempati oleh Prabowo Subianto dengan popularitas 93,0 persen, disusul Anies Baswedan 87,7 persen, Sandiaga Uno 79,7 persen, Ganjar Pranowo 72,2 persen, dan Agus Harimurti Yudhoyono 67,1 persen, serta Puan Maharani 66,0 persen.
Narasi yang muncul dari hasil survei di atas, menyatakan bahwa calon presiden yang memiliki kecerdasan lebih diminati, dibanding calon presiden populis yang mengandalkan pencitraan, dekat dengan kehidupan rakyat. Lantas seperti apa kita harus memahami opini publik tersebut?
Baca Juga: Mencari Kepemimpinan Krisis Jokowi
Meraba Opini Publik
Pasca reformasi, gerbang demokratisasi terbuka luas bagi masyarakat Indonesia. Jika demokrasi dahulu mengandaikan pembagian kekuasaan berdasarkan pemikiran Montesquieu tentang konsep trias politica, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Maka, saat ini muncul pilar baru, yaitu media sebagai pengawal demokrasi.
Dalam perjalanannya, selain media yang punya peran penting dalam menopang demokrasi, muncul pula lembaga survei politik setelahnya. Peran lembaga survei dalam demokrasi yaitu mampu menghadirkan opini publik sebagai instrumen untuk menilai hasil kinerja para pejabat publik.
Samuel P. Huntington dalam bukunya The Third Wave Democratization in the Late Twentieth Century, mengatakan demokrasi tidaklah semata-mata hanya merupakan pemilu yang bebas, namun demokrasi juga menuntut adanya pertanggungjawaban dari para wakil kepada yang diwakili. Salah satu caranya dengan melakukan jajak pendapat.
Upaya menuntut pertanggungjawaban yang dimaksud yaitu dengan melakukan evaluasi melalui polling atau jajak pendapat tentang opini publik. Opini publik ini akan menjadi bagian penting dalam pembentukan narasi-narasi politik.
Oleh karena itu, survei yang dilakukan oleh lembaga survei KedaiKOPI diharapkan menjadi narasi dalam perdebatan publik tentang pemimpin ke depan.
Selain punya fungsi akuntabilitas atau pertanggungjawaban publik, polling juga dapat diterima karena mampu memberikan nilai-nilai kesetaraan. Polling juga dianggap menerobos budaya yang selama ini mengandaikan opini hanya dimiliki oleh kalangan elite, sedangkan masyarakat bawah dianggap tidak punya kompetensi untuk membangun opini.
Faizal Iskandar dalam bukunya Polling dalam Sistem Politik Indonesia, mengatakan bahwa sifat polling yang memberikan hak yang sama kepada semua orang untuk menilai dan bersikap, membuat polling dipandang sebagai representasi opini publik. Dalam polling, setiap individu memiliki posisi yang sama ketika mereka terpilih sebagai responden, sehingga agregat status sosial dan ekonomi tidak menjadi penting karena mereka diperlakukan secara anonim.
Opini publik yang dahulu hanya dimiliki oleh para kalangan elite dan penguasa, tidak dapat dipungkiri sejak paham demokrasi terus bergulir secara dinamis, opini publik malah banyak merujuk pada pendapat masyarakat awam. Opini publik menjadi barometer aspirasi masyarakat.
Masyarakat telah punya akses untuk menilai seperti apa calon pemimpinnya, hal ini adalah poin penting dalam fungsi polling yang mengandaikan adanya kesetaraan dalam demokrasi. Hal ini yang mewajarkan kira-kira, kenapa hasil polling opini publik KedaiKOPI menandakan terjadinya pergeseran minat masyarakat tentang pemimpin.
Sebelumnya, masyarakat cenderung menyukai pemimpin yang paling merakyat, intens bertemu rakyat kemudian menjadi populer di tengah masyarakat. Saat ini, pandangan itu mulai berubah, muncul narasi pemimpin cerdas yang menjadi minat baru masyarakat, pemimpin yang diharapkan mampu membangun masyarakat dalam tantangan-tantangan ke depan.
Lantas, seperti apa menyikapi narasi tentang dua tipikal pemimpin ini?
Baca Juga: Kenapa Jokowi Bisa Jadi Presiden?
Memilih Pemimpin Reflektif
Pemimpin adalah seseorang yang mempunyai nilai lebih. Hal ini menandakan bahwa nilai lebih yang dimiliki pemimpin akan menjadi motif para pengikutnya untuk tetap bersandar pada dirinya. Hal ini yang secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa pemimpin adalah seorang istimewa yang elitis – artinya pemimpin secara kuantitas sedikit dan jarang orang dapat menjadi seorang pemimpin.
Argumentasi yang menilai pemimpin harus istimewa sebenarnya ingin menolak tipikal pemimpin yang menampilkan citra kesederhanaan. Alasannya tentunya karena penting melihat pemimpin atau pejabat dari variabel yang lebih objektif, seperti kinerja dan sebagainya.
Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, menegaskan bahwa dalam menilai kualitas politisi atau pejabat tidak akan objektif atau bias jika dilihat dari nilai-nilai personalnya.
Penilaian kepada pemimpin yang bersandar pada niat baik misalnya, merupakan data psikologis yang dapat berubah. Karenanya, Morgenthau menekankan kualitas politisi harus dilihat dari kemampuan dan dampak dari kebijakan yang dibuatnya. Itu merupakan penilaian yang lebih objektif.
Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya membutuhkan banyak instrumen yang penting, salah satunya adalah kecerdasan. Kecerdasan merupakan suatu hal yang dibutuhkan dalam menentukan keberhasilan dan efektivitas seseorang
Baca Juga: Haramkah Pencitraan Politik Jokowi?
Sejatinya pemimpin yang cerdas, bukan merupakan istilah baru dalam leksikal ilmu politik. Konsep Philosopher King dari filsuf Plato, misalnya, telah lama dijadikan gambaran akan pemimpin yang ideal. Seorang pemimpin yang mempunyai kecerdasan layaknya seorang filsuf diharapkan mampu menjalankan urusan negara yang sangat kompleks.
Jika kecerdasan an sich yang menjadi ukuran, maka hal itu masih sifatnya sangat abstrak, maka yang harus diajukan adalah sebuah konsep yang lebih praktis. Perlu menggambarkan kecerdasan yang spesifik untuk dijadikan instrumen seorang pemimpin.
Maya Kusumaningrum dan Abdul Aziz Saefudin dalam bukunya Mengoptimalkan Kemampuan Berpikir Matematika Melalui Pemecahan Masalah Matematika, dengan meminjam pemikiran John Dewey, mengemukakan suatu bagian dari metode penelitiannya yang dikenal dengan berpikir reflektif (reflective thinking).
Terdapat satu elemen sentral di otak yang memberdayakan kepemimpinan dan kualitas pemimpin yaitu kecerdasan reflektif. kecerdasan ini yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin agar kualitas kepemimpinannya berjalan dengan lancar. Seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan reflektif yang tinggi akan memiliki naluri bertahan hidup yang lebih besar dan kemampuan mereka untuk mengatasi, serta memecahkan masalah secara spontan.
Kecerdasan reflektif adalah kemampuan otak untuk secara sadar memanipulasi informasi yang ada, memproses informasi tersebut, dan memiliki opsi sebelum mengambil sebuah tindakan. Dalam hal penyelesaian masalah, kecerdasan reflektif memungkinkan seseorang untuk mengingat dan memproses informasi yang berhubungan untuk mengarahkan kepada tindakan yang cepat dan efektif.
Oleh karenanya, dalam menyelesaikan permasalahan negara yang begitu rumit, kita perlu pemimpin yang punya kecerdasan reflektif. Pemimpin yang dengan spontanitas yang terukur dapat menyelesaikan masalah, bukan hanya cepat melainkan juga hasil pemikiran yang mendalam.
Hal ini yang akan menjelaskan kenapa dalam polling, muncul opini publik yang melihat calon presiden yang memiliki kecerdasan lebih diminati, dibanding calon presiden populis yang mengandalkan pencitraan. Semoga ini juga merupakan sebuah refleksi bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang cerdas. (I76)
Baca Juga: Papa Pekerja Keras, Pekerja Cerdas