HomeNalar PolitikSaatnya Jokowi Belajar dari Majapahit?

Saatnya Jokowi Belajar dari Majapahit?

Sejarah bisa saja menjadi pembelajaran yang penting bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam mengarungi lanskap politik di masa kini. Perlukah Jokowi belajar dari tata pemerintah ala Majapahit?


PinterPolitik.com

“But the problem is probably a deep past” – Wale, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Persaingan mungkin merupakan salah satu aspek yang senantiasa mengisi kehidupan banyak orang. Kebutuhan untuk menjadi kompetitif kerap menjadi motivasi bagi seseorang untuk berpacu guna menjadi lebih baik.

Kompetisi agar menjadi lebih baik semacam ini mungkin tergambarkan dalam sebuah film yang berjudul Ford v, Ferrari(2019). Film karya James Mangold ini mengisahkan persaingan antara dua perusahaan otomotif besar.

Berdasarkan kisahnya, persaingan ini terjadi pada pertengahan dekade 1960-an. Kala itu, Ferrari – perusahaan otomotif asal Italia – kerap menjuarai kompetisi balap Prancis yang dikenal sebagai Le Mans.

Fakta inilah yang ingin diubah oleh Ford – perusahaan otomotif asal Amerika Serikat (AS). Meski dikenal sebagai perusahaan otomotif yang memproduksi mobil untuk keluarga, Ford berambisi untuk merebut gelar juara tersebut dari tangan Ferrari dengan menggandeng pembalap-pembalap legendaris, seperti Carroll Shelby dan Ken Miles.

Mungkin, persaingan semacam ini turut menggambarkan kompetisi kekuatan yang tengah terjadi antara AS dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Pasalnya, dengan pengaruh yang semakin kuat, negara Tirai Bambu yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping tersebut bisa jadi menjadi kekuatan yang paling berpengaruh di Asia.

Melihat hal ini, AS yang dipimpin oleh Presiden Donald Trump tidak hanya tinggal diam. Seperti Ford, negara Paman Sam pun akhirnya disebut-sebut menggandeng sejumlah negara lain – seperti Jepang, Filipina, India, dan Australia – guna menghalau pengaruh Tiongkok di kawasan Asia-Pasifik.

Persaingan ini tidak dapat dipungkiri turut memengaruhi Indonesia. Bagaimana tidak? Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sebelumnya dianggap lekat dengan Tiongkok kini mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Trump.

Meski begitu, di balik seluruh kontestasi yang tengah terjadi antara AS dan Tiongkok, masa lampau bukan tidak mungkin turut menyertai. Persaingan antara Ford dan Ferrari, misalnya, disebut-sebut dipengaruhi oleh kegagalan dua perusahaan tersebut untuk menghasilkan kesepakatan bisnis bersama.

Boleh jadi, memori masa lalu inilah yang turut memengaruhi persaingan antara AS dan Tiongkok. Pertanyaan lanjutan pun akhirnya muncul.

Memori masa lalu apa yang akhirnya memengaruhi kompetisi antara AS dan Tiongkok? Pelajaran apa yang bisa diambil oleh pemerintahan Jokowi di Indonesia?

Abad Penghinaan

Sebagian besar masyarakat di berbagai belahan dunia pasti tahu bahwa AS dan Tiongkok kini terlibat dalam kemelut hubungan yang panas – mulai dari Perang Dagang yang dimulai beberapa tahun lalu hingga aksi saling menyalahkan terkait pandemi Covid-19. Namun, bukan tidak mungkin, apa yang terjadi saat ini turut dipengaruhi oleh kejadian jauh di masa lampau.

Pandangan inilah yang kemudian dikemukakan oleh John J. Mearsheimer beberapa waktu lalu. Dalam sebuah webinardengan salah satu perguruan tinggi di Brasil, profesor Hubungan Internasional dari University of Chicago tersebut menjelaskan bahwa Tiongkok kini ingin menjadi kekuatan hegemon di Asia.

Baca juga :  Rahasia Rotasi Para Jenderal Prabowo

Mearsheimer menjelaskan bahwa keinginan ini bisa jadi dipengaruhi oleh salah satu faktor sejarah, yakni pada suatu masa yang disebut sebagai Century of Humiliation (Abad Penghinaan). Abad yang terjadi pada tahun 1839-1949 ini adalah masa ketika Tiongkok merasa malu karena menjadi “mainan” bagi kekuatan-kekuatan Barat dan Jepang.

Howard W. French dari Columbia University juga menjelaskan hal yang sama dalam tulisannya bersama rekan-rekannya di Foreign Policy. Dalam tulisan itu, French menyebutkan bahwa Abad Penghinaan dahulu menjadi titik balik bagi kejayaan Tiongkok selama berabad-abad.

Bagaimana tidak? Tiongkok pada abad pertengahan merupakan kekuatan yang paling mendominasi di Asia Timur – hingga Asia Tenggara. Kejayaan negara Tirai Bambu di masa lampau itu akhirnya harus berakhir ketika kekuatan-kekuatan lain dari Eropa dan Jepang mulai ‘menghabisi’ dominasi Tiongkok.

Sejarah masa lampau dapat menjadi inspirasi bagi kebijakan luar negeri sebuah negara. Share on X

Hal ini ditandai dengan bagaimana Tiongkok kala itu mulai kehilangan sebagian wilayahnya pada kekuatan-kekuatan Eropa. Hong Kong, misalnya, terpaksa harus berada di bawah naungan Inggris selama bertahun-tahun.

Uniknya, masa lampau yang buruk ini disebut-sebut menjadi inspirasi bagi kebijakan luar negeri Tiongkok. French dan rekan-rekannya menjelaskan bahwa Tiongkok ingin mengambil posisinya kembali sebagai hegemon kawasan seperti yang ada di masa lampau.

Keinginan ini seakan sejalan dengan penjelasan Mearsheimer yang menyebutkan bahwa, bagaimanapun, tujuan utama negara besar adalah untuk mencapai posisi hegemon kawasan sehingga dapat merasa aman. Mungkin, Tiongkok kini ingin menjadi hegemon kembali agar negara-negara lain tidak kembali mencampuri negaranya lagi.

Pertanyaan lanjutan pun akhirnya muncul. Mengapa sejarah semacam Abad Penghinaan dapat menjadi inspirasi bagi kebijakan luar negeri di masa kini? Bagaimana dengan pemerintahan Jokowi? Perlukah Indonesia belajar juga dari sejarah masa lalu?

Memori Kolektif

Peristiwa masa lampau yang terjadi pada suatu masyarakat sebenarnya bisa tetap diingat dan memengaruhi dinamika sosio-politik di masa kini. Boleh jadi, Abad Penghinaan yang dialami Tiongkok menjadi memori yang akhirnya menginspirasi kebijakan luar negeri di masa kini.

Ingatan akan masa lalu secara kolektif seperti ini dikenal sebagai konsep yang disebut memori kolektif (collective memory). Konsep ini datang dari seorang filsuf dan sosiolog Prancis yang bernama Maurice Halbwachs.

Dalam bukunya yang berjudul On Collective Memory, Halbwachs menjelaskan bahwa memori kolektif terbangun melalui konstruksi dan narasi akan peristiwa besar di masa lampau. Persepsi sebuah kelompok terhadap peristiwa besar itu turut membentuk ingatan yang bisa tersimpan dari generasi ke generasi.

Beberapa contoh peristiwa yang masih tersimpan hingga generasi kini adalah Hari Kemerdekaan AS dan Hari Bastille (Prancis). Memori ini tetap tersimpan dan diperingati oleh generasi AS dan Prancis di masa kini.

Tidak hanya sebagai peristiwa yang diperingati, memori kolektif ternyata juga dapat memengaruhi kebijakan luar negeri. Setidaknya, penjelasan itulah yang disampaikan oleh Eric Langenbacher dan Yossi Shain dalam buku mereka yang berjudul Power and the Past.

Langenbacher dan Shain mengambil kebijakan luar negeri Israel sebagai salah satu contohnya. Menurut mereka, kebijakan negara satu ini sangat dipengaruhi oleh memori akan Holocaust. Akibatnya, Israel kerap merasa insecure dalam menjalankan hubungan antarnegara – khususnya di kawasan Timur Tengah.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Boleh jadi, Tiongkok juga mengalami memori kolektif serupa sehingga kebijakan luar negerinya semakin melihat AS sebagai ancaman bagi upaya membangun diri sebagai hegemon kawasan. Bila benar begitu, bagaimana dengan Indonesia? Perlukah pemerintahan Jokowi mengilhami memori kolektif seperti Tiongkok dan Israel?

Saatnya Majapahit ‘Baru’?

Pemerintahan Jokowi bisa jadi perlu mengilhami sejarah masa lampau Indonesia guna menghadapi kekuatan-kekuatan asing yang mulai membangun dominasi di Asia Tenggara. Pasalnya, bagaimanapun juga, sejarah panjang hubungan antarnegara juga telah terjadi di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara.

Majapahit yang pernah berdiri di kepulauan Indonesia, misalnya, disebut-sebut pernah menjadi kekuatan besar di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, Majapahit dahulu kala dinilai menjadi satu-satunya kekuatan yang ingin mengimbangi kekuatan Dinasti Ming di Tiongkok.

Pandu Utama Manggala dari Australian National University (ANU) mencoba menjelaskan bagaimana lanskap politik kawasan Asia Tenggara pra-kolonial dalam tulisannya yang berjudul The Mandala Culture of Anarchy. Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa Majapahit menerapkan konsep politik luar negeri yang disebut sebagai Mandala – menempatkan kerajaan-kerajaan teman guna menghalau musuh.

Manggala menyebutkan bahwa Majapahit bahkan menjadi kekuatan yang memberontak terhadap dominasi Dinasti Ming di Tiongkok. Hal ini dilakukan dengan membangun hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, seperti Champa dan Brunei.

Selain itu, Majapahit berusaha menempatkan diri sebagai kerajaan sentral di kawasan ini. Maka dari itu, kerajaan ini beberapa kali mencoba menghalau Tiongkok dengan melarang kerajaan-kerajaan lainnya untuk tunduk pada sistem Cefeng ala Tiongkok.

Bila berkaca pada Majapahit, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi turut menerapkan posisi serupa sebagai kekuatan hegemon di Asia Tenggara. Lagi pula, bila mengacu pada pemikiran Mearsheimer, Indonesia bisa menjadi kekuatan hegemon di kawasannya.

Namun, sebelum dapat menjadi inspirasi dalam kebijakan luar negeri dalam menghalau Tiongkok, Majapahit sebagai memori kolektif bisa jadi perlu diilhami terlebih dahulu. Mungkin, inilah tantangan yang tengah dihadapi oleh Indonesia.

Selain menjelaskan soal memori kolektif, Halbwachs juga menjelaskan bahwa memori dapat dilupakan (forgetting) bila gambaran masa lalu itu semakin dianggap tidak relevan. Ini bisa saja terjadi apabila terjadi pemisahan gambaran dengan kelompok di masa lalu dengan kelompok di masa kini.

Terlepas dari itu semua, memori kolektif yang ada di era Majapahit ini bukan tidak mungkin dapat menjadi pembelajaran bagi pemerintahan Jokowi di masa kini yang dianggap sangat lekat dengan Tiongkok. Seperti banyak orang bilang, masa lampau senantiasa menjadi pengantar bagi kita yang berjalan di masa kini. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?