Politik luar negeri Indonesia sejak merdeka pada 76 tahun lalu selalu memegang prinsip bebas dan aktif. Namun, di tengah semakin panasnya geopolitik sekitar Indonesia, mampukah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mempertahankan prinsip tersebut?
“Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jalan cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu” – Koes Plus, “Kolam Susu” (1973)
Bila kita ingat kembali lirik lagu “Kolam Susu” (1973) dari Koes Plus di atas, bayangan akan keindahan dan kekayaan sumber daya alam Indonesia akan muncul di angan-angan kita. Hamparan sawah, hutan, hingga lautan yang kaya ikan menjadi gambaran umum akan kekayaan bangsa dan negara kita ini.
Mungkin, inilah mengapa Muhammad Budiman – seorang nelayan di perairan Natuna – berangkat melaut setiap harinya untuk menunggu ikan dan udang datang menghampirinya. Inilah kehidupan indah di Nusantara yang kita bayangkan.
Namun, ternyata, potongan lirik Koes Plus hanya sekadar imajinasi yang tak terjadi baginya. Alih-alih ikan yang datang, nelayan yang akrab dipanggil Budi itu malah didatangi oleh kapal-kapal ikan berbendera asing yang berukuran jauh lebih besar.
Merasa takut diancam dan akan ditabrak, Budi harus terus merasa waspada dengan keberadaan kapal-kapal besar tersebut. Bila tidak, habislah kapal dan alat tangkap dirusak oleh mereka. “Saya merasa terasing di daerah sendiri,” cerita Budi dengan sedih.
Persoalan yang dialami oleh Budi ini bukanlah pengalaman eksklusif. Banyak nelayan di perairan Laut Natuna Utara juga harus merasakan ketakutan yang sama.
Baca Juga: The Flying Istana ala Jokowi
Padahal, Laut Natuna Utara yang menjadi bagian dari zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia ini sudah sering juga menjadi perhatian media dan publik Indonesia pada umumnya. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah beberapa kali mengunjungi wilayah tersebut demi menekankan hak ekonomi negara ini.
Meski begitu, kapal-kapal ikan asing – seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) – tetap hadir merongrong Laut Natuna Utara. Sejumlah pihak mengatakan bahwa klaim nine-dash line Tiongkok di Laut China Selatan (LCS) juga tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di perairan utara Natuna.
Lantas, bagaimana sikap yang diambil oleh pemerintahan Jokowi dalam menghadapi rongrongan Tiongkok yang tiada hentinya ini? Mampukah Indonesia mencegah kemungkinan dirinya menjadi merasa terasing di kawasannya sendiri, yakni Asia Tenggara?
Menjaga Netralitas Indonesia
Persoalan LCS ini bukan perkara mudah bagi Indonesia. Pemerintahan Jokowi harus mendayung di antara dua kekuatan di kawasan Indo-Asia-Pasifik, yakni Tiongkok dan Amerika Serikat (AS).
Indonesia hingga kini berusaha menjaga netralitas Indonesia dengan tidak mengklaim sebagai claimant state di LCS. Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi pun pernah mengingatkan kedua negara tersebut untuk tidak menjebak ASEAN – termasuk Indonesia – ke dalam rivalitas mereka.
Mungkin, ini menjadi bentuk ekspresi atas doktrin kebijakan luar negeri bebas dan aktif yang selama ini dianut oleh Indonesia. Sesuai dengan penjelasan dalam Undang-undang (UU) No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, politik luar negeri Indonesia selalu menekankan pada prinsip bebas dan aktif yang membuat negara ini tidak mengikatkan diri secara a priori pada salah satu kekuatan dunia.
Penggunaan prinsip ini juga terlihat dari bagaimana pemerintahan Jokowi – termasuk sejumlah negara-negara Asia Tenggara lainnya – berusaha menjaga netralitas ASEAN di tengah kontestasi kekuatan antara AS-Tiongkok. Lagipula, stabilitas dan perdamaian kawasan Asia Tenggara merupakan alasan dan tujuan utama bagi berdirinya organisasi ini.
Merupakan hal yang masuk akal apabila, dalam pertemuannya dengan Menlu AS Anthony Blinken, Retno tampak ingin AS mengikuti peran dan kepentingan ASEAN di kawasannya sendiri – dengan menekankan pada konsep sentralitas (centrality) ASEAN. Upaya yang sama juga berlaku bagi Tiongkok – di mana Indonesia dan ASEAN mengharapkan negosiasi lebih lanjut untuk mewujudkan dasar hukum internasional bagi tata laku (code of conduct/CoC) di LCS.
Namun, bagaimana caranya agar Indonesia bisa menjadi negara yang didengarkan oleh dua kekuatan besar ini? Apakah dengan menjadi netral pemerintah Indonesia bisa menjamin keamanan (security) dan stabilitas kawasan dalam jangka panjang?
Baca Juga: LTS, Jokowi Pilih AS Ketimbang Tiongkok?
Mungkin, Indonesia perlu belajar kembali bagaimana sikap netralitas dalam persaingan – hingga konflik – di antara kekuatan-kekuatan besar yang mampu mempengaruhi nasib negara-negara yang lebih kecil dalam sejarah. Mari kita ambil Islandia – sebuah negara pulau yang terletak di ujung utara benua Eropa – yang harus menghadapi Blok Sekutu (Allied powers) dan Blok Poros (Axis powers) pada Perang Dunia II sebagai contohnya.
Sama seperti Indonesia – dan sejumlah negara kawasan Asia Tenggara lainnya, Islandia merupakan negara yang diperhitungkan sebagai wilayah yang strategis secara geopolitik kala Perang Dunia II. Barang siapa mampu menguasai Islandia – entah itu Britania Raya (Inggris) atau Jerman Nazi, negara tersebut mampu memiliki akses geografis yang menghubungkan kawasan Eropa dan Amerika Utara.
Namun, terdapat persoalan yang dihadapi oleh Britania Raya dan Jerman Nazi kala itu, yakni status netral Islandia di Perang Dunia II. Baik Britania Raya maupun Jerman Nazi sadar bahwa negara pulau ini perlu berada di bawah pengaruhnya demi memiringkan (tilt) keseimbangan kekuatan (balance of power/BoP) sehingga menguntungkan mereka.
Alhasil, Perdana Menteri (PM) Britania Raya Winston Churchill yang menyadari bahwa Hitler telah menarget Islandia menjalankan sebuah operasi yang bernama Operation Fork dan menginvasi negara pulau itu pada Mei 1940. Satu hal yang membuat negara ini mudah diserang meskipun menjaga sikap netral, yakni ketiadaan kekuatan militer.
Apa yang terjadi pada Islandia di Perang Dunia II ini setidaknya menandakan bahwa sikap netral saja dalam suatu persaingan geopolitik – atau bahkan perang – tidak akan menjamin status quo untuk BoP yang ada, khususnya bagi negara-negara yang lebih kecil.
Lantas, perlukah Indonesia mengkaji ulang doktrin bebas-aktif yang telah diinternalisasinya selama puluhan tahun? Perlukah Indonesia mencari perlindungan kepada negara-negara berkekuatan besar lainnya agar Budi bisa senantiasa merasa aman ketika melaut di Laut Natuna Utara?
The Real Bebas-Aktif?
Beberapa waktu lalu, banyak pengamat dan ahli mulai mempertanyakan prinsip bebas-aktif yang dipegang oleh Indonesia dalam kerangka politik luar negerinya. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul setelah Indonesia dan AS sepakat untuk membangun pusat pelatihan maritim di Batam, Kepulauan Riau (Kepri).
Pihak Badan Keamanan Laut (Bakamla) pun menjawab bahwa program kerja sama dengan AS ini masih berada dalam koridor prinsip tersebut. “Tidak memperkuat, lebih menjadi katalisator,” ujar Kepala Bakamla RI Laksamana Aan Kurnia.
Terlepas dari bagaimana pengoperasian pusat pelatihan maritim tersebut, apa yang disebut sebagai katalisator oleh Aan bisa jadi sangat krusial bagi kemampuan Indonesia dalam menjaga kedaulatannya – termasuk bagi Budi dan nelayan-nelayan Natuna lainnya. Kemampuan untuk menghalau kapal-kapal ikan asing di perairan tersebut merupakan peran yang perlu diemban oleh Bakamla.
Baca Juga: Jokowi, Tiongkok, dan Bayangan Nazi
Ini juga sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh John J. Mearsheimer dalam bukunya yang berjudul The Tragedy of Great Power Politics – yang memiliki asumsi utama bahwa politik internasional berada di situasi yang disebut anarki (tidak adanya kekuatan superior utama yang mengatur). Bahkan, Mearsheimer pun membuat analogi bahwa lebih baik menjadi Godzilla daripada hanya menjadi Bambi.
Asumsi ini juga yang menjelaskan bahwa setiap negara akan berusaha meningkatkan kekuatannya (power) – khususnya kekuatan militer – untuk menjamin keselamatan (survival) mereka. Indonesia pun tidak lepas dari kecenderungan ini.
Mungkin, selain Islandia, Indonesia juga perlu belajar kepada Swiss yang berhasil menjaga netralitasnya selama berabad-abad – bahkan ketika dikepung oleh kekuatan-kekuatan besar kala Perang Dunia II. Kebijakan yang membuat Swiss berbeda dengan Islandia adalah kebijakan yang disebut sebagai National Redoubt.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk membangun fortifikasi di sekitar perbatasannya. Tujuannya pun hanya satu – yakni menjaga netralitas Swiss. Dengan memanfaatkan topografi pegunungan, Swiss membangun jaringan meriam – membuat negara mana pun harus berpikir dua kali bila ingin menyerang negara yang bersikap netral sejak Perjanjian Paris 1815 ini.
Apa yang dilakukan Swiss sebenarnya memiliki prinsip yang sama dengan apa yang dijelaskan Mearsheimer. Guna menjamin keselamatannya, Swiss menjalankan sebuah konsep yang disebut sebagai deterrence – menghalau negara lain agar tidak melakukan hal yang tidak diharapkan oleh negara penghalau.
Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi bisa dibilang mulai membangun kebijakan National Redoubt-nya sendiri. Arah kebijakan ini dimulai ketika Prabowo Subianto mulai menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) sejak tahun 2019.
Berbagai manuver – seperti pembangunan pangkalan militer dan pelatihan maritim bagi Bakamla di Natuna, pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista), diplomasi pertahanan, hingga moderniasi teknologi alutsista – bisa jadi merupakan bagian dari strategi National Redoubt ala Indonesia. Dengan kekuatan yang cukup, taktik deterrence seperti yang dilakukan Swiss di masa lampau dapat dibangun sedikit demi sedikit – menjaga netralitas yang sejalan dengan prinsip bebas-aktif khas Indonesia.
Namun, bukan berarti pembangunan kekuatan militer adalah perkara bagi Indonesia – di tengah besarnya pengaruh kekuatan-kekuatan besar lainnya. Bila keseimbangan pengaruh (BoP) itu tidak terjaga, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi seperti Budi yang semakin merasa terasing di kawasannya sendiri. (A43)
Baca Juga: Penjajahan Baru Bayangi Jokowi?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.