Pesta Demokrasi untuk memilih Kepala Daerah yang diselenggarakan secara serentak di beberapa wilayah di Indonesia pada 15 Februari 2017 tidak berjalan dengan lancar. Bahkan, banyak protes dari masyarakat yang tidak mempunyai hak pilih.
pinterpolitik.com
Banyak yang ditolak TPS karena tidak bisa menunjukkan formulir C6. Ketika masyarakat bersikeras utuk memilih, petugas KPU meminta mereka untuk menunggu sampai jam 12 siang, setelah semua warga yang namanya tercantum dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Seperti di anak tirikan, setelah menunggu sampai jam 12 pun mereka tetap tidak bisa mencoblos dengan alasan surat suara sudah habis.
Hal ini ironis ditengah upaya keras Pemerintah meningkatkan semangat masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Warga yang secara antusias datang ke TPS dari pagi untuk memberikan suara harus kecewa karena tidak bisa mencobloskarena petugas mengatakan mereka tidak terdaftar dalam DPT sehingga mereka harus menunggu sampai jam 12. Antuisiasme tinggi juga tercemin di turnout rate PilGub DKI Jakarta yang berada di 77% (5,494,832 juta suara), sementara di tahun 2012, turnout rate PilGub DKI Jakarta antara Paslon Jokowi-Ahok dan Bowo-Ramli 66% (4,592,945 juta suara). Padahal secara jelas Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak masyarakat untuk memilih.
Warga Tidak Bisa Mencoblos
Namun selain problema tidak terdaftar di DPT, banyak isu yang lain di beberapa TPS di daerah Jakarta. Seperti pada TPS yang berada di daerah Cengkareng,sekitar seratus orang tidak dapat menggunakan hak pilih dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Hal serupa juga terjadi di TPS Rusun Marunda, TPS 093 Taman Semanan, TPS 97 Kampung Gusti Teluk Gong dan beberapa TPS di daerah Grogol dan Kembangan Jakarta Barat.Mereka yang tidak bisa memilih adalah warga yang memiliki KTP DKI Jakarta tetapi tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Karena mereka tidak terdaftar dalam DPT, mereka harus menunggu sampai jam 12. Tetapi lantaran surat suara di TPS habis, mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Hal ini dibenarkan oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Koemolo. Beliau mengatakan pada hari pencoblosan ada 56 ribu warga DKI yang belum terdaftar dalam DPT Pilkada. Mereka tidak mendaftar dan tidak merekam ulang E-KTP dan ikut datang ke TPS. Mereka juga baru dating ke TPS pada pukul 12.30 WIB, tidak lama sebelum TPS ditutup. Padahal surat suara hanya dilebihkan 2,5 persen dari DPT di seluruh TPS. Dan karena waktu sudah mepet, mereka tidak sempat lagi lari ke TPS terdekat. Pun kalau sempat, surat suara juga sudah habis di TPS tersebut.
Menurut pengakuan beberapa warga, mereka sudah mengecek bahwa mereka terdaftar dalam DPT tetapi tidak mendapatkan surat undangan untuk memilih. Seperti Abdul Qowi Bastian. Ia tidak bisa menggunakan hak suaranya di TPS 08 Kebon Kosong, Kecamatan Kemayoran, Jakarta-Pusat. Ia mengtakan datang pukul 8 pagi ke TPS namun ditolak oleh petugas karena tidak membawa surat undangan. Padahal, dia sudah mengecek sejak jauh hari bahwa namanya tercantum dalam DPT melalui situs KPU.Sekalipun demikian, petugas tidak menerima alasan tersebut dan menjadikan alasan ketiadaan surat undangan untuk menolak untuk memberikan surat suara. Padahal ada warga yang tidak mempunyai surat undanga tetapi terdaftar pada DPT.
Entah kebetulan atau tidak, TPS yang kehabisan suara banyak terjadi di TPS-TPS di daerah Jakarta Barat dan Utara. Menurut data hitung suara riil (real count) berdasarkan formulir C1 untuk Pilgub DKI Jakarta yang telah rampung dilakukan oleh KPU, wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat adalah daerah-daerah yang memenangkan pasangan Ahok-Djarot. Dengan persentase, di Jakarta Barat Ahok-Djarot memperoleh suara 48,6 persen dan 48,4 persen di Jakarta Utara. Disinyalir, warga yang mayorits adalah etnis Tionghoa dipersulit untuk menggunakan hak suaranya.
Tanggapan KPU
KPU DKI Jakarta mengklaim prosedur pengadaan surat suara sudah sesuai aturan yang ada, yaitu disesuaikan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jika ada warga DKI yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena surat suara habis, maka warga itu disarankan menggunakan hak pilih ke TPS terdekat yang masih memiliki surat suara. KPU DKI sudh bekerja maksimal turun ke rumah-rumah warga mendata warga yang punya hak pilih, hingga 6 Desember 2016 lalu.
Dalam pemungutan suara yang diprioritaskan adalah warga yang terdaftar. Setelah pemilih yang terdaftar menggunakan hak pilihnya sampai jam 12, baru setelah itu pemilih tambahan dipersilakan menggunakan hak suaranya selama ada sisa surat suara. KPU DKI Jakarta meminta warga yang memiliki KTP DKI memastikan namanya terdaftar dalam DPT, supaya tidak perlu menunggu jam 12 saat hari pencoblosan. Imbauan ini juga ditujukan untuk warga DKI yang akan menggunakan hak suara di Pilkada DKI putaran dua. Penggunaan hak pilih dengan KTP bersifat darurat.
Komisioner KPU menambahkan kasus seperti ini terjadi pada pemilih dengan kategori pemilih tambahan. Jumlah pemilih tambahan lebih banyak dibandingkan surat suara tambahan yang hanya tersedia 2,5% dari pemegang hak suara yang terdaftar dalam DPT. Ada sekitar 100 surat suara cadangan di Panitia Pemungutan Suara, tetapi jarak TPS dengan kelurahan yang jauh dan petugas yang sibuk menyelenggarakan pemilihan suara menyebabkan kesulitan berkordinasi untuk mengambil surat suara di kelurahan. Selain itu, menurut KPU bahwa jumlah warga yang mempunyai hak pilih jauh di luar prediksi KPU karena KPU hanya menyiapkan surat suara sesuai dengan DPT dan hanya melebihkan 2,5 persen surat suara di semua TPS.
Lebih lanjut, KPU mengatakan bahwa ketidaksesuaian data pada DPT dengan realitas jumlah pemegang hak suara disebabkan oleh kesulitan KPU untuk mendata warga yang tinggal di rumah susun atau apartemen. Sementara, dari hasil peninjauan lapangan yang dilakukan oleh Komisi II DPR RI, Bawaslu dan Kemendagri serta lembaga lainnya, menemukan banyaknya prasarana TPS yang kurang memadai seperti warga-warag yang tidak dapat surat undangan tetapi terdaftar dalam DPT. Ternyata, memang ada warga yang terdaftar dalam DPT tetapi tidak mendapatkan surat undangan untuk memilih.
Merujuk pada pertimbangan putusan judicial review undang-undang pemilu, alasan ini tidak dapat dibenarkan karena hak warga untuk memilih tidak boleh dilanggar dengan alasan apapun. KPU sebagai lembaga negara yang diberikan kewenangan dan kuasa untuk mengadakan pemilihan umum seharusnya memastikan
Pada prinsipnya, Hak Konstitusional tidak boleh dihambat oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif.Dengan perlindungan hak untuk memilih oleh konstitusi beserta putusan MK yang menguatkan, alasan KPU tidak dapat dibenarkan. KPU sebagai lembaga negara yang diberi kewenangan untuk menyelenggarakan Pilkada, seharusnya KPU berupaya secara maksimal memastikan tidak ada potensi kendala pada saat pelaksanaan Pilkada agar rakyat bisa menggunakan hak pilihnya. Lagipula, sebagai lembaga negara, KPU bisa bekerjasama dengan Badan Kependudukan untuk menyamakan data. Mereka pasti mempunyai data identitas warga Jakarta.
Tindak Lanjut KPU
Dari evaluasi awal, KPU menemukan ada pemahaman yang tidak tepat dari petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) terkait dengan pengaturan pemilih yang bisa menggunakan hak pilihnya dalam waktu satu jam sebelum tempat pemungutan suara tutup. KPPS berpikir bahwa warga yang tidak membawa formulir C6 tidak terdaftar dalam DPT dan hanya bisa menggunakan hak pilihnya pada 1 jam terakhir sebelum TPS tutup. Padahal, belum tentu orang itu tidak terdaftar. Formur C6 hanyalah surat pembeirtahuan datang ke TPS bukan untuksyarat memilih. Dasar memilih yang paling utama ialah terdaftar dlam DPT. Untuk megecek terdaftar atau tidaknya warga bisa dengan mencocokkan KTP elektroniknya.
KPU sudah mencatat keluhan-keluhan masyarakat terkait surat suara yang habis sebagai bahan evaluasi. Terutama untuk petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) KPU yang menyiapkan blangko DPT-b. Kami memberi masukan kepada KPU DKI, warga yang di DPT-b bisa dimasukkan ke dalam DPT yang sudah dimutakhirkan saat putaran ke-2 sehingga kertas suara dapat bertambah dan disiapkan sejak awal.
Perlu Diketahui- Hak Suara Dijamin oleh Konstitusi
KPU memang wajib untuk menyelesaikan masalah ini dan memastikan bahwa hal serupa tidak lagi terulang. Dalam teori pembentukan negara dikenal teori Kontrak Masyarakat. Teori dari filsafat Perancis Jean-Jacques Rousseau ini mengatakan bahwa manusia berkumpul membut kelompok lalu mengadakan kontrak di antara mereka untuk mendirikan suatu negara. Mereka memilih perwakilan di antara mereka untuk diberi kewenangan untuk memimpin dan memerintah mereka. Kewenangan yang diberikan orang-orang itu adalah sebagian dari hak asasinya. Teori Kontrak Sosial ini adalah dasar pembentukan teori demokrasi, yaitu kewenangan tertinggi untuk memerintah ada di tangan rakyat. Alasannya, karena pada awalnya setiap manusia mempunyai hak asasi untuk menentukan hidupnya sendiri tanpa bisa diintervensi orang lain. Hak ini adalah hak dasar yang melekat pada manusia yang dibawa sejak lahir. Karena sifatnya, hak ini tidak dapat dilanggar.
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, rakyat punya kewenangan untuk menentukan perwakilan-perwakilan untuk duduk di kursi Pemerintahan melalui mekanisme pemilihan umum. Pada negara demokrasi, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Sehingga, pemilihan tersebut adalah murni hasil pemikiran dan pilihan rakyat.
Indonesia, sebagai negara demokrasi menganut prinsip ini. Sebagai hal yang sangat dasar, hak ini dijamin dalam konstitusi dan diatur melalui undang-undang. Mekanisme Pemilihan Umum diatur oleh Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentng Pemilihan Umum. Pasal 28 dan pasal 111 ayat (1) menyebutkan untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih. Pemilih terdaftar menunjukkan surat pemeritahuan dari PPS.
Pasal ini dinilai mencederai hak asasi rakyat untuk menggunakan hak pilihnya, oleh karena itu pasal ini diajukan untuk dilakukan Judicial Review. Hasil Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi yang tertuang dalam utusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 adalah warga negara yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap bisa menggunakan haknya dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) disertai Kartu Keluarga (KK) atau paspor bagi warga negara Indonesia yang berada di luar Indonesia.Dalam pertimbangan putusan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hak untuk memilih telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara.
Dalam hal ini KPUD mempunyai obligasi yang penting untuk menjaga agar di putaran kedua dan di masa depan demokrasi kita, bahwa hak orang Indonesia untuk memilih paslon pilihannya tidak dilanggar, karena asas legitamasi pemerintahaan terletak di kemampuan rakyat untuk menggunakan hal pilihnya. (S21)