Tatanan dunia terus berubah seiring dengan ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bukan tidak mungkin memiliki kesempatan emas untuk “kelabui” dua negara itu.
“There’s so much more the world has to reveal. But you choose to be concealed” – The Weeknd, penyanyi asal Kanada
Pandemi Covid-19 yang kini menghantui banyak pihak mungkin bisa menjadi musuh bersama yang harus dilawan. Bagaimana tidak? Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), ini bisa dibilang telah menghantui banyak negara – baik dari sisi kesehatan masyarakat maupun ekonomi.
Amerika Serikat (AS), misalnya, menjadi salah satu negara yang “kewalahan” dalam mengontrol penularan virus ini – dengan jumlah kasus positif yang menjadi salah satu terbanyak di dunia. Di sisi lain, pandemi ini juga menyebabkan perekonomian negara Paman Sam mengalami kontraksi yang cukup besar dengan pertumbuhan ekonomi hingga minus 3,5 persen pada tahun 2020.
Situasi yang mirip juga terjadi di Indonesia. Di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), negara kepulauan terbesar di Asia ini telah memiliki kasus positif lebih dari satu juta kasus. Tidak hanya itu, Indonesia juga mengalami kontraksi dengan pertumbuhan ekonomi hingga minus 2,07 persen pada tahun yang sama.
Tentu, dengan musuh bersama yang mengancam banyak negara, bukan tidak mungkin hubungan antarnegara juga perlu diperkuat. Presiden Jokowi dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi juga berkali-kali menyatakan pentingnya kerja sama multilateral untuk pengadaan vaksin Covid-19.
Baca Juga: Arti Kudeta Myanmar Bagi Jokowi
Kerja sama dengan negara-negara tetangga juga bisa jadi penting. Kala bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia Muhyiddin Yasin, misalnya, Jokowi membahas sejumlah kerangka kerja sama yang bisa menciptakan koridor perjalanan (travel corridor) antara dua negara.
Namun, selain membahas kemungkinan kerja sama tersebut, Jokowi dan Muhyiddin uniknya juga membicarakan soal industri kelapa sawit yang dianggap menjadi sasaran kampanye hitam dari Uni Eropa (UE). Situasi dagang antara Indonesia dan UE juga memang tengah memburuk.
Tidak hanya kelapa sawit, sejumlah sektor dagang Indonesia-UE juga mengalami persoalan atau sengketa, seperti nikel dan baja. Kedua negara juga saling melaporkan sengketa dagang ini ke World Trade Organization (WTO).
Pertanyaannya, mengapa situasi dagang ini malah memburuk akhir-akhir ini? Dinamika politik apa yang mendasari buruknya hubungan dagang Indonesia-UE ini?
Kegagalan Tatanan AS?
Untuk memahami mengapa berbagai sengketa dagang ini menghantui Indonesia dan UE, mungkin perlu juga dipahami bagaimana hubungan dagang antarnegara diatur dalam rezim internasional. Dalam hal ini, fungsi ini dijalankan oleh sebuah organisasi internasional yang bernama WTO.
WTO sendiri dalam sejarahnya merupakan hasil kesepakatan negara-negara yang disepakati secara multilateral. Mekanisme dagang internasional ini pun tidak begitu saja dalam semalam disepakati bersama.
Dalam sejarah rezim perdagangan internasional yang hingga sekarang dibawahi oleh WTO, negara-negara kala itu melalui sejumlah tahap negosiasi yang memakan waktu bertahun, yakni era General Agreement on Tariffs and Trade atau GATT (1947-1979), Putaran Uruguay (1986-1994), dan Putaran Doha (2001-sekarang). Sebagian besar isu yang dibahas adalah persoalan tarif dan hambatan dagang di tengah dunia yang terus mengalami globalisasi.
GATT sendiri merupakan bagian dari sebuah sistem ala AS yang kerap disebut sebagai sistem Bretton Woods – termasuk International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (WB). Sistem ini diusung oleh negara tersebut pasca-Perang Dunia II untuk mengatur jalannya hubungan dagang dan ekonomi dunia – meminimalisir munculnya alasan perang antarnegara.
Sistem inilah yang disebut oleh John J. Mearsheimer sebagai bagian dari tatanan dunia yang dikenal sebagai liberal international order (tatanan dunia liberal). Dengan tatanan ini, AS menyebarkan prinsip-prinsip liberal yang secara tidak langsung mendominasi politik antarnegara.
Tidak jarang, dengan prinsip liberal ini, AS dinilai memaksakan jalannya pada negara-negara lain. Washington Consensus, misalnya, memberikan resep pada negara-negara berkembang akan bagaimana caranya menjadi negara yang makmur ala Barat.
Baca Juga: Jokowi Di Tengah Gelombang Hiperrealitas Politik?
Meski begitu, tatanan dunia liberal ini disebut oleh Mearsheimer telah gagal dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail. Tatanan ini gagal karena terlalu menekankan prinsip-prinsip liberal ke negara lain – menimbulkan persepsi gangguan akan kedaulatan masing-masing.
Selain itu, kehadiran Donald J. Trump sebagai Presiden AS juga membuat WTO menjadi semakin dormant. Tanpa panduan dari AS, WTO menjadi organisasi penyelesaian sengketa dagang yang dianggap tidak efektif.
Bisa jadi, dengan melemahnya tatanan liberal ini, banyak negara akhirnya lebih berani dalam mendobrak prinsip-prinsip liberal tersebut, termasuk prinsip soal perdagangan bebas hambatan. Mungkin, inilah alasan mengapa pemerintahan Jokowi di Indonesia berani memutuskan untuk melarang ekspor nikel yang bisa saja mencederai prinsip free trade dan mendorong nilai-nilai merkantilistis.
Ini bisa juga sejalan dengan arah politik luar negeri Jokowi. Mengacu pada Ralf Emmers dan Ben Bland, mantan Wali Kota Solo tersebut memiliki arah kebijakan luar negeri yang pragmatis dengan berfokus pada kepentingan dan keuntungan yang bisa diperoleh Indonesia secara domestik.
Meski begitu, dilantiknya Joe Biden sebagai Presiden AS disebut-sebut bisa mengembalikan tatanan dunia liberal ala negeri Paman Sam bila diamati dari komitmen dan komposisi tim kebijakan luar negerinya. Apalagi, Biden baru saja memberikan sanksi kepada Myanmar yang baru saja mengalami kudeta militer.
Bila Biden akhirnya benar-benar menegakkan prinsip-prinsip liberal ke berbagai negara di dunia, lantas bagaimana dengan nasib pemerintahan Jokowi yang komitmen demokrasinya dinilai terus menurun? Strategi apa yang perlu diterapkan oleh pemerintahan Jokowi?
Saatnya Jokowi Tiru Deng Xiaoping?
Jika Biden benar kembali menegakkan prinsip-prinsip liberal ala tatanan sebelumnya, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi harus bersiap-siap ketika isu-isu demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) menjadi salah satu “mata uang” yang penting bagi AS.
Bila benar begitu, Jokowi mungkin bisa belajar dari prinsip politik luar negeri ala Tiongkok yang diterapkan pada era Deng Xiaoping. Prinsip ini dikenal sebagai 韬光养晦 (tāo guāng yǎng huì) yang artinya adalah sembunyikan kecerahan (brightness) dan rawat ketidakjelasan (obscurity).
Mengacu pada apa yang ditulis oleh Geoff Dyer dalam bukunya yang berjudul The Contest of the Century, prinsip inilah yang akhirnya menjadi fitur dalam “demokrasi” ala Tiongkok. Dengan bersembunyi dan “tetap rendah hati”, kebangkitan Tiongkok tidak akan terganggu oleh kepentingan negara-negara lain.
Apalagi, dengan terjadinya unjuk rasa berdarah di Tiananmen Square, Beijing, pada tahun 1989, Deng menyadari bahwa pembangunan ekonomi Tiongkok suatu saat bisa saja berbenturan dengan kepentingan AS dan negara-negara rival lainnya di Asia. Alhasil, tanpa menarik perhatian besar dari dunia internasional, negara Tirai Bambu tersebut dapat berfokus dalam membangun perekonomian domestiknya.
Baca Juga: Di Balik Jokowi Minta Masyarakat Mengkritik
Strategi ini dinilai membuahkan hasil karena Tiongkok kini tampil sebagai negara dengan kemampuan yang dapat menantang dominasi AS – menunjukkan diri sebagai hegemon di Asia. Hasilnya? Xi Jinping kini bisa dengan leluasa menggunakan strategi 奋发有为 (fèn fā yǒu wéi) yang artinya berjuang untuk menorehkan prestasi.
Prinsip ini bisa dilihat dari bagaimana Tiongkok kini tampil bak pemimpin dalam upaya melawan pandemi Covid-19. Dengan diplomasi yang proaktif, pemerintahan Xi mengirimkan banyak sokongan – dari alat kesehatan (alkes) hingga vaksin – ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Boleh jadi, Jokowi memerlukan strategi serupa dengan meminimalisir perhatian dunia pada Indonesia. Pasalnya, gejolak demonstrasi dan unjuk rasa yang terjadi di bawah pemerintahan Jokowi – seperti pada September 2019 – bisa saja menarik perhatian AS, khususnya di era Biden.
Meski begitu, prinsip tāo guāng yǎng huì ini tentu bukanlah satu-satunya strategi yang bisa diterapkan oleh Jokowi untuk mengikuti jejak Tiongkok. Selain stabilitas politik, Tiongkok juga dikenal dengan strategi pembangunan yang disebut sebagai from imitation to innovation (dari imitasi ke inovasi).
Dengan cara tersebut, Tiongkok telah memanfaatkan tatanan ekonomi liberal di era globalisasi dengan menjadi tembat bagi investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) dan menjadikannya kesempatan untuk menerapkan transfer teknologi (technology transfer) dari perusahaan-perusahaan asing. Dari sinilah, Tiongkok berusaha mengimitasi industri asing dan mengubahnya menjadi inovasi.
Saat ini Tiongkok telah menjadi manufacturing hub. AS bahkan menempatkan banyak pabriknya di negeri Tirai Bambu.
Inovasi ini juga membuahkan hasil dengan munculnya sejumlah teknologi baru dan berkualitas dari negara Tirai Bambu itu. Huawei, misalnya, telah mengembangkan berbagai produk elektroniknya sendiri serta teknologi 5G yang dinilai telah membuat AS cemas.
Tidak hanya inovasi, Tiongkok juga menggunakan beberapa aturan yang membuat perputaran uang domestik dapat berlangsung. Salah satunya adalah dengan membatasi uang yang keluar dari wilayahnya. Bagi warga Tiongkok, jumlah uang yang bisa ditransfer ke luar negeri adalah RMB 2.000 (Rp 4 juta) dan hanya RMB 50.000 (Rp 108 juta) per tahunnya.
Mungkin, taktik-taktik ala Tiongkok ini bisa jadi kesempatan sekaligus tantangan yang dihadapi oleh pemerintahan Jokowi. Dengan melemahnya dominasi tatanan liberal AS, Indonesia bisa jadi memiliki kesempatan untuk memanfaatkan situasi untuk meniru Tiongkok dalam hal mengembangkan kemampuan teknologinya – misal dengan mengundang investasi asing langsung .
Namun, di sisi lain, pemerintahan Jokowi juga perlu memastikan bahwa transfer teknologi dapat terjadi dengan baik. Mungkin, inilah mengapa pemerintah kini mengusung konsep link–and–match di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sehingga sumber daya manusia Indonesia mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Terlepas dari tantangan ini, Jokowi juga harus menghadapi tekanan domestik dari aktor-aktor politik lainnya, mulai dari partai politik (parpol) hingga kepentingan bisnis yang bisa saja terancam. Belum lagi, sentimen anti-asing juga masih eksis di Indonesia.
Lantas, pertanyaan yang masih perlu dijawab kemudian adalah apakah pemerintahan Jokowi mewujudkan strategi ala Tiongkok tersebut. Mari kita amati saja kelanjutan strategi pemerintah di tengah diskursus politik domestik yang malah semakin ramai. (A43)
Baca Juga: Pemerintahan Jokowi Makin Menakutkan?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.