Terdapat berbagai partai dengan bermacam ideologi di Indonesia, yang umumnya terbagi dalam partai agama, khususnya Islam dan partai nasionalis. Namun, dalam kritik berbagai pihak, ideologi partai di Indonesia hanya terlihat di atas kertas. Apakah partai harus menunjukkan diferensiasi ideologinya, atau justru duel ideologi sudah bukan zamannya?
“No democracy without politics, and no politics without parties,” – Clinton Rossiter, sejarawan Amerika Serikat
Lengsernya Soeharto pada 1998 membawa angin segar bagi perpolitikan nasional. Setelah sebelumnya dikekang, berbagai partai baru bermunculan menyambut Reformasi. Pada Pemilu 1977-1997, dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik, kontestasi hanya diikuti oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Golkar. Pada Pemilu 1999, yang merupakan pemilu pertama sejak Soeharto tumbang, jumlahnya meningkat drastis menjadi 48 partai.
Namun, setelah menjalani lima pemilu, euforia kebangkitan partai baru tampaknya menjadi sinisme. Dalam berbagai diskursus ringan di warung kopi, lumrah ditemukan ungkapan, “partai sekarang sama aja”. Meskipun di atas kertas memiliki ideologi berbeda, umumnya partai agama dan nasionalis, tidak menunjukkan diferensiasi di tataran praktisnya.
Dian Dwi Jayanto dalam tulisannya Pragmatisme Sebagai Ideologi Partai Politik, menyebut saat ini semua partai yang ada hampir seragam dalam pola kecenderungan ideologinya. Mereka menawarkan narasi yang sama, seperti membela rakyat kecil. Menurutnya, situasi ini kontras dengan zaman Orde Baru yang memperlihatkan demarkasi tegas ideologi tiap partai.
Suka atau tidak, penjelasan Jayanto adalah realitas politik kita saat ini. Pasalnya, ketika berkuasa, partai Islam – seperti PPP dan PKB, nyatanya tidak memiliki perbedaan eksekusi program yang berarti dengan partai nasionalis – seperti PDIP dan Gerindra. Kedua kutub ini terlihat memiliki corak yang sama, baik di kampanye maupun di parlemen, yakni memperjuangkan hak rakyat.
Merefleksikan fenomena ini membuat kita menarik pertanyaan, apakah partai politik harus menunjukkan demarkasi ideologi? Atau mungkin saat ini bukan lagi eranya menjual narasi ideologi?
Deideologisasi
Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) 2000-2011, As’ad Said Ali dalam bukunya Perjalanan Intelijen Santri menceritakan kisah menarik di balik ketertarikannya masuk ke lembaga telik sandi. Ketika masih menempuh semester IV studi Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada (UGM), As’ad mendengar pidato Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Ali Moertopo yang berjudul Akselerasi Pembangunan dan Modernisasi 25 Tahun.
Meskipun pada awalnya kurang memahami, muncul ketertarikan dalam hati As’ad. Poin yang disampaikan Ali Moertopo adalah, untuk melakukan modernisasi, partai politik harus berorientasi pada program, bukannya ideologi. Menurut As’ad, saat itu Orde Baru sedang melakukan deideologisasi, di mana ini bertolak pada rezim Orde Lama yang mengalami instabilitas politik tak berkesudahan karena tingginya tensi ideologi partai.
Untuk kepentingan deideologisasi dan merampingkan partai politik, Orde Baru melakukan berbagai rekayasa politik yang dilakukan oleh Operasi Khusus (Opsus) di bawah komando Ali Moertopo. Menurut As’ad, dalam roadmap Orde Baru, secara bertahap posisi yang ditempati oleh ABRI akan diberikan ke sipil. Namun, roadmap tersebut berubah setelah Opsus dibubarkan pada 1983 dan fungsinya diambil alih oleh Kasospol ABRI. Pembubaran ini menjadi awal penyimpangan, hingga lahirnya sentimen keras dwifungsi ABRI.
Terlepas dari rasa ketidaksukaan terhadap rezim Orde Baru, roadmap yang disebutkan As’ad sangatlah menarik. Difusi partai politik yang dilakukan selaras dengan maksim pragmatisme (pragmatic maxim) dari filsuf Charles Sanders Peirce. Konsep ini menerangkan, dua buah teori – atau lebih – yang tidak memiliki perbedaan secara praktis, sejatinya tidak memiliki perbedaan filosofis.
Konteksnya semakin menarik, karena pragmatisme adalah isme yang berkembang pesat di Amerika Serikat (AS). Mengutip buku Greg Barton, Kelly Bird, dan Susan Blackburn yang berjudul Indonesia Today: Challenges of History, pada tahun 1970-an, Ali Moertopo menginisiasi pembentukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan membawa mereka yang belajar di AS, khususnya dari Seymour Martin Lipset dan Samuel Huntington, guna melakukan akselerasi modernisasi dan menduplikasi demokrasi AS.
Dengan kata lain, mungkin dapat dikatakan, pragmatic maxim berada di balik deideologisasi Orde Baru, yakni membuat partai berpusat pada diferensiasi praktikal. Daripada bergulat pada perang narasi ideologi yang kerap kali tidak menghadirkan perbedaan praktis, lebih baik partai berfokus pada manifestasi ideologinya, yakni program yang ditawarkan kepada masyarakat.
Saatnya Duel Program
Politik di negeri Paman Sam adalah contoh paling gamblang dalam menerangkan persoalan tersebut. Seperti yang diketahui, di AS terdapat dua partai dominan, yakni Partai Demokrat dan Partai Republik. Yang menarik, keduanya tidak hanya kontras di atas kertas (ideologi), melainkan juga kontras di tataran orientasi kebijakan publik.
Dalam tatanan politik, Partai Republik mendukung pemerintah federal dengan wewenang terbatas dan pemerintah negara bagian yang kuat. Sedangkan Partai Demokrat justru percaya pada wewenang pemerintah federal yang lebih besar.
Dalam tatanan ekonomi, Partai Republik percaya pada pertumbuhan ekonomi melalui persaingan bebas dan mendorong orang-orang untuk menggunakan ide-ide inovatif mereka sendiri. Sedangkan Partai Demokrat justru percaya bahwa ekonomi mungkin akan sulit untuk ditangani individu, sehingga keputusan bisnis dinilai lebih baik jika dipandu oleh kebijakan pemerintah.
Kimberly Amadeo dalam tulisannya Democrats or Republicans: Which Is Better for the Economy? menyebutkan Partai Demokrat mengarahkan kebijakan ekonomi untuk membantu kelompok berpenghasilan rendah dan menengah. Selain untuk mengurangi ketimpangan pendapatan, kebijakan tersebut juga dipercaya sebagai cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ini bertolak dari temuan bahwa kelompok berpenghasilan rendah lebih cenderung menghabiskan uang ekstra untuk kebutuhan sehari-hari daripada menabung atau berinvestasi, sehingga dapat meningkatkan permintaan dan memacu pertumbuhan ekonomi.
Dalam tulisannya Why Trickle-Down Economics Works in Theory But Not in Fact, Amadeo menyebutkan kesimpulan itu bertolak dari evaluasi terhadap mazhab trickle-down economics atau trickle-down effect yang terbukti tidak efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sedikit konteks, trickle-down effect sendiri adalah mazhab ekonomi yang berasumsi bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maka kebijakan ekonomi harus diarahkan kepada pengusaha atau industri besar.
Amadeo menyebutkan Partai Demokrat juga mendukung teori ekonomi Keynesian. Teori tersebut meyakini pemerintah harus meningkatkan permintaan (demand) atau keinginan dan kemampuan konsumen untuk membeli barang atau jasa karena dipercaya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Kontras dengan Partai Demokrat, Partai Republik bertolak dari teori supply-side economics, khususnya yang menguntungkan pebisnis dan investor. Teori ini menyatakan pemotongan pajak pada bisnis memungkinkan para pengusaha untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja, yang pada gilirannya meningkatkan permintaan dan pertumbuhan. Asumsinya adalah pertumbuhan ekonomi didapatkan melalui peningkatan produksi.
Berbeda dengan Partai Demokrat yang menganjurkan intervensi negara dalam aktivitas ekonomi, Partai Republik mendorong usaha mengejar kemakmuran tanpa adanya campur tangan pemerintah. Menurut mereka, itu dicapai dengan meningkatkan kompetensi individual atau mendorong kompetisi.
Nah, bertolak dari yang terjadi di AS, perbedaan kutub ideologi nyatanya juga berdampak pada orientasi kebijakan publik yang dianut. Ini membuat pemilih memiliki gambaran akan seperti apa kebijakan pemimpin yang dipilihnya. Kembali mengutip Jayanto, partai politik harus menunjukkan demarkasi yang jelas terkait arah kebijakan yang mereka usung.
Sebagai penutup, judul tulisan ini tidak bermakna denotatif. “Mematikan ideologi partai” tidak bermakna partai harus menanggalkan ciri khas ideologinya, melainkan harus mematikan praktik perang jargon ideologi. Partai harus melakukan duel program agar pemilih memiliki preferensi pilihan yang jelas. (R53)