HomeNalar PolitikSaat DPR Diragukan, DPD Jawabannya?

Saat DPR Diragukan, DPD Jawabannya?

Komentar Fahri Hamzah terkait minimnya keberpihakan wakil rakyat di DPR karena keterikatannya terhadap partai politik menjadi bahan renungan tersendiriLantas, mampukah DPD menjadi jawaban atas keraguan terhadap DPR?


PinterPolitik.com

Politik di Indonesia mempunyai keunikan tersendiri. Meski kerap dianggap bermakna negatif, tapi tidak sedikit juga yang punya harapan besar terhadap politik. Politik masih jadi harapan, karena dinilai mampu merubah tatanan kehidupan masyarakat secara mendasar.

Salah satu tokoh yang memperlihatkan harapan tersebut adalah Fahri Hamzah ,Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri masih memperlihatkan harapan politik akan membaik, jika sistem dalam politik di Indonesia mengalami perubahan dalam beberapa hal, yaitu feodalisme dan ketidakberpihakan partai politik terhadap rakyat.

Fahri memaparkan bahwa trauma bangsa ini terhadap sejarah buruk masa lalu, yaitu ketika feodalisme menjadi sindrom para penguasa republik ini, dan tentunya feodalisme ini telah menjadikan rakyat menjadi korban. Oleh karenanya, generasi yang ingin demokrasi secara menyeluruh di negeri ini harus menolak feodalisme.

Feodalisme ini berkelindan dengan sebuah fenomena partai politik yang kerap dianggap Fahri sebagai bisnis ternak pejabat. Sehingga pejabat negara yang seharusnya berpihak kepada rakyat, tapi kenyataannya mereka masih dikuasai oleh partai politik (parpol) yang mengusungnya.

Fenomena ini memberikan pertanyaan yang substansial tentang arti demokrasi yang sesungguhnya. Para pejabat, spesifik bisa kita sebut anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terpilih, mempunyai semacam dua identitas, yaitu identitas sebagai wakil rakyat dan juga wakil dari parpol.

Siti Zuhro, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam beberapa analisisnya mengenai fenomena pengambilan keputusan di DPR, mengatakan anggota DPR juga mewakili kepentingan parpolnya masing-masing yang telah membawanya ke kursi DPR melalui pemilu legislatif. Sehingga anggota DPR tidak semata hanya mewakili suara rakyat, tapi juga mewakili kepentingan parpolnya.

Pendapat ini menggambarkan ikatan anggota DPR dan parpol sulit dilepaskan, karena faktor keterikatan parpol sebagai kendaraan untuk menjadi anggota DPR itu sendiri. Kemudian kewenangan parpol yang kuat untuk melakukan recall kepada anggotanya di DPR, membuat ikatan itu seakan menjadi “hukum alam” politik bagi anggota DPR.

Jika DPR dirasa “tidak mampu” menjadi corong aspirasi  rakyat, maka mungkinkah terdapat harapan lain selain DPR. Seperti yang kita ketahui, ada  lembaga lain dalam sistem legislatif kita, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Dalam sistem dua kamar yang berlaku, dikenal juga DPD yang mewakili kepentingan konstituen tanpa melalui parpol sebagai kendaraan saat pemilihan. Lantas, apakah DPD ini bisa menjadi harapan lain, menjadi sebagai media penyampai aspirasi rakyat?

Baca juga: Siapa Calon Kuat Ketua DPD?

DPD Solusi Keterwakilan Publik?

Sebagai institusi politik yang lahir pasca reformasi, DPD memiliki potensi strategis dalam hal memperkuat sistem dan praktik demokrasi perwakilan di Indonesia, karena bisa menjadi penyeimbang institusi legislatif lainnya, yaitu DPR dalam pembahasan kebijakan strategis, seperti regulasi maupun anggaran di level pusat.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Robert Dahl dalam bukunya Democracy and Its Critics, mengatakan demokrasi secara alami menghendaki adanya lembaga perwakilan. Dengan demokrasi perwakilan, membuat ketergantungan rakyat terhadap lembaga perwakilan sangatlah tinggi karena melalui lembaga inilah nasib seluruh rakyat digantungkan.

Bagi Dahl, rakyat yang seharusnya berdaulat penuh, kini posisinya digantikan oleh lembaga perwakilan. Tidak heran bahwa pada kenyataannya yang memerintah selamanya hanyalah segelintir elite politik.

Jamaludin Ghafur dalam tulisannya Memperkuat DPD?, mengatakan bentuk konkrit dukungan rakyat terhadap DPD agar dapat membawa perubahan di parlemen dapat dilihat dari hasil survei. Berbagai survei menunjukkan keinginan kuat dari rakyat agar kewenangan dan fungsi DPD diperkuat, bahkan disetarakan dengan kekuasaan DPR.

Bagi Ghafur, banyak pihak sepakat bahwa salah satu kendala bagi DPD untuk memperjuangkan aspirasi rakyat adalah minimnya kekuasaan yang dimiliki. Dari tiga fungsi yang dimiliki yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran, semuanya bersifat saran dan tidak mengikat.

Kehadiran DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia telah memunculkan banyak harapan agar lembaga ini bisa merubah wajah parlemen yang selama ini dilanda krisis legitimasi masyarakat. 

Harapan rakyat ini bukan sesuatu yang mengada-ada mengingat secara teori dan praktik, sistem parlemen bikameral (bicameral), di dalamnya ada dua lembaga (DPR dan DPD), membuktikan kualitas hasil keputusannya lebih baik ketimbang parlemen satu kamar (unicameral), karena pengawasan terhadap pengambilan keputusan dilakukan secara berlapis (double check).

Mahmud dalam tulisannya Memperkuat Fungsi Representasi Anggota DPD di Parlemen, mengatakan, bahwa meskipun sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, harus diakui, posisi anggota DPR seringkali tersandera oleh fraksi atau partai politik yang menjadi induknya.

Berbeda dengan peran dan posisi anggota DPD yang bisa lebih “bebas” karena skala tanggung jawabnya langsung kepada konstituen, yakni kepada warga di daerah dan juga kepada daerah secara keseluruhan.

Ini juga berkaitan dengan nomenklatur yang ada di DPD, yakni perwakilan daerah. Kata “perwakilan” menegaskan bahwa DPD merupakan institusi representasi. Sementara “daerah” menjelaskan sisi perbedaan dengan DPR, di mana anggota DPD lebih bernuansa mewakili wilayah-provinsi (masyarakat dan pemerintahan) atau representasi spasial (representasi administratif pemerintahan provinsi).

Kenyataan ideal yang harus dimiliki oleh DPD rupanya berbanding terbalik dengan realitas pelaksanaannya. Kita harus melihat bagaimana praktik dari lembaga perwakilan semacam DPD di luar negeri sebagai upaya pembanding. Salah satu contohnya mungkin Senat di Amerika Serikat (AS), yang juga sebenarnya mempunyai karakteristik yang sama dengan DPD di indonesia.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Lantas, seperti apa Senat AS sebagai upaya komparasi dengan DPD?

Baca juga: Banyak Keluhan Soal Kinerja BUMN ke DPD RI

DPD Sebanding Senat AS?

Dalam sistem politik bikameral dalam institusi legislatif di AS, Kongres (Congress) berisi Senat dan House of Representative (Dewan Perwakilan). Pemilihan anggota Senat dibagi menjadi tiga tahap yang dipilih setiap tahun genap dan mempunyai masa jabatan enam tahun.  Pemilihan anggota Dewan Perwakilan dilaksanakan setiap tahun genap dan masa jabatan anggotanya adalah dua tahun.

Dewan Perwakilan, yang terdiri dari 435 anggota dari distrik-distrik dalam sebuah negara bagian, mewakili para calon terpilih untuk masa jabatan dua tahun di bagian legislatif Kongres AS. Dewan perwakilan berfungsi untuk meloloskan undang-undang yang disepakati oleh Senat, yang kemudian dikirim ke Presiden untuk diratifikasi.

Sementara Senat terdiri dari 100 anggota, berjumlah dua untuk setiap negara bagian AS. Senator, yaitu anggota Senat dipilih untuk masa jabatan enam tahun untuk membuat undang-undang federal AS. Baik Dewan Perwakilan dan Senat akan bersama-sama membentuk Kongres.

Kongres dibentuk melalui gabungan anggota DPR berjumlah 435 dan Senat berjumlah 100 orang, sehingga kongres berjumlah 535 anggota. Istilah Kongres AS diperuntukkan baik untuk anggota dari Dewan Perwakilan maupun Senat. Majelis tinggi yang dikenal sebagai Senat, dan majelis rendah yang dikenal sebagai Dewan Perwakilan. Kedua majelis tersebut bermarkas di Capitol Hill di Washington DC.

Adapun peran utama Senat adalah menyetujui undang-undang yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah disetujui oleh Senat, Presiden kemudian meloloskan undang-undang apapun, meskipun di sisi lain fungsi Kongres juga dapat meloloskan undang-undang jika ada dua pertiga mayoritas suara.

Guntur Prakoso dalam tulisannya Perbandingan Badan Perwakilan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dan Amerika Serikat, memberikan gambaran bahwa DPD mempunyai fungsi yang sangat terbatas, karena mereka hanya bisa mengajukan usul terhadap setiap hal yang berkaitan dengan legislasi.

Perbedaan fungsi dan wewenang DPD dengan Senat adalah pada kewenangannya secara terbatas dan tidak terbatas, dalam artian setara dengan fungsi Dewan Perwakilan di AS. Senat dan Dewan Perwakilan AS mempunyai kedudukan yang sama, dan artinya mereka punya fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan yang sama, serta saling bekerja sama melengkapi tugas mereka dalam fungsi-fungsi tersebut.

Senator di AS bekerja bersama dalam mengelola lembaga legislatif. Sedangkan di Indonesia, Senator (DPD) hanya sebagai pelengkap struktural di legislatif. Keterbatasan ini seharusnya menjadi perhatian serius, dikarenakan Senator yaitu anggota DPD di Indonesia mempunyai legitimasi yang kuat sebagai wakil rakyat, yang juga dapat memperjuangkan suara rakyat. (I76)

Baca juga: Kisruh Sidang Paripuna DPD


Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...