Site icon PinterPolitik.com

Saatnya ‘Banteng-kan’ Anies?

saatnya banteng kan anies

Anies Baswedan (tengah) pernah mengajak keluarganya bertemu dengan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri (kanan) pada suasana Hari Raya Idulfitri pada tahun 2016 silam. (Foto: Istimewa)

Dengarkan artikel ini:

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/08/anies-banteng-final.mp3
Audio ini dibuat menggunakan AI.

Partai-partai politik yang sebelumnya akan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, seperti NasDem, memutuskan untuk bergabung Koalisi Indonesia Maju (KIM). Mengapa kini tiba saatnya ‘mem-banteng-kan’ Anies?


PinterPolitik.com

“In burning red. Burning, it was red” – Taylor Swift, “Red (Taylor’s Version)” (2021)

Kutipan di atas merupakan salah satu potongan lirik dari lagu Taylor Swift berjudul “Red” yang ditulisnya pada tahun 2011 silam. Nama lagu ini juga menjadi judul albumnya kala itu, yakni Red yang artinya merah.

Warna merah memang melambangkan banyak hal. Bagi Taylor, warna merah melambangkan kekuatan. 

Namun, tidak hanya itu, Taylor juga melihat warna merah sebagai gairah (passion) yang menggebu-gebu, sama seperti ketika mencintai seseorang dengan begitu dalam.

Warna merah memang unik. Bahkan, dalam dunia politik, warna merah juga memiliki banyak arti dan makna.

Saat Perang Dingin pada separuh akhir abad ke-20, misalnya, warna merah identik dengan kelompok ideologi tertentu. Sejumlah negara, seperti Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), memilih warna ini sebagai warna dominan bendera mereka.

Dalam politik domestik, warna merah juga digunakan dalam diskursus dan simbol. Sejumlah partai politik juga menggunakan warna ini sebagai identitas mereka.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI), misalnya, menggunakan warna merah sebagai lambang mereka. Dengan mendampingi ikon tangan dan bunga mawar, warna merah mendukung lambangnya sebagai background.

Namun, bila bicara soal partai merah, hanya satu partai yang paling pertama muncul di benak masyarakat. Partai tersebut adalah PDIP yang dipimpin oleh Ketua Umum (Ketum) Megawati Soekarnoputri.

Saking familiarnya warna merah dengan partai ini, muncul wacana untuk “memerahkan” salah satu figur politik yang tidak terlibat partai manapun, yakni mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Wacana ini muncul di tengah semakin kecilnya potensi Anies untuk maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024 usai PKS dan NasDem akan dan sudah merapat ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang dipimpin oleh lawan Anies pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 kemarin, yakni Prabowo Subianto.

Mengapa menjadi merah menjadi opsi bagi Anies ke depannya? Mungkinkah Anies sudah tidak punya pilihan lain?

Mau Anies Gabung PDIP?

Sejak Juli 2024 lalu, Anies memiliki potensi besar untuk bisa memenangkan Pilkada Jakarta 2024. Kala itu, Anies mengantongi dukungan dari PKS, partai dengan jumlah kursi terbanyak di DPRD Jakarta, yakni 18 kursi.

Selain PKS, sejumlah partai juga sempat mengutarakan ketertarikannya untuk mengusung Anies, yakni NasDem (11 kursi) dan PKB (10 kursi). Dari sinipun, sudah jelas jalan Anies sangatlah terang benderang untuk melaju ke Pilkada.

Namun, meski memiliki elektabilitas tertinggi, Anies terancam untuk gagal maju. Pasalnya, NasDem sendiri sudah menyatakan batal mendukung Anies dan memilih untuk bergabung dengan KIM.

Tidak hanya NasDem, PKS disebut juga akan menyusul ke KIM. Drama saling balas melalui voice messages-pun sempat terjadi antara Anies dan PKS.

Perubahan tiba-tiba ini semakin membuat Anies memiliki kemungkinan kecil untuk maju di Pilkada Jakarta. Ini juga akhirnya membuka peluang bagi Anies untuk diusung oleh PDIP, partai yang selama ini menjadi oposisinya selama masih menjabat sebagai DKI-1.

Dinamika ini sebenarnya bisa diamati dengan teori permainan (game theory) yang umum digunakan dalam studi Hubungan Internasional (HI). Dalam politik, teori ini juga bisa digunakan untuk menjelaskan interaksi antar-aktor politik.

Mengacu ke tulisan “Game Theory in Politics” dari  Tshilidzi Marwala, teori permainan menjelaskan bahwa setiap pemain saling bersaing untuk mendapatkan poin. Ketika pihak lawan merugi, pihak pemain satunya bisa dibilang mendapatkan untung.

Namun, itu adalah model permainan zero-sum karena poin masing-masing pemain saling menegasikan satu sama lain sehingga akan menghasilkan nol bila dijumlahkan. Hal ini bisa menjadi berbeda bila ini adalah permainan non-zero-sum.

Bila Anies bergabung dengan PDIP, belum tentu Anies akan mendapatkan keuntungan maksimum. Pasalnya, pendukung Anies dan loyalis PDIP bukanlah dua kelompok yang bisa senantiasa sejalan.

Bukan tidak mungkin, baik Anies maupun PDIP akan kehilangan masing-masing pemilih mereka. Lagipula, bergabung dengan PDIP sendiri tidak menjamin Anies bisa lolos untuk maju sebagai cagub Jakarta karena PDIP juga hanya memiliki 15 kursi di DPRD Jakarta.

Bila begini, bukan tidak mungkin, inipun hanya menjadi gambit lain bagi Anies. Lantas, masihkah ada opsi lain bagi Anies selain PKS (dan juga PDIP)?

Anies Menuju Menteri?

Bisa dibilang, bila Anies benar-benar gagal maju di Pilkada, bukan tidak mungkin masa depan karier Anies akan semakin meredup. Bagaimanapun, Anies membutuhkan “tempat” agar bisa tetap bersinar hingga Pilpres 2029 tiba.

Lantas, “tempat” manakah yang akan dituju Anies selanjutnya? Ini menjadi pertanyaan menarik karena opsi yang tersisa membuat Anies bergantung pada aktor politik lain.

Bila bergabung dengan PDIP, misalnya, Anies bukan tidak mungkin tidak bisa sebebas sebelumnya dengan pengaruh Megawati yang begitu luas dan mengakar. Jika begitu, pilihan lain apa selain PDIP?

Menariknya, PKS disebut pernah menawari Anies untuk bergabung sebagai kader. Jelas, PKS akan diuntungkan bila ini terjadi. Pasalnya, partai ini juga tidak memiliki kader yang begitu berpengaruh dan populer untuk diusung di berbagai pemilihan.

Namun, ini juga bisa menjadi solusi yang menguntungkan juga bagi Anies. Kegagalan Anies untuk bisa maju di Pilkada kali ini lebih banyak disebabkan oleh negosiasi politik.

Partai politik memiliki kursi di DPRD yang bisa ditawarkan untuk berunding dalam dinamika koalisi. Belum lagi, partai penguasa juga memiliki daya tawar yang tinggi, misal posisi di pemerintahan. 

Sementara, Anies sebagai individu tidak memiliki daya tawar yang besar. Hal yang bisa ditawarkan Anies hanyalah elektabilitas, yang mana tidak memberikan jaminan seratus persen karena harus melalui kontestasi pemilihan lagi.

Lantas, apa pilihan terakhir bagi Anies? Katakanlah jika PKS bergabung ke KIM dan Anies menjadi kader PKS, bukan tidak mungkin mantan Gubernur DKI Jakarta bisa menjadi menteri di kabinet Prabowo.

Mengacu ke tulisan Kimberly Casey berjudul Defining Political Capital, partai politik ini bisa menjadi modal politik. Bisa saja, Anies menggunakan status kadernya untuk bernegosiasi dengan KIM ke depannya.

Pada akhirnya, pilihan ini hanya bisa diambil oleh Anies. Merah atau oranye, entah warna apa yang akan dipilih Anies, semua perlu pertimbangan. Bukan begitu? (A43)


Exit mobile version