HomeNalar PolitikSaatnya Dudung Tangani OPM?

Saatnya Dudung Tangani OPM?

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Dudung Abdurachman kerap disorot media lantaran pernyataan-pernyataannya yang tuai pro dan kontra. Apakah sudah saatnya bagi Dudung untuk kembali pada tugas dan fungsinya sebagai KSAD? 


PinterPolitik.com 

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Dudung Abdurachman akhir-akhir ini kerap mendapat sorotan publik. Mulai dari hal yang sifatnya menghibur dan jenaka, seperti ketika dirinya merilis klip video musik “Ayo Ngopi”, sampai pelontaran pernyataan yang memancing berbagai respons pro dan kontra dari publik, misalnya saat Dudung mengatakan akan melibatkan pihak TNI untuk turut mendeteksi ancaman radikalisme. 

Terkait ini, sebagai salah satu respons, pengamat militer dari Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabbas menilai bahwa pelibatan TNI AD dalam urusan radikalisme hendaknya perlu terlebih dahulu ditahan, karena sampai saat ini belum ada payung hukum yang dapat melindunginya. Oleh karena itu, Dudung sebaiknya menunggu ada penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pelibatan TNI, sebelum bertindak lebih lanjut. 

Tidak hanya soal radikalisme, Dudung yang kerap berkomentar soal agama juga sering mendapat cibiran dari sejumlah pengamat. Pada 2021 lalu, dalam sebuah kuliah Subuh di wilayah Cenderawasih, Papua, Dudung mengatakan bahwa belajar agama itu tidak perlu terlalu dalam.  

Tidak lama setelah dikritik, pihak Dudung mengklarifikasi pernyataan tersebut, dengan dalih yang dimaksudnya jangan belajar terlalu dalam adalah jika tanpa seorang mentor yang mendampingi, seperti ustad. 

Ibarat tetesan hujan yang datang silih berganti, kali ini Dudung kembali dihadapkan permasalahan lain, yaitu pelaporan dari Koalisi Ulama, Habaib, dan Pengacara Anti Penodaan Agama (KUHAP APA), terkait pernyataan Dudung ketika mengisi acara bincang-bincangdi kanal YouTube Deddy Corbuzier, yakni “Tuhan bukan orang Arab”. Pernyataan ini lalu dianggap telah menyinggung agama tertentu. 

Sampai saat ini, pelaporan tersebut tengah diproses oleh Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Puspomad). Dudung sendiri sudah memberikan respons. Ia mengaku heran pernyataan tersebut dipersoalkan oleh kelompok masyarakat tertentu. Lebih lanjutnya, Ia meminta pada Puspomad untuk memfoto satu-satu pelapornya dan mengecek siapa saja sebenarnya yang terlibat dalam koalisi itu. 

Dari sejumlah polemik ini, rasanya patut untuk kita bertanya, apakah ada yang salah dalam perilaku-perilaku Dudung? Ataukah ini semua hanya gejolak politik biasa? 

Baca juga: Atasi Radikalisme, Dudung Perlu Diapresiasi?

Hati-Hati Masuk Ranah Sipil? 

Terkait pelaporan kasus “Tuhan bukan orang Arab”, ada pendapat yang mengatakan saat ini terlihat ada pihak-pihak tertentu yang sedang ingin menjatuhkan Dudung. Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Guntur Romli, contohnya, yang mengatakan ada upaya untuk “meng-Ahok-kan” Dudung. Pernyataan Dudung yang sebenarnya mudah dipahami, dipelintir dengan penuh kebencian untuk membuat fitnah. 

Akan tetapi, kalaupun memang ada upaya untuk menjatuhkan Dudung, tampaknya oknum tersebut tidak perlu berbuat banyak karena kalau kita perhatikan, dari awal Dudung kerap mengeluarkan pernyataan dan gestur  yang mengundang kritik. 

Baca juga :  Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Oleh karena itu, letak permasalahannya dalam konteks ini bukanlah dari narasi pelaporan, tetapi mengapa Dudung sebagai KSAD tampak semakin sering berkomentar dalam hal-hal yang sesungguhnya tidak sesuai dengan posisinya sebagai pejabat militer? 

Ada sebuah komentar menarik dari salah satu Juru Bicara Partai Amanat Nasional (PAN), Dimas Prakoso Akbar. Dia menyarankan Dudung yang tercatat sering melontarkan pernyataan soal agama perlu lebih berhati-hati, karena alih-alih mengena pada sasaran, pernyataan Dudung seringnya malah membuat kontroversi dan hanya menambah riuh perbincangan tanpa substansi.  

Hal ini menurut Dimas telah membuat Dudung sebagai seorang tokoh yang akrab dengan kontroversi, ketimbang tugasnya sebagai pimpinan TNI AD. Pertanyaan-pernyataan Dudung juga dinilai Dimas kurang memperlihatkan relevansi dengan tugas-tugas sebagai seorang KSAD. 

Lebih lanjutnya, Dimas juga menghimbau bahwa, biarkanlah dialektika dan dinamika sosial tetap berada di ranah sipil, karena tugas militer cukup menjaga dan mengawasi kondusivitas. Tidak perlu terlalu jauh ikutan berdinamika kata-kata di ruang publik. 

Ini kemudian berkaitan juga dengan narasi anti-radikalisme yang sering disuarakan oleh Dudung. Meskipun belum ada pihak yang memprotes dan melaporkan, tetapi sesungguhnya tersimpan potensi untuk menjadi masalah besar di kemudian hari. 

Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menjelaskan bahwa tugas seorang Kepala Staf Angkatan sesungguhnya adalah memimpin dalam pembinaan kekuatan dan kesiapan operasional AD. Lalu, membantu Panglima TNI dalam menyusun kebijakan tentang pengembangan postur, doktrin, strategi, serta operasi militer sesuai dengan matra masing-masing.  

Oleh karena itu, terkait tugas dan fungsinya tadi, Dudung harus diingatkan untuk berhati-hati dalam mengkapitalisasi persoalan radikalisme. UU No. 5 Tahun 2018 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai payung hukum terkait terorisme memang berulang kali menyebut dan menggunakan diksi “radikalisasi”. Namun, UU tersebut sama sekali tidak menemukan definisi dari radikalisme.  

Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pun sebenarnya tak punya legitimasi untuk menentukan apa yang disebut gerakan radikal maupun ekstrem dan siapa saja yang harus diwaspadai. Apalagi TNI, dalam hal ini TNI AD. Fahmi menghimbau, jangan sampai muncul pemeo bahwa KSAD telah melakukan banyak hal, kecuali tugas pokoknya.  

Hal-hal seperti inilah yang sempat diperingatkan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Di dalamnya, Huntington menjelaskan bahwa di sebuah negara demokrasi modern, perlu dianut sebuah konsep yang disebutnya sebagai supremasi sipil. Konsep ini artinya fungsi-fungsi militer haruslah disesuaikan berdasarkan nilai-nilai yang menjunjung tinggi kepentingan masyarakat negaranya, salah satu caranya adalah dengan mengurangi akses militer ke ranah sipil. 

Baca juga :  The War of Java: Rambo vs Sambo?

Jika militer bisa dengan mudah keluar masuk ranah sipil tanpa mendapat konsekuensi yang serius, maka itu artinya ada ketidakseimbangan dalam pengukuhan supremasi sipil. Huntington menilai hal ini terjadi lebih diakibatkan oleh struktur institusional dan kondisi politik, ketimbang dinamika internal dan karakter sosial institusi militer. Tidak adanya batasan yang jelas memungkinkan militer dapat menjalankan fungsi dan peran di luar kewenangan yang berlaku, khususnya dalam bidang sipil. 

Karena itu, penting bagi Dudung untuk menyesuaikan aktivitas publiknya agar tidak menyeleweng dari tugas dan fungsinya sebagi seorang militer, dan sebagai KSAD. Karena, ini bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk demokrasi itu sendiri. 

Lantas, bagaimana seharusnya Dudung bertindak di publik? 

Baca juga: BNPT Salah Memahami Terorisme?

Kembali ke Tupoksi 

Richard Kohn dalam tulisannya An Essay of Civillian Control of the Military, menegaskan bahwa tujuan militer adalah untuk membela masyarakat, bukan untuk mendefinisikan bagaimana suatu masyarakat seharusnya terbentuk. Suatu negara bisa saja memiliki kendali sipil atas militer tanpa perlu berdemokrasi, tetapi tidak ada negara yang dapat memiliki demokrasi tanpa kendali sipil atas militer. 

Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa tanggung jawab besar yang harus dilakukan militer sesungguhnya hanya satu, yaitu membuat masyarakat merasa aman. Dan tugas besar ini bahkan bisa dikembangkan sebagai peluang bagi seseorang di militer untuk menciptakan citra politik yang bagus di publik. 

Seorang pejabat militer tidak perlu berkampanye seperti politisi demi membangun citra, mereka hanya perlu menunjukkan bahwa dirinya bisa menjadi jawaban atas ketakutan rakyat yang memang memiliki bentuk nyata. 

Salah satu contohnya bisa diambil dari saran Direktur Eksekutif Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, yang mengatakan bahwa seharusnya Dudung fokus pada pencegahan kekerasan separatisme Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang saat ini mengancam Papua.  

Dan kalaupun memang Dudung ingin lebih tampil di publik, ia bisa juga mencontoh bagaimana Panglima TNI Andika Perkasa membangun pesonanya di media. Melalui pemberitaan seperti mempercantik markas AD semasa ia menjadi KSAD, lalu tampil menghibur dengan mengenakan kaos-kaos pahlawan super, Andika bisa mendapat perhatian publik tanpa perlu membawa dirinya keluar dari tugas dan fungsi seorang KSAD. 

Well, sebagai penutup, kita pun perlu apresiasi perhatian Dudung pada ancaman terorisme, kemudian juga niatnya untuk tampil sebagai sosok yang religius. Tetapi, perlu diingat bahwa dia saat ini menjabat sebagai KSAD, oleh karena itu, banyak hal-hal yang perlu diwaspadai sebelum tampil secara terbuka ke publik. (D74) 

Baca juga: Dudung Butuh RK untuk Pilpres 2024?

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?