Di media sosial (medsos), sempat ramai meme atau komentar yang menyebut Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri dengan sebutan “Mega-chan”. Mengapa PDIP perlu menangkap ini sebagai input yang strategis?
“Hal yang menyenangkan hati banyak sekali, bahkan kalau kita bermimpi. Sekarang, ganti baju agar menarik hati. Ayo, kita mencari teman” – Opening Theme dari Chibi Maruko-chan versi Indonesia
Bagi generasi yang lahir tahun 1990-an, hari Minggu kerap kali menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu. Bagaimana tidak? Selain memang menjadi hari libur – ketika bisa bersantai, terdapat juga kartun-kartun di televisi (TV) yang siap menghibur setiap Minggu pagi.
Setidaknya, momen-momen itu yang dirasakan di akhir tahun 1990-an dan tahun 2000-an. Dengan berbagai kartun yang disajikan, banyak anak-anak yang masuk kategori generasi Milenial – sebagian Generasi Z – merindukan momen-momen tersebut.
Salah satu kartun atau anime yang ditunggu-tunggu adalah Chibi Maruko-chan (1990-1992). Anime yang tayang di saluran TV nasional Indonesia pada tahun 2000-2001 ini menceritakan kehidupan seorang anak SD yang bernama Maruko.
Dengan komedi sederhana dan tingkah Maruko dan teman-temannya yang lucu, Maruko berhasil mengambil hati anak-anak yang menontonnya kala itu. Belum lagi, di tahun-tahun tersebut, banyak anime-anime lain yang ikut menghibur anak-anak Indonesia – mulai dari Doraemon hingga Sailor Moon.
Namun, popularitas anime dan manga Jepang ini juga melahirkan sebuah subkultur yang kerap berkaitan dengan kata “kawaii”. Kata ini kerap digunakan untuk menggambarkan seseorang, hewan, atau objek yang dianggap sangat lucu (cute).
Menariknya, istilah-istilah dalam subkultur ala Jepang satu ini juga muncul dalam diskursus politik daring. Mirip dengan sebutan untuk Maruko, sejumlah warganet menyematkan panggilan “-chan” kepada Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri – dengan sebutan “Mega-chan”.
Di TikTok, misalnya, sempat viral sebuah video yang menggambarkan gambar Megawati layaknya waifu – istilah yang digunakan untuk menyebut sosok karakter yang saking cute-nya dilaikkan seperti pasangan. Sejumlah pengguna TikTok pun bahkan turut membuat video-video yang menyebut Mega-chan sebagai waifu.
Terlepas dari bagaimana meme “Mega-chan” ini muncul di diskursus online, subkultur “kawaii” sendiri tidak begitu saja lahir dan menyebar di kalangan muda Indonesia. Terdapat latar belakang politik yang menyertai subkultur ini.
Lantas, mengapa subkultur asal Jepang ini bisa lahir dan akhirnya menyebar luas ke berbagai negara lain? Mengapa sebutan “Mega-chan” yang banyak digunakan di media sosial (medsos) bisa menjadi warning yang perlu diperhatikan oleh PDIP ke depannya?
Dari Kawaii hingga “Mega-chan”
Kemunculan subkultur kawaii di Jepang sebenarnya memiliki latar belakang dan sejarah yang panjang. Turut dipengaruhi oleh perubahan sosial dan politik, subkultur ini tumbuh sebagai jawaban atas kebutuhan sosial masyarakat Jepang.
Jepang pada Perang Dunia II dikenal sebagai negara yang dominan di kawasan Asia. Dalam perkembangannya kala itu, Jepang Imperial dikenal dengan nilai-nilai nasionalisme dan militeristis yang tinggi di bawah kekuasaan pemerintahan Imperial.
Mengacu pada penjelasan Sabine Frühstück dalam tulisannya “The Spirit to Take Up a Gun: Militarising Gender in the Imperial Army” dalam buku Gender, Nation and State in Modern Japan, maskulinitas menjadi standar utama yang disosialisasikan pemerintah Jepang Imperial di masyarakat. Bahkan, penanaman maskulinitas sebagai budaya hegemoni dilakukan di banyak level pendidikan pada rentang tahun 1870-an hingga 1945.
Tujuannya adalah agar menghasilkan banyak laki-laki yang siap untuk berperang. Seperti yang telah diketahui, Jepang kala itu banyak melancarkan operasi militer dan perang dengan berbagai negara – mulai dari Perang Rusia-Jepang (1904-1905) hingga Perang Dunia II (1941-1945).
Namun, budaya maskulinitas ini mulai mengalami pergeseran pasca-Perang Dunia II berakhir. Jepang akhirnya tunduk pada dominasi Amerika Serikat (AS) yang membuat negara Asia Timur tersebut meninggalkan pembangunan militeristisnya.
Pergeseran sosial-politik inilah yang akhirnya menciptakan jalan bagi lahirnya subkultur kawaii di Jepang. Kemunculan kawaii ini semakin berkembang di tahun 1970-an, yakni ketika banyak manga dan produk budaya lainnya mulai memasukkan karakter-karakter lucu – seperti Hello Kitty.
Mengacu pada tulisan Kumiko Sato yang berjudul From Hello Kitty to Cod Row Kewpie: A Postwar Cultural History of Cuteness in Japan, estetika kawaii menggambarkan bagaimana entitas yang begitu kecil dan lemah membuat pihak yang melihatnya begitu menghargai kehidupan entitas tersebut.
Makna dari kawaii inilah yang akhirnya, menurut Sato, turut menggambarkan bagaimana posisi Jepang pasca-Perang Dunia II yang begitu bergantung kepada AS agar bisa tetap bertahan hidup (survive). Nilai-nilai maskulinitas dan militeristis akhirnya ditinggalkan oleh anak-anak muda Jepang pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Kini, banyak unsur estetika dari subkultur kawaii mendominasi budaya populer Jepang – bahkan hingga ekspor budaya yang tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu contoh yang mungkin tidak asing bagi kalangan muda Indonesia adalah JKT48 yang kini memiliki basis penggemar yang luas.
Bukan tidak mungkin, subkultur kawaii inilah yang akhirnya turut mengisi diskursus politik Indonesia – khususnya di balik sebutan “Mega-chan” untuk Megawati. Apalagi, banyak konten berkaitan dengan “Mega-chan” memang mengandung unsur-unsur subkultur ala Jepang – seperti penggunaan istilah waifu di TikTok.
Namun, mengapa kemunculan sebutan ini perlu mendapatkan perhatian strategis dari PDIP? Apa sebenarnya kondisi yang mungkin mendasari kemunculan sebutan “Mega-chan” di medsos?
Pertanda “Mega-chan” Terlalu Angkuh?
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kawaii menekankan pada hubungan dominan-submisif yang berpusat pada rasa sayang terhadap individu atau objek yang lemah dan lucu. Sementara, citra sebaliknya – entah disadari atau tidak – kini justru terpancar dari aktor-aktor politik layaknya PDIP.
Dalam pidato peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-50 PDIP, misalnya, Megawati menyebutkan bagaimana dirinya memiliki citra karismatik sehingga pasti mempunyai banyak pengikut – bahkan ketika berswafoto (selfie). Karakteristik dominansi seperti ini begitu ditunjukkan oleh sang Ketum.
Belum lagi, sebagai partai politik (parpol) yang memiliki kursi terbanyak di DPR, PDIP tampil sebagai parpol yang serba bisa sendiri. Dalam dinamika koalisi elektoral untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, misalnya, Megawati pada September 2022 silam sempat mengatakan bagaimana parpol yang dipimpinnya tidak memerlukan koalisi untuk mengusung seorang calon presiden (capres).
Rentetan pernyataan yang bersifat dominansi dari Megawati pun tidak hanya berhenti di persoalan elektoral, melainkan juga dalam persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Salah satu komentar yang sempat viral adalah pernyataan Megawati terkait calon menantu tukang bakso.
Apalagi, seperti yang disebutkan oleh Diego Fossati dan Marcus Mietzner dalam tulisan mereka yang berjudul Analyzing Indonesia’s Populist Electorate, terdapat ketidakpuasan yang luas di masyarakat yang menganggap bahwa para elite merupakan individu-individu yang hanya mementingkan kepentingan sendiri.
Citra angkuh ini bukan tidak mungkin dapat menjadi ancaman bagi PDIP dalam jangka panjang. Dalam tulisan PinterPolitik.com yang berjudul Benarkah 2024 Asal Jangan PDIP?, dijelaskan bahwa mulai muncul sentimen dan seruan di masyarakat agar tidak kembali memilih PDIP di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Bukan tidak mungkin, muncul perasaan bosan di sebagian masyarakat terhadap dominansi PDIP dengan adanya citra angkuh yang terpancarkan. Dalam jangka panjang, parpol berlambang banteng itu bisa saja semakin kehilangan daya tariknya di kalangan pemilih – khususnya pemilih muda yang belum memiliki loyalitas politik terhadap parpol tertentu.
Well, bisa jadi, sebutan “Mega-chan” yang erat kaitannya dengan unsur subkultur kawaii menjadi pertanda akan keresahan yang timbul di kalangan muda Indonesia atas citra PDIP. Bila dibiarkan, PDIP pun akan tetap menjadi meme yang “hangat” bagi para warga asli digital (digital natives) ini – entah itu meme “Mega-chan” atau meme “Chicago Bulls” yang dikaitkan dengan banteng sebagai lambang parpol tersebut.
Mungkin, layaknya lirik lagu opening theme dari Chibi Maruko-chan di awal tulisan ini, sudah saatnya PDIP “berganti baju” agar mampu menarik hati. Siapa tahu PDIP bisa mencari lebih banyak teman baik nan setia layaknya teman-teman Maruko? Bukan begitu? (A43)