Site icon PinterPolitik.com

Saatnya Partai Politik Tinggalkan Milenial?

Menparekraf Sandiaga Uno berfoto bersama YouTuber Atta Halilintar (Foto: Instagram/@attahalilintar)

Sejak Pemilu 2014, jargon suara milenial telah digaungkan oleh berbagai partai politik dan politisi. Milenial disebut sebagai ceruk suara besar dan potensial. Namun, jika melihat data, partai tampaknya perlu merevisi jargon tersebut karena ada kelompok lain yang jauh lebih besar dan potensial.


PinterPolitik.com

“Without mathematics, there’s nothing you can do. Everything around you is Mathematics. Everything around you is numbers.” – Shakuntala Devi, matematikawan India

Dian Dwi Jayanto dalam tulisannya Pragmatisme Sebagai Ideologi Partai Politik, dengan mengutip Palombara dan Weiner, menyebut partai politik sekadar kelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan. Dalam terang demokrasi, untuk kepentingan itu partai mutlak beramah-tamah dengan simpul-simpul suara agar lolos ke kursi kekuasaan.

Tesis itu kemudian membuat partai membicarakan satu diskursus tetap, yakni kelompok masyarakat mana yang potensial didekati? Apakah tahun ini menggaet lembaga swadaya masyarakat? Apakah tahun depan saatnya menggaet organisasi agama? Begitu seterusnya.

Setidaknya sejak Pemilu 2014, berbagai partai dan politisi menyebut milenial merupakan ceruk suara yang sangat potensial. Mereka adalah pemilih-pemilih baru yang kebanyakan belum memiliki preferensi pilihan. Partai politik kemudian melakukan berbagai manuver, yang umumnya merangkul sosok-sosok yang diikuti oleh kaum muda.

YouTuber Atta Halilintar, misalnya, sosok yang dikenal dengan jargon “ashiap” ini memiliki banyak pengikut milenial. Bahkan disebutkan, ledakan keinginan anak muda untuk menjadi YouTuber diakibatkan oleh kesuksesan Atta. 

Dengan pengikut di YouTube sebesar 28,7 juta dan Instagram sebesar 21,7 juta, tidak heran jika Atta disebut memiliki pengaruh yang besar. Berbagai politisi dan pejabat, hingga Presiden bahkan terlihat berinteraksi dan berfoto dengan Atta.

Saat ini juga ada Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengaku sebagai partai milenial yang progresif. “Kami adalah representasi suara milenial”, mungkin begitu di benak para politisi PSI.

Menurut Co-founder Ruang Demokrasi, Ludhy Cahyana, generasi Z dan milenial akan menjadi kunci kemenangan dalam Pemilu 2024. Oleh karenanya, suara potensial yang besar itu akan mubazir jika partai politik tidak segera bergerak untuk mengelolanya.

Namun, sebagai Homo Quaerens atau makhluk yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (kuriositas), tentu patut dipertanyakan, benarkah suara milenial sebesar dan sepotensial itu? 

Matematika Pemilu

Terkait pertanyaan ini, ada penjabaran menarik dari Ismar Volic dalam tulisannya The Missing Ingredient in Our Democracy: Math. Menurutnya, matematika sangat penting dalam pengambilan keputusan politik. Tebaran statistik yang menyesatkan, metrik palsu, dan angka yang dikondisikan, terjadi karena ketidakmampuan dalam meneliti dan membedakan antara matematika yang buruk dan yang baik.

Menurut Volic, berbagai kebijakan publik yang buruk, seperti perang, ketimpangan sosial-ekonomi, hingga pandemi Covid-19 terjadi karena kurang baiknya kalkulasi. Ada pula kasus angka-angka sengaja dimanipulasi untuk mendukung kebijakan tertentu. Untuk menjawabnya, satu-satunya solusi substantif adalah lebih banyak pendidikan yang ditujukan untuk menumbuhkan numerasi politik. 

Penegasan tersebut, sangat tepat digunakan dalam melihat benar tidaknya milenial merupakan ceruk suara potensial terbesar. Melihat datanya, mengutip Databoks Katadata, dengan jumlah 69,38 juta (25,87 persen) milenial merupakan kelompok masyarakat terbesar kedua di Indonesia. Posisi pertama ditempati oleh generasi usia 8-23 tahun dengan jumlah 74,93 juta (27,94 persen). Generasi usia ini yang banyak disebut sebagai generasi Z.

Sekilas, data tersebut mengonfirmasi upaya berbagai partai dan politisi untuk menggaet suara milenial. Kembali mengutip Ludhy Cahyana, tampaknya benar generasi Z dan milenial merupakan kunci kemenangan di Pemilu 2024.

Namun, jika dikaji lebih mendalam, simpulan tersebut tampaknya terlalu terburu-buru. Pertama, dengan rentan usia 8-23 tahun, mungkin hanya sekitar 1/3 dari generasi Z yang menjadi dulang suara. Hitungan kasarnya sekitar 24,976 juta. 

Kedua, praktis ini membuat suara milenial merupakan ceruk suara terbesar. Namun persoalannya, swing voters umumnya terjadi bagi mereka yang baru memilih sebanyak satu kali. Yang telah memilih sebanyak dua kali atau lebih, umumnya telah memiliki kematangan preferensi pilihan, baik terhadap sosok maupun partai politik.

Dengan kata lain, kasusnya mirip dengan generasi Z. Mungkin hanya 1/3 suara yang menjadi rebutan. Hitungan kasarnya, hanya 23,126 juta suara swing voters. Jika ditotal dengan generasi Z, maka potensi suara yang diperebutkan adalah 48,102 juta suara. 

Jika data ini valid, atau setidaknya cukup mendekati, maka dapat disimpulkan, jargon suara milenial yang selama ini digembar-gemborkan cukup ilusif. Seperti pernyataan Ismar Volic, simpulan atas data-data, sering kali bertolak dari emosi, bukannya kecermatan kalkulasi.

Merebut Suara Golput

Melihat datanya, pemenang di setiap pemilu sebenarnya adalah “partai golongan putih” alias suara golput. Pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014, misalnya, angka golput mencapai 24,89 persen, sekitar 57 juta suara lebih. Sedangkan pada Pileg 2019, persentasenya mencapai 29,68 persen. Persentase itu lebih besar dari jumlah generasi Z. Mungkin jumlahnya mendekati 80 juta suara, hampir dua kali lipat dari potensi suara generasi Z dan milenial.

Di sini, kita dapat menarik satu pertanyaan. Mengapa belasan, hingga puluhan partai merebut potensi 48 juta suara, sementara ada potensi 80 juta suara yang jarang dilirik?

Mungkin yang berada di benak para politisi adalah, “untuk apa bersusah-susah merangkul mereka yang apatis terhadap politik? Bukankah sebaiknya fokus pada mereka yang berpotensi menyalurkan hak suaranya?”.  

Asumsi itu tidak salah, namun kurang perhitungan. Kembali mengutip tulisan Dian Dwi Jayanto, faktor utama sikap apatis berbagai pihak, sebenarnya bukan karena masyarakat tidak tertarik pada politik, melainkan karena tidak melihat diferensiasi politik. 

Kendati di atas kertas berbagai politisi dan partai menyebut ideologinya berbeda, pada tahap eksekusi tidak terlihat perbedaan berarti. Umumnya mereka mengeluarkan narasi seragam, seperti memperjuangkan suara rakyat, bersama rakyat kecil, dan sebagainya.

Jika membandingkan, situasinya sangat berbeda dengan kampanye di Amerika Serikat (AS). Dua partai paling dominan, yakni Partai Demokrat dan Partai Republik, tidak hanya melakukan perang narasi dan ideologi, melainkan juga perang program.

Partai Republik, misalnya, dengan merujuk pada teori supply-side economics, mereka condong mendukung kebijakan ekonomi yang menguntungkan pengusaha, seperti pengurangan pajak. Sementara Partai Demokrat, mereka lebih mendukung teori ekonomi Keynesian.

Kimberly Amadeo dalam tulisannya Democrats or Republicans: Which Is Better for the Economy?, menyebutkan Partai Demokrat mengarahkan kebijakan ekonomi untuk membantu kelompok berpenghasilan rendah dan menengah. Selain untuk mengurangi ketimpangan pendapatan, kebijakan tersebut juga dipercaya sebagai cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Perbedaan jualan program tersebut membuat pemilih memiliki pertimbangan terkait siapa yang mereka pilih. Contohnya, jika ingin mengurangi pajak, mereka akan memilih kandidat dari Partai Republik. Jika ingin mendorong kebijakan pajak progresif, mereka akan mendukung kandidat dari Partai Demokrat.

Dengan kata lain, masyarakat tidak menangkap diferensiasi melalui perbedaan ideologi, melainkan pada perbedaan aktualisasi dari ideologi itu sendiri, yakni program dan kebijakan publik. 

Dalam penelitiannya yang berjudul PETA POLITIK DAN STRATEGI PEMENANGAN PEMILU 2024 DI KALANGAN MUDA, Burhanuddin Muhtadi juga memberikan pandangan serupa. Menurutnya, partai perlu menawarkan program-program yang menarik untuk menarik atensi pemilih, khususnya dari golongan pemilih muda.

Dan yang terpenting, diferensiasi program tidak boleh berhenti di masa kampanye. Masyarakat harus melihat konsistensi dan aktualisasi program ketika politisi atau partai terpilih sebagai penguasa.

Sebagai penutup, jargon suara milenial, mungkin perlu diganti dengan, “Saatnya Merebut Suara Golput”. Well, apapun bentuk dan bunyi jargonnya, intinya harus ada usaha partai untuk merangkul suara golput. Mereka adalah potensi suara yang begitu besar. (R53)

Exit mobile version