Industri film Indonesia pada November nanti bakal diramaikan oleh Festival Film Indonesia (FFI) 2021 yang secara rutin memberikan hadiah Piala Citra para kreator film. Namun, berbagai kegiatan awards seperti ini sebenarnya mempunyai implikasi lebih luas dalam dunia sosio-politik.
Masa-masa sekolah mungkin menjadi bagian dari perjalanan hidup yang paling mengesankan bagi banyak orang. Tidak jarang, banyak kisah-kisah unik yang tersimpan di bingkai-bingkai memori di pikiran kita.
Salah satu masa-masa sekolah yang saya ingat adalah keseruan teman-teman sekelas saya yang dulu mengadakan angket kelas. Cara kerjanya dengan mengumpulkan secarik kertas yang berisikan kolom-kolom seperti terganteng, tercantik, terbaik, terjudes, dan sebagainya.
Ya, mungkin, ini bisa membantu anak-anak di kelas itu dalam mengenal dan mengakrabkan satu sama lain. Dalam formulir ala kadarnya itu, saya diminta untuk mengisikan nama teman-teman saya sesuai kategori yang telah disediakan.
Kemudian, nama-nama itu nantinya dibacakan di depan kelas – semacam sebuah voting untuk menentukan siapa yang berhak dijuluki sebagai terganteng, tercantik, terbaik, hingga terjudes. Tentunya, kertas yang dikumpulkan sifatnya anonim.
Bak membacakan kertas-kertas yang kertas suara di tempat pemungutan suara (TPS) di sore hari, satu persatu kertas memberikan angka pada nama-nama tertentu. Ya, barang kali, ini juga bisa menjadi latihan dini dalam berdemokrasi.
Selain mirip dengan pemungutan suara, terbesit di pikiran saya bahwa ada satu perhelatan lain yang bisa dibilang sebelas-dua belas dengan keseruan angket kelas ini, yakni awards atau acara penganugerahan. Bagaimana tidak? Nama-nama tertentu akhirnya dinobatkan menjadi yang ter-, ter-, dan ter-.
Baca Juga: Nobar Film Rasa Pemilu
Biasanya, penobatan seperti ini juga terjadi di festival-festival film. Mari kita ambil Festival Film Indonesia (FFI) sebagai salah satu contohnya. Festival film satu ini secara rutin diadakan untuk memberikan Piala Citra bagi bakat-bakat film terbaik.
Tahun ini, FFI rencananya bakal dilaksanakan pada 10 November 2021 mendatang. Sejumlah nominasi pun telah diumumkan sehubungan dengan pagelaran acara tersebut.
Namun, apa kalian tahu bahwa festival film seperti ini sebenarnya memiliki manfaat yang lebih luas dari sekadar memberikan penghargaan? Biasanya, terdapat banyak pihak berkepentingan (stakeholder) yang turut berkecimpung di dalam perhelatan seperti ini.
Apa sebenarnya fungsi dan implikasi dari festival film seperti FFI – khususnya dalam dinamika sosial dan politik serta terhadap perkembangan industri film? Kemudian, apa tantangan yang dihadapi oleh FFI untuk bisa mengembangkan industri film Indonesia?
Politik di Festival Film
Banyak dari kita pasti sudah pernah mendengar festival atau acara penganugerahan seperti Academy Awards dan FFI. Meski begitu, tidak banyak yang tahu bahwa festival film memiliki sejarah panjang yang berkaitan erat dengan dimensi politik.
Semua dimulai pada tahun 1932 ketika Benito Mussolini memimpin di Italia yang berada di bawah kekuasaan Partai Fasis Nasional. Kala itu, festival film di Italia merupakan bagian dari organisasi kesenian Venice Biennale – menjadi cikal bakal bagi salah satu festival film paling populer di dunia, yakni Venice Film Festival.
Keterkaitan ideologi dan festival film seperti ini pernah dijelaskan oleh Steven Ricci dalam tulisannya yang berjudul Cinema & Fascism. Kala itu, sejumlah film Italia dinilai jatuh dalam kategori propaganda – di mana sejumlah film menarasikan peristiwa-peristiwa tertentu.
Bahkan, Mussolini pun beberapa kali memerintahkan pemotongan sejumlah adegan yang mengandung hal-hal yang tidak cocok dengan pemerintahannya, seperti protes masyarakat (popular unrest). Terdapat juga beberapa film seperti Luciano Serra pilota dan Olympia – sebuah film yang menceritakan tentang supremasi bangsa Arya di kompetisi olahraga Olimpiade – yang berhasil memenangkan Mussolini Cup di Venice Film Festival pada tahun 1938.
Uniknya, festival film tidak hanya berkembang di Blok Poros, melainkan juga di Blok Sekutu – di mana banyak para insan film merasa kecewa dengan campur tangan politik Mussolini dan Hitler di Venice Film Festival. Festival film ini dikenal sebagai Le Festival International du Film (cikal bakal dari Cannes Film Festival) yang dilaksanakan pada tahun 1939 dan sempat berakhir akibat memburuknya situasi Perang Dunia II.
Baca Juga: Modi, Jokowi dan Politik Film
https://platform.twitter.com/embed/Tweet.html?creatorScreenName=pinterpolitik&dnt=false&embedId=twitter-widget-1&features=eyJ0ZndfZXhwZXJpbWVudHNfY29va2llX2V4cGlyYXRpb24iOnsiYnVja2V0IjoxMjA5NjAwLCJ2ZXJzaW9uIjpudWxsfSwidGZ3X2hvcml6b25fdHdlZXRfZW1iZWRfOTU1NSI6eyJidWNrZXQiOiJodGUiLCJ2ZXJzaW9uIjpudWxsfSwidGZ3X3NwYWNlX2NhcmQiOnsiYnVja2V0Ijoib2ZmIiwidmVyc2lvbiI6bnVsbH19&frame=false&hideCard=false&hideThread=false&id=1381618403396313099&lang=id&origin=https%3A%2F%2Fwww.pinterpolitik.com%2Fin-depth%2Fsaatnya-jokowi-gebrak-festival-film&sessionId=9195600adaedba87fbec8ea565e03d2db5b3bbcc&siteScreenName=pinterpolitik&theme=light&widgetsVersion=2582c61%3A1645036219416&width=550px
Terlibatnya dimensi politik dalam film tidak berhenti pada era Perang Dunia II saja. Pada era Perang Dingin, misalnya, ideologi turut memiliki peran penting di balik kelahiran Berlin Film Festival pada tahun 1951 – bertujuan untuk menunjukkan supremasi film Blok Barat dibandingkan Blok Timur yang didominasi oleh Moskow.
Menariknya, kompetisi festival film seperti ini tidak hanya terjadi pada dimensi politik, melainkan juga kompetisi ekonomi dan pasar film yang didominasi Hollywood (AS). Marijke de Valck dari Uttrecht University dalam bukunya yang berjudul Film Festivals: From European Geopolitics to Global Cinephilia menjelaskan bahwa festival-festival film seperti the Big Three (Cannes, Berlin, dan Venice) menjadi jalan pintas bagi film-film Eropa yang terhambat oleh dominasi rantai distribusi AS – menjadikan festival film seperti ini sebagai medium untuk menunjukkan film-film baru mereka lewat screening.
Bila festival film seperti ini bisa menjadi medium yang berarti dalam dimensi ekonomi dan politik bagi negara-negara di Eropa, bagaimana dengan Indonesia? Apakah festival-festival film kita – seperti FFI – telah memenuhi fungsi festival film seperti ini?
Perlu Gebrakan?
Terlepas dari dimensi politik dan dimensi ekonomi yang ada di dalamnya, festival-festival film juga menjalankan fungsi yang mungkin bisa saja mendukung unsur ekonomi dan politik tadi. Fungsi tersebut adalah fungsi pengakuan.
Hal ini bisa dipahami dari teori festival film yang dibangun oleh de Valck dalam bukunya yang berjudul Film Festivals: History, Theory, Method, Praxis. Dengan menggunakan konsep modal simbolis (symbolic capital) dari filsuf Prancis yang bernama Pierre Bourdieu, de Valck menyebutkan festival film dapat menjadi field (lapangan) di mana banyak pihak saling berjuang dan bersaing.
Field dalam dunia produk budaya dinilai terbagi menjadi dua, yakni field di mana dipenuhi oleh permintaan komersial dan pasar; dan field yang diisi oleh orang-orang dengan norma khusus. Komunitas film, misalnya, memiliki sejumlah pihak yang berusaha mempertahankan norma yang dimiliki – festival-festival film.
Dalam field inilah, para pembuat film saling berusaha mendapatkan modal simbolis yang menurut de Valck merupakan pengakuan dari rekan-rekan insan film lainnya. Modal ini didapatkan melalui pengakuan yang timbul dari festival film.
Mungkin, upaya untuk mewujudkan modal simbolis inilah yang sulit terwujud pada FFI. Pasalnya, meski Badan Perfilman Indonesia (BPI) – sebuah badan non-pemerintahan yang berada di bawah supervisi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) – menyelenggarakan FFI, perhelatan acara tersebut dinilai tidak benar-benar menjalankan fungsi layaknya sebuah festival film.
Setidaknya, pandangan ini diungkapkan oleh Rininta Irientantya dalam tesis pascasarjananya di Erasmus School of History, Culture, and Communication yang berjudul Where Does the Festival Go?. Irientantya menyebutkan FFI cenderung lebih meniru model awards ala Oscar yang hanya mengedepankan sisi komersial.
Baca Juga: Mahfud Kagum Pada Film PKI?
Sementara, festival film memiliki beberapa unsur yang berbeda dari sekadar penganugerahan. Dalam festival-festival film pada umumnya, para pembuat film – termasuk yang baru – dapat memperoleh modal simbolis dengan menayangkan film-film mereka – sesuatu yang sulit terwujud dalam persaingan pasar film. Apalagi, pasar film Indonesia banyak dibanjiri oleh film-film buatan asing seperti Hollywood.
Mari kita ambil Sundance Film Festival sebagai contohnya. Festival film yang digelar di Park City, Utah, AS, ini biasa melakukan screening film bagi mereka yang berada di luar kelompok mainstream di pasar film – menghasilkan insan-insan film berbakat seperti Wes Anderson dan Richard Linklater.
Irientantya pun menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan hal ini. Salah satunya adalah persoalan yang terjadi antara principal (pemerintah) dan agent (FFI dan insan film Indonesia).
Persoalan mencuat ketika tidak ada sinergi antara principal dan agent. Kesamaan visi belum terbentuk dengan baik – di mana campur tangan pemerintah kerap dilihat sebagai “ancaman”. Belum lagi, perubahan kebijakan dan pemangkunya sekaligus – seperti kementerian atau lembaga mana yang menaungi antara Kemdikbudristek dan Kemenparekraf – membuat sinergi menjadi lebih sulit.
Mungkin, pemerintah bisa belajar dari negara-negara lain yang memiliki rencana panjang dalam menyinergikan kebijakan filmnya. Mari kita ambil Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai contohnya.
Pada tahun 1993-2003, pemerintah Tiongkok memiliki gagasan kebijakan film yang disebut sebagai going-out policy – memperkenalkan industri film Tiongkok ke luar negeri. Gagasan ini bahkan tertuang dalam Rencana Lima Tahunan (Five-Year Plan) Tiongkok pada 2006-2010 dan 2011-2015.
Salah satu poin penting dalam gagasan going-out policy adalah pengadaan festival-festival film – seperti Beijing International Film Festival (BIFF). Kebijakan ini pun disebut oleh Yanling Yang dalam tulisannya Film Policy, the Chinese Government and Soft Power sebagai salah satu langkah yang berkontribusi bagi kekuatan lunak (soft power) – pengaruh bagiamana satu pihak membuat pihak lain memiliki kemauan yang sama – dari Tiongkok.
Boleh jadi, bila Indonesia benar berambisi untuk menguatkan industri filmnya hingga dikenal di panggung internasional, sinergi dan penyusunan rencana yang tertata perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait – baik itu pemerintah atau insan film Indonesia. Tentunya, ini menjadi mimpi semua pihak di mana festival film dapat mewadahi keuntungan komersial dan kultural yang menghasilkan pembuat-pembuat film baru yang berbakat.
Bila festival film kita hanya berakhir sebagai ajang penganugerahan, mungkin industri film kita juga akan berakhir seperti hak angket yang hanya didasarkan pada judgment belaka tanpa mengetahui lebih dalam makna dari kategori-kategori angket yang ada. Kapankah Indonesia akan meraih gelar ter-, ter-, dan ter- lainnya di kancah internasional? (A43)
Baca Juga: Saatnya Sandiaga Bangkitkan Film Indonesia
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.