Site icon PinterPolitik.com

Saatnya Muncul Cawapres Muhammadiyah?

Saatnya Muncul Cawapres Muhammadiyah?

Tokoh senior Muhammadiyah sekaligus Menko PMK Muhadjir Effendy (Foto: tvOneNews.com)

Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi rebutan di setiap gelaran pemilu. Pun demikian pada Pilpres 2024, posisi cawapres dinilai idealnya dari sosok NU. Lantas, dengan jumlah massa yang juga mencapai puluhan juta jiwa, kenapa “isu cawapres ideal” tidak tersematkan di Muhammadiyah?


PinterPolitik.com

“The ignorance of one voter in a democracy impairs the security of all.” – John F. Kennedy

Prinsip one person one vote membuat demokrasi berubah menjadi perkara kuantitas. Dalam praktiknya, ini membuat organisasi massa beranggota banyak menjadi primadona untuk didekati. Besar nilainya berbanding lurus dengan pertambahan jumlah massa.

Di Indonesia, sebagai organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) adalah rebutan di setiap pemilu. Meskipun tidak ada angka pasti, jumlah warga NU atau nahdliyin ditaksir tidak kurang dari 40 juta jiwa. Jumlah yang sangat besar.

Dalam literatur politik, NU dapat disebut sebagai kelompok kepentingan atau interest group. Beddy Iriawan Maksudi dalam bukunya Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik, menjelaskan bahwa kelompok kepentingan disebut juga sebagai the second ring of policy making.

Penamaan itu bertolak dari kemampuan kelompok kepentingan dalam menentukan kebijakan publik dan keputusan politik. Pada NU, konteks itu sangat kentara terasa. Greg Fealy dalam tulisannya Nahdlatul Ulama and the politics trap, misalnya, menjelaskan bahwa Muktamar NU 2015 yang mengadopsi Islam Nusantara sebagai pilar konseptual, baik domestik maupun internasional, telah memberikan inspirasi besar untuk Presiden Jokowi.

Gagasan itu dipromosikan Presiden Jokowi di forum-forum internasional sebagai seruan atas keberagaman yang moderat dan penangkal radikalisme.

Di bidang politik, Pilpres 2019 adalah bukti yang begitu kuat. Terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi disebutkan sebagai bukti betapa kuatnya daya tawar NU. Beredar kabar, jika kader NU tidak dipilih sebagai cawapres, maka NU akan menarik dukungan di Pilpres 2019. Itu diceritakan Mahfud MD di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 14 Agustus 2018.

Kenapa Hanya NU?

Lagu lama kembali terulang menjelang Pilpres 2024. Sosok berlatar NU disebut begitu ideal untuk menjadi cawapres berbagai kandidat. Baik Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, hingga Anies Baswedan, tokoh-tokoh NU selalu disebutkan menjadi pasangan ideal ketiganya.

Nah, kembali mengutip prinsip one person one vote, ini melahirkan satu pertanyaan menarik. Jika NU memiliki daya tawar besar karena massanya mencapai puluhan juta jiwa, kenapa organisasi Islam besar lainnya, yakni Muhammadiyah tidak disebut juga sebagai cawapres ideal?

Meskipun klaimnya tidak sebanyak NU, warga Muhammadiyah ditaksir setidaknya mencapai 20 juta jiwa. Itu adalah jumlah yang sangat besar.

Selain soal klaim jumlah suara, ada satu faktor besar yang membuat tokoh Muhammadiyah dapat menjadi kandidat ideal, yakni kultur organisasi yang berbeda.

NU bukanlah organisasi top-down, melainkan bottom-up. Mengacu pada budaya warga NU di daerah, nahdliyin umumnya lebih mendengar para kiainya masing-masing daripada arahan kepengurusan pusat (PBNU).

Wasisto Raharjo Jati dalam tulisannya Ulama dan Pesantren dalam Dinamika Politik dan Kultur Nahdlatul Ulama, menyebut NU dapat dikatakan sebagai praktik berjejaring para ulama dan pesantren. Dikarenakan bertumpu pada komodifikasi kultur tradisi patronase ulama dan santri, NU dapat dikatakan sebagai “pesantren besar” dan pesantren adalah “NU kecil”.

Saatnya Tokoh Muhammadiyah?

Cukup berbeda dengan NU, Muhammadiyah lebih condong sebagai organisasi top-down. Warga Muhammadiyah cenderung taat pada kepengurusan pusat. Ini misalnya dapat dilihat dari ketaatan mengikuti perbedaan waktu lebaran atau jumlah rakaat salat tarawih.

Bertolak dari itu, bukankah tokoh Muhammadiyah juga memiliki peluang besar untuk menjadi kandidat?

Bak gayung bersambut, belakangan ini ada satu nama tokoh Muhammadiyah yang disebut potensial untuk menjadi cawapres. Ia adalah Menko PMK Muhadjir Effendy. Nama Muhadjir pertama kali disebutkan oleh Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah.

“Saya kira wajar saja kalau kemudian Prof. Muhadjir ini juga bisa menjadi kandidat bacawapres yang mewakili tokoh Muhammadiyah,” ungkap Ahmad Basarah pada 21 Juni 2023.

Belakangan, selain nama Menteri BUMN Erick Thohir, PAN juga mendorong sosok Muhadjir untuk menjadi cawapres di Pilpres 2024.

“Cawapres dari kita itu ada Muhadjir, Menko PMK. Pak Muhadjir, calon wapres dari PAN. Tolong diberitakan selain Pak Erick,” ungkap Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan pada 14 Juli 2023.

Jika Muhadjir benar-benar maju, atau setidaknya meramaikan bursa kandidat, ini akan menjadi sejarah baru. Terakhir kali Muhammadiyah bergaung besar di kontestasi pilpres adalah ketika Amien Rais maju sebagai capres di Pilpres 2004.

Sekarang kita lihat saja. Setelah 20 tahun, apakah Muhadjir akan menorehkan sejarah seperti Amien Rais? Menarik untuk dinantikan. (R53)

Exit mobile version