HomeNalar PolitikSaatnya Jokowi Tiru SBY?

Saatnya Jokowi Tiru SBY?

Sebuah kudeta militer disebut terjadi di Myanmar. Apakah ini saatnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan strategi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menghadapi situasi di Myanmar?


PinterPolitik.com

“Baller, a baller, got a friend called Burma. And he looks at Obama when we burner” – M.I.A., penyanyi rap asal Inggris

Memasuki awal bulan kedua pada tahun 2021 ini, isu perihal kudeta tampaknya tengah ramai dibicarakan. Dalam politik domestik, misalnya, dugaan upaya kudeta disebut tengah dilakukan oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terhadap Partai Demokrat.

Di sisi lain, kudeta militer ternyata turut terjadi di negara tetangga, yakni Myanmar. Negara yang dulunya dikenal dengan nama Burma ini kini menjadi perhatian bagi banyak negara, khususnya negara-negara kawasan Asia Tenggara sendiri.

Pemerintah Indonesia, misalnya, telah menyatakan keprihatinannya terkait penahanan yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap Konselor Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint. Kabarnya, Suu Kyi ini telah melanggar sejumlah aturan hukum – seperti pelanggaran peraturan ekspor dan impor serta kepemilikan atas alat komunikasi tertentu.

Meski begitu, banyak pihak menyebutkan bahwa kudeta militer ini terjadi akibat polemik yang terjadi seputar Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan pada November 2020 lalu. Pemilu tersebut dianggap telah dimenangkan oleh National League for Democracy (NLD) – partai Suu Kyi.

Meski NLD telah dianggap menang telak, pihak oposisi militer menilai banyak kecurangan terjadi di balik hasil Pemilu. Tudingan ini akhirnya ditolak oleh Komisi Pemilu Myanmar yang menganggap bukti yang disediakan masih kurang.

Baca Juga: Bisakah Biden “Bujuk” Jokowi?

Kudeta Militer Myanmar Membara

Terlepas dari polemik yang melatarbelakangi peristiwa kudeta ini, bukan tidak mungkin situasi politik internasional dan geopolitik turut terpengaruhi. Rencana pernyataan bersama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertujuan untuk menegur kudeta militer tersebut, misalnya, telah diveto oleh sejumlah negara besar, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Federasi Rusia.

Di sisi lain, Amerika Serikat (AS) yang kini dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden baru, Joe Biden dan Kamala Harris, telah mempertimbangkan sejumlah sanksi untuk mengutuk kudeta militer yang terjadi di Myanmar. Bahkan, situasi politik terbaru di Myanmar ini dinilai telah membawa kemunduran bagi warisan demokrasi yang ditinggalkan oleh Presiden AS Barack Obama.

Pertanyaannya adalah bagaimana situasi politik di Myanmar ini telah memengaruhi persaingan geopolitik antara AS dan Tiongkok. Lantas, peran apa yang dapat diberikan oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia?

Perang Tatanan AS vs Tiongkok?

Bukan tidak mungkin, situasi politik terbaru di Myanmar akibat terjadinya kudeta militer akan memengaruhi dinamika tatanan dunia (international order) yang dinilai tengah masing-masing dibangun oleh dua negara adidaya, yakni AS dan Tiongkok. Apalagi, dengan Biden sebagai Presiden AS, tatanan ala AS disebut-sebut akan kembali ditegakkan.

Seperti yang ditulis oleh John J. Mearsheimer dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail, AS kerap mendorong agenda tatanan dunia yang bersifat liberal – dikenal sebagai hegemoni liberal (liberal hegemony). Dengan tatanan ini, negara Paman Sam mendorong nilai-nilai demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di seluruh dunia.

Baca juga :  PDIP and the Chocolate Party

Meski begitu, AS dalam sejarahnya juga menerapkan cara-cara koersif untuk mengusung hegemoni liberal. Beberapa di antaranya adalah dengan melakukan intervensi militer ke sejumlah negara, khususnya negara-negara di Timur Tengah kala gelombang Arab Spring terjadi.

Komitmen tatanan liberal ala AS ini dinilai sempat redup ketika Donald Trump menjabat sebagai Presiden AS. Dengan doktrin politik luar negeri yang lebih isolasionis, Trump meninggalkan komitmen penjagaan demokrasi di tingkat global karena dinilai kurang menguntungkan bagi AS.

Namun, dengan kembalinya Biden, upaya menegakkan hegemoni liberal diprediksi akan kembali lagi – berkaca dari komposisi pejabat dan ahli kebijakan luar negeri yang dipilih oleh mantan Wakil Presiden AS tersebut. Biden sendiri juga menyatakan bahwa AS akan kembali membawa perannya sebagai negara yang menjaga perdamaian dunia.

Baca Juga: Jokowi, Biden, dan Perang Dingin Baru

https://platform.twitter.com/embed/Tweet.html?creatorScreenName=pinterpolitik&dnt=false&embedId=twitter-widget-1&features=eyJ0ZndfZXhwZXJpbWVudHNfY29va2llX2V4cGlyYXRpb24iOnsiYnVja2V0IjoxMjA5NjAwLCJ2ZXJzaW9uIjpudWxsfSwidGZ3X2hvcml6b25fdHdlZXRfZW1iZWRfOTU1NSI6eyJidWNrZXQiOiJodGUiLCJ2ZXJzaW9uIjpudWxsfSwidGZ3X3NwYWNlX2NhcmQiOnsiYnVja2V0Ijoib2ZmIiwidmVyc2lvbiI6bnVsbH19&frame=false&hideCard=false&hideThread=false&id=1356067816214941696&lang=id&origin=https%3A%2F%2Fwww.pinterpolitik.com%2Fin-depth%2Fsaatnya-jokowi-tiru-sby&sessionId=633f92e5e3f82efa54c2b12aa761cf45cf3e8528&siteScreenName=pinterpolitik&theme=light&widgetsVersion=2582c61%3A1645036219416&width=550px

Namun, bukan tidak mungkin Biden akan mendapatkan sejumlah tantangan. Pasalnya, mengacu pada Mearsheimer, Tiongkok kini juga membangun tatanan dunianya yang dianggap sebagai tatanan agnostik (agnostic order).

Mengapa disebut agnostik? Jawabannya adalah karena tatanan dunia ala Tiongkok ini tidak menerapkan nilai-nilai (values) tertentu terhadap negara-negara lain. Alhasil, bentuk atau nilai pemerintahan apapun tidak menjadi prasyarat bagi Tiongkok untuk menjalin kerja sama.

Sifat tatanan yang agnostik ala Tiongkok inilah yang akhirnya bisa saja membuat Myanmar lebih mudah diterima. Dalam kata lain, pemerintahan Xi Jinping di Tiongkok bisa saja bekerja sama dengan kepemimpinan militer di Myanmar.

Negara Tirai Bambu itu sendiri disebut menjadi penyedia alat utama sistem pertahanan (alutsista) terbesar bagi militer Myanmar. Tiongkok dalam sejarahnya juga menjadi salah satu dari sedikit negara yang membuka diri terhadap Myanmar ketika AS dan berbagai negara lain dulu mengisolasinya dengan berbagai sanksi ekonomi.

Jika benar Biden ingin menegakkan tatanan dunia liberal kembali pada Myanmar, bukan tidak mungkin Tiongkok malah mendapat keuntungan dengan semakin renggangnya hubungan AS-Myanmar. Lantas, peran apa yang bisa dimainkan oleh Jokowi dari situasi ini?

Bisakah Jokowi Tiru SBY?

Bukan tidak mungkin, guna kembali menerapkan hegemoni liberal ala AS, Biden membutuhkan bantuan negara berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini, pemerintahan Jokowi dapat memainkan peran tersebut.

Pasalnya, sebagai pemimpin alami (natural leader) di Asia Tenggara, Indonesia berpengalaman dalam mendorong demokratisasi di Myanmar. Pada tahun 2003, misalnya, di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Indonesia secara aktif mendorong pembebasan Suu Kyi yang dianggap sebagai simbol demokrasi Myanmar.

Upaya Indonesia untuk mendorong demokratisasi di negara tersebut pun tetap berlanjut di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan Association of South East Asian Nations (ASEAN) sebagai lingkaran konsentris politik luar negeri Indonesia, pemerintahan SBY secara aktif terlibat bersama pemerintahan Obama di AS guna mewujudkan Myanmar yang demokratis.

Baca juga :  Tak Ada Megawati, Hanya Jokowi

Baca Juga: Doktrin Biden Resahkan Jokowi?

Saatnya Indonesia Bantu Myanmar Lagi

Ketika pemerintahan Obama hendak menerapkan sanksi lebih berat, misalnya, Indonesia disebut berusaha menegosiasi AS untuk mengadopsi pendekatan SBY, yakni kombinasi antara sanksi ekonomi terukur dan dialog. Alhasil, Obama menggunakan pendekatan ini terhadap Myanmar.

Pendekatan ini dinilai mampu membuahkan hasil karena pada tahun 2010-an pemerintahan junta militer Myanmar memutuskan untuk membebaskan Suu Kyi dan mendorong sejumlah reformasi demokratis. Kebijakan ini pun disebut sebagai prestasi dan warisan dari Obama dan SBY.

Namun, situasi politik di ASEAN kini telah berbeda dengan masa Obama-SBY. Kini, Tiongkok memiliki pengaruh yang lebih luas di Asia Tenggara, termasuk Myanmar.

Suu Kyi, misalnya, kini tidak lagi dianggap sebagai simbol demokrasi di Myanmar akibat persoalan Rohingya. Penerima Nobel Perdamaian tersebut selama ini kerap melindungi kebijakan Myanmar yang dianggap melanggar HAM.

Di sisi lain, seperti yang kerap disebutkan oleh Ralf Emmers dan Ben Bland, pemerintahan Jokowi lebih berfokus pada politik luar negeri yang pragmatis dan menguntungkan kepentingan domestik. Belum lagi, Indonesia kini belum tentu memiliki soft power – seperti budaya dan nilai sosio-politik – yang sama seperti dulu, serta adanya dugaan komitmen Jokowi terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang disebut menurun.

Selain persoalan perbedaan situasi politik ini, pemerintahan Biden juga dipertanyakan soal pendekatan yang akan diambil perihal kudeta Myanmar ini. Meski telah menyatakan situasi politik tersebut sebagai kudeta, pemerintahan Biden disebut masih mengevaluasi kebijakan yang akan diambil.

Bukan tidak mungkin, hal ini disebabkan oleh ikatan bisnis yang dimiliki oleh individu-individu di pemerintahan Biden di Myanmar. Kurt Campbell yang kini menjadi penasihat Biden di kebijakan soal Asia, misalnya, memiliki sebuah perusahaan konsultan yang bergerak dalam mempromosikan bisnis AS di Myanmar.

Alhasil, boleh jadi, pemerintahan Biden akan menimbang kembali kebijakan yang keras terhadap Myanmar. Pasalnya, kepentingan bisnis ini bisa jadi juga menjadi lahan kompetisi dengan Tiongkok yang juga memiliki banyak investasi dan ikatan bisnis di Myanmar.

Berbeda dengan Biden, pemerintahan Trump justru memiliki sikap yang lebih tegas terhadap Myanmar. Pada tahun 2017 silam, misalnya, Trump memberikan sanksi pada individu-individu militer tertentu terkait dugaan genosida terhadap kelompok etnis Rohingya.

Lantas, dengan berbagai pertimbangan ini, muncul pertanyaan baru. Mungkinkah Biden – dengan menggandeng Jokowi – bisa kembali menegakkan hegemoni liberal di Asia-Pasifik? Menarik untuk diamati kelanjutan kebijakan Biden terhadap negara-negara ASEAN ke depannya. (A43)

Baca Juga: Jokowi Butuh Sosok SBY?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?