Kemenangan warga atas gugatan warga negara (citizen lawsuit) terhadap polusi udara di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya sepertinya harus tertunda. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) selaku tergugat di dalam gugatan tersebut mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
Dilansir laporan yang dikeluarkan oleh IQAir dengan judul 2020 World Air Quality Report, Indonesia berada di urutan kesembilan sebagai salah satu negara dengan kualitas udara terburuk. Provinsi DKI Jakarta sendiri berada di urutan kesembilan sebagai kota kualitas terburuk dengan skor angka 39.6.
Peringkat tersebut jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia yang berada di peringkat ke-58 kualitas udara terburuk dengan skor angka 15.6 atau juga dengan negara Myanmar dengan peringkat ke-19 dengan angka 29.4.
Padahal, secara konstitusional negara bertanggung jawab untuk memastikan hak setiap warga negaranya mendapatkan udara yang bersih dan sehat. Hal ini dikarenakan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak konstitusional yang dimiliki oleh setiap warga negara.
Sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara RI (UUD NRI) 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan”
Maka dari itu, untuk menjamin setiap warganya mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah diwajibkan membuat kebijakan guna dapat terciptanya udara yang bersih dan sehat.
Kekhawatiran akan buruknya kualitas udara yang berada di ibu kota Jakarta sudah dirasakan oleh sejumlah warga. Sebanyak 57 warga Jakarta yang terdiri dari berbagai macam profesi mulai dari ibu rumah tangga hingga aktivis lingkungan mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) pada tahun 2019 lalu.
Warga melayangkan gugatan terkait dengan polusi udara kepada tujuh tergugat yaitu, Pemerintah Pusat yang terdiri dari Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men-LHK), Menteri Kesehatan (Menkes), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), serta Pemerintah Daerah (Pemda) yang terdiri dari Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat (Jabar), dan Gubernur Banten di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus).
Kalisah Khalid selaku salah satu penggugat menilai bahwa buruknya kualitas udara dikarenakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah abai bahkan gagal untuk memastikan jaminan perlindungan terhadap udara bersih dan sehat bagi warganya.
Bila memang lingkungan dan udara yang bersih adalah hak setiap warga negara, apakah gugatan warga negara yang dilayangkan dapat mendorong pemerintah mewujudkan udara yang bersih dan sehat – mengingat PN Jakpus telah memberikan putusannya?
Apa itu Citizen Lawsuit?
Gugatan warga negara atau yang lebih dikenal citizen lawsuit berasal dari Amerika Serikat (AS) yang menganut sistem hukum common law – berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem hukum civil law.
Dalam sejarahnya, pada tahun 1970, gugatan citizen lawsuit di AS digunakan untuk melakukan gugatan masalah lingkungan. Namun, dalam perkembangannya, semakin ke sini citizen lawsuit digunakan karena negara dianggap melakukan kesalahan dalam memenuhi hak warga negaranya.
Pengaturan mekanisme gugatan citizen lawsuit di Indonesia memang belum secara tegas dijelaskan di dalam peraturan perundang-undangan tetapi sudah tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang mekanisme gugatan citizen lawsuit.
Pertama, terdapat Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa:
“masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan sendiri dan/atau kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”
Kedua, terdapat juga UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 71 ayat 1 yang berbunyi:
“masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat”
Kemudian, ketiga, persoalan mengenai citizen lawsuit juga tertuang pada Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok serta Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Lingkungan Hidup.
Maka dari itu, aturan-aturan hukum di atas dinilai sudah dapat mengisi kekosongan hukum dalam pelaksanaan gugatan citizen lawsuit yang ada di Indonesia. Atas dasar aturan-aturan tersebut pula lah warga dapat mengajukan gugatan citizen lawsuit atas perkara polusi udara.
Alhasil, pada 4 Juli 2019, sebanyak 32 warga melayangkan gugatan atas polusi udara di PN Jakpus. Setelah menjalani proses persidangan yang panjang, akhirnya pada 16 September 2021 Majelis Hakim PN Jakpus membacakan putusan bahwa para tergugat yang terdiri dari Presiden RI, Men-LHK, Mendagri, Menkes, dan Gubernur DKI Jakarta telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Namun, pertanyaan lanjutan pun kemudian mencuat. Apakah mungkin citizen lawsuit adalah kemenangan final bagi para penggugat citizen lawsuit atas upaya mereka untuk mewujudkan hak akan udara yang bersih?
Di mana Udara Bersih Kami?
Kemenangan 32 warga atas gugatan polusi udara di PN Jakpus dianggap merupakan sebuah putusan yang dapat memperbaiki buruknya kualitas udara yang ada di wilayah ibu kota Jakarta.
Kemenangan para warga ini disambut baik oleh salah satu tergugat, yaitu Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta. Ia mengatakan melalui akun Twitter-nya @aniesbaswedan, “siap menjalankan putusan pengadilan tersebut demi menciptakan udara DKI Jakarta lebih baik lagi ke depannya,” serta, “Pemprov DKI Jakarta memutuskan tidak banding dan siap menjalankan putusan pengadilan demi udara Jakarta yang lebih baik.”
Beda pemerintah daerah beda pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memutuskan tidak mengajukan banding sedangkan pemerintah pusat justru memanfaatkan upaya hukum yang masih bisa dilakukan dengan mengajukan upaya banding atas putusan PN Jakpus tersebut.
Masing-masing lembaga dan kementerian melanjutkan proses hukum gugatan citizen lawsuit tersebut dengan mengajukan upaya hukum banding. Hal ini jelas menimbulkan rasa kecewa bagi masyarakat luas yang memang terdampak dari buruknya kualitas udara yang ada.
Hal ini dikarenakan ancaman polusi udara terjadi tidak hanya dalam aspek kesehatan saja, melainkan juga dapat berdampak pada keuangan negara. Hal ini didasarkan pada data kualitas udara yang diukur menggunakan alat yang dibuat oleh Greenpeace Asia Tenggara dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA).
Biaya kesehatan yang harus dibayarkan sebagai dampak dari penyakit akibat polusi udara seperti penyakit jantung, stroke, ISPA, PPOK, Kanker paru, diabetes, dan penyakit lainnya. Dengan buruknya kualitas udara, hal tersebut berpotensi dapat menyerang kesehatan masyarakatnya sehingga ini juga berakibat pada tingginya biaya kesehatan.
Menurut Greenpeace, kerugian akibat buruknya kualitas udara di kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Denpasar dalam kurun waktu periode 1 Januari 2020-1 Juli 2020 mencapai Rp 36 triliun.
Di mana wilayah DKI Jakarta mengalami kerugian mencapai 23 triliun rupiah, Surabaya juga mengalami kerugian mencapai Rp 6,35 triliun. Di sisi lain, Bandung mengalami kerugian mencapai Rp 5,34 triliun. Denpasar juga mengalami kerugian mencapai Rp 1,44 triliun.
Maka dari itu, langkah cepat dan tepat perlu dilakukan oleh pemerintah guna memperbaiki kualitas udara yang ada sehingga dapat memastikan setiap warga negara mendapatkan kualitas udara yang bersih dan sehat.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Nahman Alon dan Haim Omer dalam tulisannya yang berjudul “The Continuity Principle: A Unified Approach to Disaster and Trauma”, untuk dapat mengantisipasi potensi ancaman, para pemimpin perlu menekan bias normal yang dapat menyebabkan pemimpin meremehkan setiap dampak yang akan timbul di kemudian hari.
Sama halnya dengan kerugian akibat polusi udara, demi menekan lebih meluasnya dampak kerugian yang akan timbul di masa depan, maka pemerintah pusat selaku pemimpin disarankan untuk segera melaksanakan putusan PN Jakpus dan membuat kebijakan yang tepat guna menciptakan udara yang bersih dan sehat.
Dengan diajukannya upaya banding oleh pemerintah pusat dalam gugatan polusi udara ini, akankah Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta akan mengubah putusan sebelumnya? Mungkin, upaya perjuangan untuk mendapatkan udara bersih harus menunggu waktu lagi. Akankah ini hanya menjadi sekadar harapan? (F75)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.