Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) resmi untuk dibahas pada tahun 2023. Pengesahan ini tidak bisa lepas dari peran Puan Maharani sebagai Ketua DPR dalam mengakomodir kelompok PRT. Lantas, apakah pengesahan RUU PPRT akan untungkan Puan secara elektoral?
PinterPolitik.com
“I Need a Distraction” – Colleen Hoover
Perjalanan panjang dalam meloloskan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) akhirnya membuahkan hasil. Bagaimana tidak? RUU ini resmi disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR, yang mana status ini menandakan keseriusan DPR untuk memulai pembahasan RUU tersebut dengan pemerintah.
Ini artinya, DPR dipastikan akan membawa RUU ini ke dalam Sidang Paripurna DPR yang akan berlangsung pada kuartal III-IV tahun ini.
Manuver DPR dalam mengesahkan RUU PPRT ini memang bisa dikatakan lamban bila dibandingkan dengan manuver Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sedari awal mendesak DPR untuk mengesahkan RUU ini. Setelah 19 tahun, upaya untuk menggulirkan RUU ini berlangsung alot, tapi akhirnya manuver DPR memberikan harapan akan pengesahan UU PRT dalam waktu dekat.
Koalisi Sipil UU PPRT beserta aktivis lainnya mengapresiasi langkah Ketua DPR, Puan Maharani, dalam mendorong inisiasi tersebut. Alasannya ialah Puan berhasil menempatkan dirinya sebagai representasi kelompok perempuan dalam menampung aspirasi PRT.Peran Puan ini akan menjadi harapan baru bagi perjuangan hak-hak mereka yang selama ini dilanda ketidakpastian.
Namun demikian, pengesahan RUU PPRT juga memberikan “keberkahan” bagi Puan sendiri karena apresiasi kelompok sipil dapat dikapitalisasi sebagai modal Puan untuk maju dalam Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024), setidaknya dalam bursa capres-cawapres.
Lantas, mengapa Puan bisa merasa diuntungkan dari RUU PPRT?
PPRT dan Citra Politik Puan
Pengesahan RUU PPRT seharusnya diapresiasi sebagai langkah positif dari politik perundang-undangan kita. Pasalnya, pengesahan RUU PPRT selalu stagnan di meja dewan selama 19 tahun, dan selalu menghadapi berbagai rintangan dalam mendapatkan kepastian hukum. Akan tetapi, setelah DPR mengesahkan RUU PPRT, perjuangan tersebut akhirnya terbayarkan dan Puan mendapatkan kehormatan atas perannya.
Apresiasi kepada Puan inilah pada gilirannya kembali menguatkan citranya sebagai “manifestasi perempuan” di DPR. Catherine Needham dalam artikelnya Personal Branding, menyebutkan bahwa setiap politisi membutuhkan citra untuk meningkatkan popularitasnya di mata publik. Citra “representator perempuan” diambil Puan untuk memberikan kesan bahwa Puan senantiasa berpihak kepada kaum perempuan.
Lolosnya RUU PPRT menjadi angin segar bagi Puan karena hal ini dapat “menegaskan” kembali citranya sebagai pembela kepentingan rakyat. Sama halnya dengan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tahun lalu, Puan telah mendapatkan insentif moral dari aktivis gender atas perannya dalam pengesahan peraturan tersebut.
Namun demikian, klaim keberhasilan Puan justru menuai kontradiksi ketika DPR mengesahkan UU Cipta Kerja (Ciptaker) pada saat yang bersamaan, dan klaim tersebut seolah dibesar-besarkan dengan menyoroti keberhasilan pada satu hal saja.
Terkait ini, Daniel T. Gilbert dan Patrick S. Malone dalam artikel Correspondence Bias, menyebutkan bahwa seseorang memiliki tendensi untuk melihat peran besar suatu pihak tanpa mengamati situasi faktual di lapangan.
Publik dapat saja mengapresiasi kinerja Puan karena telah meloloskan RUU PPRT dan UU TPKS yang selaras dengan kepentingan mereka, tapi di satu sisi mereka juga lupa bahwa keberhasilan Puan hanya menjadi bingkai semata. DPR akhir-akhir ini mengesahkan undang-undang kontroversial, yakni UU Cipta Kerja.
Namun dengan glorifikasi keberhasilan RUU PPRT oleh anggota dewan, akhirnya masyarakat dapat teralihkan pada atribusi Puan semata tanpa mempertimbangkan kondisi DPR saat ini. Pertanyaannya adalah, apakah pengesahan PPRT hanya menjadi penyelamat citra semata?
Diversi Politik di Balik PPRT?
Sejak tahun 2019 hingga saat ini, DPR masih menjadi lembaga publik yang paling tidak dipercaya publik. Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Februari lalu mencatat sekitar 36% responden tidak percaya kinerja DPR dalam berpihak kepada rakyat. Hal ini praktis menjadikan DPR sebagai lembaga terendah yang dipercaya masyarakat.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPR disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari banyaknya anggota dewan yang terjerat kasus korupsi, performa mereka yang lamban dalam menampung aspirasi publik, hingga yang terakhir ialah sikap DPR sebagai “tukang stempel” dalam mengesahkan peraturan yang diinisiasi pemerintah.
Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Ciptaker, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru menjadi segenap produk hukum yang disahkan DPR tanpa melibatkan partisipasi bermakna dari publik. Kolusi kepentingan penguasa dalam peraturan tersebut kemudian berdampak lebih buruk terhadap kepercayaan masyarakat kepada DPR, walau seharusnya lembaga ini betul-betul menjalankan tugasnya sebagai “wakil rakyat”.
Kendati demikian, bukan anggota dewan namanya kalau tidak memiliki akal bulus dalam menutupi fakta tersebut. Pengesahan RUU PPRT di satu sisi menjadi mutiara di bawah lautan yang keruh, tapi di sisi lain manuver ini dapat menjadi pengalihan untuk membuktikan kesuksesan mereka di tengah ketidakpercayaan publik, terutama oleh Puan untuk mendulang dukungan dalam Pemilu 2024.
Erica Frantz dalam artikelnya Political Diversion, menyebutkan bahwa politisi dapat melakukan manuver pengalihan apabila ia tidak mendapatkan dukungan luas dari publik, manuver ini terlihat dari sikap politisi yang berbeda dari biasanya. Pengesahaan TPKS maupun PPRT dapat digunakan oleh Puan dan DPR untuk mendapatkan kepercayaan publik dengan menunjukkan upaya mengesahkan peraturan yang pro-publik.
Tidak hanya meraih kembali kepercayaan publik, manuver Puan dalam menyetujui RUU PPRT dapat digunakan untuk mengarahkan simpati aktivis PRT kepada Puan dan simpati tersebut dapat dikonversi menjadi basis suara bagi Puan untuk Pemilu 2024.
Namun demikian, keuntungan yang diperoleh Puan bisa diprediksi tidak akan bertahan lama karena citra keberpihakan Puan hanya berlaku saat RUU PPRT resmi disahkan nantinya. Setelah itu, bisa jadi persepsi publik akan berpindah kepada tokoh lainnya karena satu hal, sehingga tidak menjamin pula apabila Puan mendapatkan basis massa yang awet dari kelompok PRT untuk 2024.
Well, sebagai penutup, setidaknya terdapat dua alasan kenapa RUU PPRT menguntungkan Puan.
Pertama ialah personal branding, di mana pengesahan RUU PPRT dapat diasosiasikan sebagai keberhasilan Puan dalam mendukung kepentingan perempuan dan hal ini kembali mendongkrak citra positif Puan.
Kedua ialah political diversion, di mana kesuksesan dalam meloloskan RUU PPRT dapat digunakan sebagai pengalihan untuk menyajikan kesuksesan DPR kepada masyarakat tanpa melakukan pembenahan secara menyeluruh di dalam internal DPR sendiri. (D90)