HomeNalar PolitikSaatnya Indonesia Berpihak di Indo-Pasifik

Saatnya Indonesia Berpihak di Indo-Pasifik

Kecil Besar

Di tengah meningkatnya ketegangan di kawasan Indo-Pasifik, kebijakan luar negeri Indonesia sebagai negara yang terletak di jantung Samudra Hindia dan Pasifik dipertanyakan. Pengamat menilai Jakarta masih berpegang pada taktik lama mereka yang pasif dan memilih menjadi “penyeimbang” antara dua kekuatan besar, namun apakah strategi ini masih relevan?


PinterPolitik.com

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan terletak di jantung Samudra Hindia dan Pasifik tampaknya telah ditakdirkan untuk menjadi titik tumpu strategis di era persaingan kekuatan besar antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.

Evan Laksmana dalam tulisannya yang berjudul Indonesia Unprepared  as Great Power Clash in Indo Pacific memaparkan dalam kasus persaingan antara dua kekuatan besar AS dan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia diyakini tidak akan memihak ke satu atau yang lain.

Lebih lanjut, Evan menjelaskan bahwa salah satu alasannya adalah ketidakpercayaan yang mendalam. Indonesia tidak percaya satu kekuatan besar secara inheren lebih unggul, baik secara ekonomi, militer, maupun moral.

Selain itu, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai mempunyai kekhawatiran jika terlibat ke dalam salah satu blok politik kekuatan besar dapat merusak agenda pembangunan domestiknya.

Seperti yang diketahui, pemerintah Indonesia akhir-akhir ini selalu berupaya untuk melibatkan kekuatan-kekuatan besar seperti AS dan Tiongkok secara merata melalui kerja sama di berbagai sektor sambil berhati-hati untuk tidak membiarkan yang satu menjadi terlalu dekat dengan mengorbankan yang lain.

Pada dasarnya, posisi tidak memihak ke dalam dua blok kekuatan besar adalah kebijakan yang berakar pada strategi “bebas aktif” Indonesia yang telah dirumuskan sejak tahun 1940-an dan diamanatkan dalam konstitusinya.

Namun, apakah kebijakan ini masih relevan saat ini?

Harus memihak

Besarnya potensi konflik di kawasan Indo-Pasifik tidak menutup kemungkinan akan adanya bentrokan yang dapat memaksa negara-negara untuk memihak. Pemerintah dinilai tidak bisa terus menerus “mendayung” di antara dua kekuatan besar di kawasan Indo-Pasifik.

Dengan strategi diplomasi Indonesia yang pasif dan cenderung menjadi penyeimbang di antara dua kekuatan besar di Indo-Pasifik justru dinilai akan menimbulkan kerentanan bagi Indonesia.

Baca Juga: Tiongkok dan Strategi “Lempar Tangan” Jokowi

Sebagai negara yang mempunyai wilayah yang strategis secara geopolitik di kawasan Indo-Pasifik sikap netral yang ditunjukan Indonesia ini justru sangat rentan untuk diserang oleh dua kubu, karena Indonesia sebagai negara penyeimbang tidak mempunyai kekuatan yang mumpuni secara militer.

Belajar dari Swiss, negara yang secara konsisten bersikap netral sejak perjanjian Paris 1815, suatu negara harus mempunyai strategi kebijakan pertahanan dan militer yang kuat jika ingin berhasil menjalankan posisi sebagai penyeimbang.

Secara realistis untuk saat ini Indonesia jelas belum mencapai level tersebut. Itulah kenapa Indonesia dirasa harus mengambil posisi yang tegas dalam konflik ini.

Baca juga :  Tsunami PHK Incoming?

Lagi pula, secara teoritis tidak ada kewajiban bahwa pihak ketiga harus netral atau bebas kepentingan dalam berbagai aspek. Bahkan, pihak ketiga dimungkinkan untuk melakukan pemberdayaan terhadap salah satu pihak ketika terjadi defisiensi kekuatan.

Indonesia dapat menjalankan peran seperti apa yang disebut Bleddyn Bowen sebagai deterrence strategy, yaitu upaya persuasi untuk mencegah pihak musuh melakukan suatu tindakan tertentu yang dapat merugikan negara.

Dalam persaingan di kawasan Indo-Pasifik, berpihak kepada negara yang dinilai mempunyai kemampuan militer terkuat bisa dianggap sebagai sebagai salah satu bentuk deterrence strategy sekaligus langkah yang bijak untuk meminimalisir segala risiko terburuk yang terjadi.

Bebas Aktif, Penghambat?

Dengan meningkatnya keterlibatan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia diyakini tidak bisa terus menerus mendayung di antara dua kekuatan besar tersebut.

Mantan Menteri Pertahanan Australia Christoper Pyne memaparkan bahwa kemungkinan terjadinya “perang militer” di kawasan Indo-Pasifik saat ini lebih besar dibandingkan beberapa tahun terakhir dan Tiongkok dianggap sebagai aktor utama, serta ancaman militer bagi negara di kawasan.

Dalam laporan yang berjudul Regional Responses to U.S.-China Competition in the Indo-Pacific, lembaga think tank ternama AS Rand Corporation menyebut Tiongkok merupakan satu-satunya ancaman militer jangka pendek yang realistis bagi Indonesia, dengan potensi khusus untuk konfrontasi militer atas Kepulauan Natuna di dekat Laut Tiongkok Selatan (LTS).

Lebih lanjut, temuan ini menilai bahwa ketidakseimbangan kemampuan militer, pengaruh ekonomi Tiongkok yang sangat besar, serta strategi diplomasi yang abu-abu dinilai akan menambah kerentanan Indonesia atas meningkatnya keterlibatan Beijing di kawasan.

Pengamat Hubungan Internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nanto Sriyanto memaparkan bahwa dalam kondisi ini, Indonesia sangat membutuhkan peran AS sebagai pengontrol dan penyeimbang kekuatan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.

Temuan dari Rand Corporation memaparkan bahwa sebenarnya dalam kasus ini baik AS dan Indonesia memiliki keprihatinan yang sama tentang ambisi Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.

Baca Juga: Saatnya Jokowi Tinggalkan Bebas-Aktif?

Atas dasar hal tersebut kedua negara pun belakangan ini sepakat meningkatkan kemitraan strategis, namun lembaga think tank ini meyakini dalam praktiknya kemitraan ini akan menemui satu halangan besar yaitu kaku nya Indonesia dalam memaknai kebijakan prinsip bebas aktif negaranya.

Dual Policy Diplomacy

Beberapa saat terakhir, banyak perdebatan yang terjadi terkait prinsip “bebas aktif” yang dipegang oleh Indonesia dalam kerangka politik luar negerinya.

Direktur Eksekutif Center For Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte memaparkan politik luar negeri bebas aktif bagi Indonesia di masa sekarang ini patut dipertanyakan relevansinya.

Menurutnya prinsip bebas aktif sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Lebih lanjut Ia mencontohkan bahwa selama ini telah terjadi kesalahan persepsi tentang prinsip tersebut.

Baca juga :  Honey Trapping: Kala Rayuan Jadi Spionase

Banyak pihak selama ini termasuk para pemangku kebijakan mengartikan prinsip bebas aktif ini secara kaku dan mengharuskan implementasinya untuk bersikap non-blok pada berbagai bidang.

Padahal berdasarkan sejarah awal perumusan prinsip ini, Bung Hatta pada saat itu mengarahkan prinsip bebas aktif ke politik luar negeri yang pragmatis, bukan yang harus non-blok.

Akibatnya, selama ini prinsip bebas aktif dinilai membatasi tujuan Indonesia akan berkiblat ke mana dalam menentukan politik luar negeri, seperti yang terjadi dalam situasi Indo-Pasifik saat ini.

Dari beberapa pemaparan di atas, saat ini dinilai sudah saatnya Indonesia memiliki dual policy diplomacy atau model geopolitik dua arah.

Implementasinya adalah dalam bidang ekonomi dan perdagangan kita bisa tetap menerapkan prinsip bebas aktif dengan semua negara secara pragmatis untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Sementara dalam bidang politik, militer, dan keamanan kita harus berkiblat kepada blok terkuat di bidang tersebut dalam hal ini misalnya Amerika Serikat.

Kebijakan dual policy ini dinilai telah berhasil diterapkan oleh beberapa negara seperti India dan Singapura.

Kedua negara tersebut diketahui menerapkan prinsip bebas aktif dalam hal perdagangan dengan semua negara untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya, sementara dalam hal politik dan keamanan mereka berpihak pada salah satu blok terkuat.

Kembali ke dalam konteks ini, dengan prediksi meningkatnya ketegangan antar dua kekuatan di kawasan Indo-Pasifik dan mempertimbangkan kondisi politik dalam negeri, Indonesia harus mengambil posisi yang tegas. Kita tidak bisa terus menerus mengayun pada dua kekuatan besar tersebut.

Belajar dari Swiss yang secara utuh menjalankan fungsi non-blok, Indonesia diyakini belum memiliki perencanaan kebijakan militer dan alutsista yang cukup sebagai syarat utama untuk menjadi negara penyeimbang.

Baca Juga: LTS, Jokowi Pilih AS Ketimbang Tiongkok?

Dari segi ekonomi juga kita tidak bisa terlalu pasif. Mengutip lembaga pemeringkat internasional Fitch Rating, diprediksi bahwa ekonomi Indonesia akan terus memburuk.

Sikap pemerintah akhir-akhir ini yang terlihat menggunakan berbagai cara untuk menggenjot penerimaan kas negara, seperti mengenakan pajak pada berbagai kebutuhan pokok hingga gencarnya memburu dan menyita berbagai aset dari para obligor BLBI semakin melegitimasi hal ini.

Oleh karena itu kita tidak bisa tetap berpegang pada taktik lama yang pasif dan menunggu apa yang mungkin ditawarkan oleh negara-negara besar.

Well, pada akhirnya dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa semestinya prinsip bebas aktif tidak mengharuskan Indonesia untuk selalu bersikap non-blok pada berbagai bidang.

Dalam beberapa bidang seperti di bidang militer, pertahanan, dan keamanan, kita diyakini harus meningkatkan hubungan dan berpihak dengan negara yang mempunyai kemampuan terbaik di bidang tersebut. (A72)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Return of the Wolf Warrior?

Retorika internasional Tiongkok belakangan mulai menunjukkan perubahan. Kira-kira apa esensi strategis di baliknya? 

Prabowo’s Revolusi Hijau 2.0?

Presiden Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan memimpin revolusi hijau kedua di peluncuran Gerina. Mengapa ini punya makna strategis?

Cak Imin-Zulhas “Gabut Berhadiah”?

Memiliki similaritas sebagai ketua umum partai politik dan menteri koordinator, namun dengan jalan takdir berbeda, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas) agaknya menampilkan motivasi baru dalam dinamika politik Indonesia. Walau kiprah dan jabatan mereka dinilai “gabut”, manuver keduanya dinilai akan sangat memengaruhi pasang-surut pemerintahan saat ini, menuju kontestasi elektoral berikutnya.

Indonesia Thugocracy: Republik Para Preman?

Pembangunan pabrik BYD di Subang disebut-sebut terkendala akibat premanisme. Sementara LG “kabur” dari investasinya di Indonesia karena masalah “lingkungan investasi”.

Honey Trapping: Kala Rayuan Jadi Spionase

Sejumlah aplikasi kencan tercatat kerap digunakan untuk kepentingan intelijen. Bagaimana sejarah relasi antara spionase dan hubungan romantis itu sendiri?

Menguak CPNS “Gigi Mundur” Berjemaah

Fenomena undur diri ribuan CPNS karena berbagai alasan menyingkap beberapa intepretasi yang kiranya menjadi catatan krusial bagi pemerintah serta bagi para calon ASN itu sendiri. Mengapa demikian?

It is Gibran Time?

Gibran muncul lewat sebuah video monolog – atau bahasa kekiniannya eksplainer – membahas isu penting yang tengah dihadapi Indonesia: bonus demografi. Isu ini memang penting, namun yang mencuri perhatian publik adalah kemunculan Gibran sendiri yang membawakan narasi yang cukup besar seperti bonus demografi.

Anies-Gibran Perpetual Debate?

Respons dan pengingat kritis Anies Baswedan terhadap konten “bonus demografi” Gibran Rakabuming Raka seolah menguak kembali bahwa terdapat gap di antara mereka dan bagaimana audiens serta pengikut mereka bereaksi satu sama lain. Lalu, akankah gap tersebut terpelihara dan turut membentuk dinamika sosial-politik tanah air ke depan?

More Stories

Mengapa Megawati “Kultuskan” Soekarno?

Megawati Soekarnoputri mengusulkan agar pembangunan patung Soekarno di seluruh daerah. Lantas, apa tujuan dan kepentingan politik yang ingin diperoleh Megawati dari wacana tersebut?  PinterPolitik.com Megawati Soekarnoputri...

Mungkinkah Jokowi Tersandera Ahok?

Nama Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok kembali menjadi perbincangan publik setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku mantan wakilnya di DKI Jakarta itu punya...

PKS Mulai “Gertak” Anies?

Majelis Syuro PKS telah memutuskan untuk menyiapkan Salim Segaf Al-Jufri sebagai kandidat yang dimajukan partai dalam kontestasi Pilpres 2024. Apa strategi PKS di balik...