“The twentieth century, and in particular the period since the second world war, can fairly be described as the era of the welfare state.” – Ian Gogh
Pinterpolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]ejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan mendapat sorotan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Mereka mengkritik RUU inisiatif DPR itu, khususnya pasal 69 dan 70 yang terlalu mengatur secara detail aktivitas keagamaan sekolah minggu dan katekisasi.
Dalam Pasal 69 ayat (3) misalnya, disebut bahwa pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk program yang memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik.
RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menimbulkan polemik, dianggap bisa mencampuri kehidupan personal warga negara. Share on XKemudian, ayat (4) di pasal yang sama disebutkan bahwa pendidikan keagamaan kristen nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Dari dua ayat tersebut dinilai tidak sesuai dengan model pendidikan anak dan remaja gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana RUU yang hendak menyetarakan sekolah minggu dan katekisasi dengan model pendidikan pesantren.
RUU tersebut dinilai sebagai bentuk keterlibatan terlalu jauh negara terhadap kehidupan persoalan warga negara.
Namun di sisi lain, adanya formalisasi ini dianggap sebagai bagian dari perhatian pemerintah dan negara terhadap kelompok beragama yang selama ini memiliki peran dalam kehidupan warga negara.
Lantas, apakah upaya membirokratisasi pendidikan nonformal di bidang keagamaan adalah bagian dari intervensi negara pada kehidupan personal seseorang?
Intervensi Negara?
Tak dimungkiri, salah satu harapan awal reformasi adalah perbaikan kualitas demokrasi. Dalam konteks Indonesia, pengukuran oleh Freedom House mengategorikan Indonesia sebagai negara yang bebas secara penuh, kendati kecenderungan demokrasinya beberapa tahun terakhir mengalami stagnasi bahkan penurunan. Sementara, The Economist lebih tegas mengategorikan Indonesia ke dalam demokrasi yang masih “cacat” (flawed democracy).
Salah satu kelemahan mendasar dari proses reformasi yang berlangsung sejak 1998 adalah karena gerakan perubahan lebih berfokus pada upaya membangun dan memperbaiki institusi negara (state institutions).
Sementara itu, upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas negara (state capacity) cenderung tidak mendapatkan perhatian yang seimbang. Konsekuensinya, “kehadiran negara” dalam kehidupan sehari-hari (state in practice) menjadi samar-samar dan dalam beberapa kasus malah terlibat terlalu jauh.
Kegamangan ini pada akhirnya membuat pemerintah tidak mampu mengambil kebijakan yang tepat untuk kepentingan masyarakat banyak. Mungkin ada ketakutan sehingga akhir-akhir ini pemerintah mengambil langkah yang cenderung represif.
Ada beberapa indikator yang menunjukkan adanya perlakukan yang “berlebihan” dari negara dalam hal ini Jokowi terhadap warga negaranya. Misalnya sikap terhadap gerakan #2019GantiPresiden dan pelarangan terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Pembubaran demonstrasi atau kampanye #2019GantiPresiden dinilai oleh para kritikusnya sebagai sikap otoriter.
Selain itu, pemerintahan Jokowi juga dikritik telah membungkam kebebasan berbicara, dengan adanya pelarangan terhadap kelompok Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Secara umum, kebebasan berbicara dan demokrasi Indonesia dinilai menurun.
Selain itu, dalam situs New Mandala, Tom Power menulis bahwa laku Jokowi beberapa waktu belakangan ini menuju pada rezim otoritarian. Hal itu ditandai dengan politisasi lembaga hukum negara untuk menjerat lawan politiknya.
Instruksi presiden kepada aparatur penegak hukum untuk mensosialisasikan program pemerintah menjadi sebagai upaya represif untuk menekan pihak-pihak yang berseberangan.
Pemerintah saat ini sudah melampaui kewenangannya dengan menjadikan aparat penegak hukum sebagai alat kekuasaan untuk menekan kebebasan berpendapat.
Sebelumnya, di ruang yang lebih privat, sempat ramai soal lembaga-lembaga yang menghimbau warga untuk mengenakan jilbab. Kemudian santer terdengar isu adanya perluasan pasal perzinahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Lalu rencana rencana pemerintah yang menerapkan zakat 2,5% yang dipotong dari gaji bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Muslim.
Perlu dievaluasi pak. Jangan sampai RUU tsb seolah ikut intervensi /masuk kedapur lembaga pesantren masing2. Karena pendidikan pesantren memiliki khas masing2.
— Wong Ndeso (@NuruddinYusuf) October 27, 2018
Keterlibatan negara dalam persoalan privat juga terlihat dari RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang kini sedang dibahas di DPR. Kecenderungan membirokrasikan pendidikan nonformal, khususnya bagi pelayanan anak-anak dan remaja yang sudah dilakukan sejak lama oleh gereja-gereja di Indonesia dikhawatirkan beralih pada model intervensi negara pada agama.
Menurut Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan bahwa RUU tersebut sangat berbahaya karena mudah mengundang negara terlalu jauh mengurusi urusan personal, terlebih mengenai ibadah keagamaan.
Secara teknis juga RUU itu menyulitkan bagi agama dan kelompok minoritas karena harus memiliki peserta didik minimal 15 orang. Sebab banyak agama dan kelompok minoritas yang jumlahnya sedikit di daerah-daerah terpencil.
Jika melihat kondisi tersebut, bisa dikatakan bahwa negara mengarah pada intervensi terhadap sektor personal warga negara. Dalam hal ini, persoalan keagamaan terlalu jauh dicampuri oleh negara.
Menuju Statisme-Nasionalis?
Jika melihat pola yang selama ini dilakukan oelh Pemerintahan Jokowi, memang mengarah pada statisme negara. Artinya bahwa negara ikut terlibat dalam pengendalian baik kebijakan ekonomi maupun sosial, bahkan keduanya.
Jonah D. Levy dalam The State After Statism: New State Activities in the Age of Liberalization menyebut statisme percaya bahwa negara perlu mengontrol kehidupan dan kebijakan ekonomi, sosial atau keduanya untuk politik yang stabil.
Dalam konteks Jokowi, ia melihat negara sebagai lokomotif untuk membangun ekonomi cepat dan iklim politik yang stabil. Untuk menuju ke arah sana statisme mensyaratkan adanya pengontrolan terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat.
Kondisi tersebut tentu berbahaya bagi kehidupan demokrasi, karena bisa saja dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi oleh pemerintahan yang berbeda. Pemerintahan bisa berganti-ganti coraknya, bisa saja saat ini mengaku menghargai keberagaman namun dikemudian hari ada pemerintahan yang intoleran. Maka hal tersebut rawan untuk disalah gunakan.
Oleh karena itu, regulasi negara dalam kehidupan beragama tetap diperlukan. Regulasi dimaksud dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara, bukan intervensi.
Untuk tujuan-tujuan tersebut, negara perlu menetapkan rambu-rambu agar para pemeluk agama tidak mengajarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat dan kesehatan mereka, tidak mengajarkan kekerasan (violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun, dan tidak melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain.
Jika RUU tersebut tidak segera direvisi, maka justifikasi terhadap pemerintahan Jokowi yang mengarah pada rezim otoriter semakin kuat.
Di Balik Layar RUU Pesantren
Terlepas dari apapun, perlu dilihat siapa inisiator dari RUU tersebut. Inisiator dari RUU tersebut adalah Partai Keadilan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bisa jadi bahwa paket legislasi ini adalah buah politik untuk kepentingan elektoral.
Hal ini terlihat dari ancaman Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) terhadap partai politik tertentu yang tidak memperjuangkan UU Pesantren. IPI mengancam untk mengerahkan pesantren agar tidak memilih partai politik dan calon legislatif pada Pemilu 2019.
Banyak kalangan pesantren yang mendambakan terciptanya UU pesantren. Namun hingga hari ini belum ada payung hukum yang memadai terkait dengan pendidikan pesantren.
Tentu saja hal ini menjadi salah satu prioritas bagi partai politik untuk mendapatkan simpati dari kalangan santri. Diketahui bahwa PKB dan PPP adalah partai politik berlandaskan agama Islam yang suaranya diberikan dari kalangan umat Islam.
Maka tidak mengherankan apabila RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dirancang relatif cepat tanpa mendengar masukan-masukan dari berbagai kalangan. Sebab pemilu 2019 sudah di depan mata.
UU merupakan produk sinergi antara pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif). Bisa saja RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dijadikan alat kepentingan partai politik untuk barter terhadap pemerintah.
Dan di sisi lain, pemerintah menggunakan produk tersebut untuk merepresi kelompok-kelompok minoritas. Jika dalam praktiknya terdapat tumpang tindih kepentingan maka hal itu akan merugikan masyarakat. (A37)