Site icon PinterPolitik.com

Ryamizard, Menhan 2 Periode?

(Foto: PinterPolitik.com)

Setelah rangkaian Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 selesai dengan ditetapkannya Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), publik kini menunggu agenda politik besar selanjutnya: susunan kabinet pemerintah periode 2019-2024.


PinterPolitik.com

Banyak pemberitaan dan diskusi mengenai siapa saja menteri yang akan diganti atau dipertahankan, termasuk di antaranya nama Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu.

Ketika ditanya wartawan mengenai nasibnya dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin, Ryamizard mengaku belum mendiskusikan hal tersebut dengan presiden dan tetap fokus menjalankan sisa masa tugasnya sebagai Menhan. Ia juga menambahkan bahwa dirinya akan menerima keputusan apapun yang diberikan dan akan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya,

Lalu, ada siapa sebenarnya di balik seorang Ryamizard? Seberapa “powerful”-kah beliau untuk menjabat kembali sebagai Menhan atau paling tidak tetap dilibatkan dalam lingkar kekuasaan di periode 2019-2024?

Patron Politik Ryamizard

Karir Ryamizard diawali dengan masuknya beliau ke dinas militer. Puncak karir lulusan Akabri tahun 1974 ini terjadi ketika beliau diangkat sebagai Kepala Staf Staf Angkatan Darat (KSAD) dan memasuk masa purna bakti sebagai purnawirawan jenderal bintang empat.

Selepas berkarir di militer, Ryamizard mulai mendapatkan sorotan politik ketika namanya disebut-sebut dipertimbangkan sebagai calon wakil presiden untuk menemani Jokowi pada Pilpres 2014. Jokowi kemudian memilihnya sebagai Menhan pada kabinetnya. 

Baik karir militer maupun politik pria kelahiran Palembang ini tidak dapat dipisahkan dari faktor keluarga dan kedekatan beliau dengan tokoh-tokoh politik.

Ayahnya, Mayjen TNI Musanif Ryacudu, dikenal sebagai seorang loyalis Soekarno. Hal inilah yang kemudian mendasari kedekatannya dengan Megawati Soekarnoputri dan PDIP yang pada akhirnya mendorong Ryamizard menjad Menhan Jokowi. Saat menjadi presiden-pun Megawati pernah mencalonkan Ryamizard sebagai Panglima TNI, sekalipun hal itu tak terwujud.

Selain itu, Ryamizard juga memiliki hubungan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan. Hubungan ini hadir dari pernikahan Ryamizard dengan Nora Tristyana, anak dari mantan Panglima ABRI dan Wakil Presiden Try Sutrisno. Pada kontestasi Pilpres 2014, sosok Try Sutrisno disebut Luhut sebagai “jenderal sesepuh” yang berada di balik keputusannya untuk mendukung Jokowi.

Selama menduduki kursi Menhan, dalam beberapa kesempatan Ryamizard menegaskan loyalitasnya kepada Jokowi. Namun, penegasan ini sering kali terjadi ketika dirinya dituduh berseberangan dengan Jokowi atau dengan pemerintah pada umumnya.

Tahun 2016 misalnya ketika ia menolak Simposium Nasional Tragedi 1965 dan kebijakan Jokowi untuk memerintahkan Luhut mencari kuburan massal korban peristiwa 1965. Setelah menuai kritik, ia kemudian merubah sikapnya dan menegaskan bahwa dirinya tidak mungkin mengkhianati Jokowi.

Meskipun sebelum Pilpres dimulai ia menyatakan dengan tegas akan memilih Jokowi, perbedaan pendapat kembali terjadi. Ryamizard mengutarakan keraguannya pada proses hukum yang menjerat purnawirawan TNI terkait kerusuhan 21-22 Mei 2019, kepemilikan senjata ilegal, dan rencana pembunuhan.

Ia kemudian mengubah sikapnya setelah sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyarankan agar Ryamizard tidak berspekulasi.

Kinerja Kemhan dan Sosok Ryamizard

Dalam evaluasi terakhir pelayanan publik, penyerapan anggaran, dan pengelolaan keuangan tahun 2018, Kemhan mendapat penilaian yang memuaskan dari Ombudsman RI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam isu korupsi, kiprah Ryamizard bisa dikatakan cukup positif. Bersama KPK dan TNI, Kemhan berhasil membongkar kasus pengadaan helikopter AW-101. Ryamizard juga tidak pernah terdengar terkena isu korupsi.

Di sisi lain, Kemhan juga beberapa kali mengeluarkan kebijakan yang menuai kontroversi. Pada tahun 2015 misalnya, di mana Kemhan mendapat kritik keras akibat adanya surat edaran yang memperbolehkan pegawainya berpoligami.

Masih pada tahun yang sama, Kemhan juga mendapatkan kritik atas wacananya untuk menjalankan program Bela Negara. Program ini dianggap beberapa pihak sebagai pemborosan anggaran, membangkitkan militerisme, dan tidak tepat sasaran.

Saat memilihnya masuk dalam kabinet, Jokowi mengatakan bahwa Ryamizard adalah sosok militer pemikir, demokratis, dan penjaga NKRI. Karir militer Ryamizard juga disebut sebagai salah satu alasan terpilihnya beliau menjadi Menhan.

Namun, justru ada perbedaan pendapat yang banyak diutarakan para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM).

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) misalnya yang pada tahun 2014 lalu mengkritik pengangkatan Ryamizard. Keduanya melihat Ryamizard sebagai sosok yang mendukung terjadinya pelanggaran HAM dan supremasi militer di Papua dan Aceh.

Aktivis HAM Hariz Azhar juga pernah mengatakan bahwa bagi Ryamizard, demokrasi dan HAM adalah ancaman bagi Indonesia. Selain penolakan yang datang dari barisan HAM, Ryamizard sendiri pernah membuat kontroversi dengan pembelaannya terhadap anggota Kopassus yang melakukan pembunuhan terhadap Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay tahun 2001 silam.

Ketika sudah menjalankan tugasnya sebaga Menhan-pun, Ryamizard kerap mengundang kritik. Bersama Gatot Nurmantyo yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima TNI, ia sering mengelu-elukan tentang adanya proxy war di Indonesia.

Mulai dari narkoba, perebutan sumber daya alam, aksi unjuk rasa, hingga LGBT dianggap keduanya sebagai bentuk nyata terjadinya proxy war. Mereka juga menambahkan bahwa proxy war ini dilancarkan beberapa pihak, termasuk pihak asing, untuk melemahkan Indonesia.

Narasi proxy war ini mengundang kritik dan pertanyaan. Beberapa pengamat dan laporan dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) melihat bahwa kampanye proxy war merupakan bentuk usaha TNI untuk kembali meningkatkan peran militer dalam urusan-urusan sipil di Indonesia.

Dalam laporannya, IPAC menyatakan bahwa usaha ini dilakukan dengan menciptakan ketakutan yang disebut sebagai “proxyphobia” palsu guna menjustifikasi meluasnya peran militer dan membungkam oposisi sipil. Terlebih lagi ketika hal-hal yang diklaim sebagai bentuk proxy war berada di luar urusan pertahanan.

Selanjutnya menurut Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, pengangkatan Ryamizard adalah kemuduran bagi reformasi supremasi sipil di Kementerian Pertahanan. Meskipun sudah purnawirawan, Ryamizard dianggap tetap memiliki hubungan kuat, kesetiaan dan akan lebih membela agenda militer.

Peluang Ryamizard

Selain karena diajukan Megawati, alasan Jokowi memilih Ryamizard bisa dijelaskan melalui pandangan Profesor Vedi Hadiz dari Murdoch University, Australia. Langkah Jokowi menaruh purnawirawan-purnawirawan TNI di jabatan-jabatan strategis pemerintah, khususnya yang berasal dari Angkatan Darat, dinilai bertujuan untuk memperkuat posisi politiknya.

Dengan karir militer Ryamizard sebagai mantan orang nomor satu di TNI AD, ditambah dengan koneksi serta dukungan politik di belakangnya, pilihan Jokowi kepada Ryamizard memang dapat dikatakan menguntungkan secara politik, setidaknya untuk mengatur Kemhan.

Meski menuai sejumlah kontroversi, baik dari karir militer maupun kebijakannya setelah menjadi Menhan, nampaknya hal ini masih ditoleransi oleh Jokowi. Mungkin bagi sang presiden Ryamizard masih menjadi sosok yang menguntungkan.

Hal ini terbukti dengan “selamatnya” Ryamizard dari empat jilid reshuffle kabinet. Selain itu, berbeda dengan sikap tegasnya yang ditunjukkan ke menteri-menterinya yang lain – misalnya ketika ia baru-baru ini menegur Menteri ESDM dan Menteri BUMN – tidak pernah terdengar kabar Jokowi mengkritik atau menegur Ryamizard.

Pada akhirnya, nasib Ryamizard di kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin tidak akan lepas dari dukungan politik dan koneksi militernya. Jika berkaca pada sejarah, sejak jatuhnya Orde Baru, tidak ada Menhan yang menjabat dua periode berturut-turut.

Jika Jokowi menilai dirinya masih butuh tambahan jenderal-jenderal purnawirawan, Ryamizard bisa saja tetap mendapat jatah lain dalam lingkar kekuasaan 2019-2024. Di sisi lain, peluang Ryamizard juga dapat berkurang jika Jokowi menaruh fokus lebih banyak pada isu HAM dan penegakan supremasi sipil dalam kabinet kerjanya yang baru.

Sebagai gantinya, Jokowi seharusnya dapat mencontoh pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang “berani” menyerahkan kursi Menhan kepada kalangan sipil. Tapi, mungkinkah itu terjadi? (F51)

Exit mobile version