Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) selalu menjadi isu yang panas di masyarakat. Apalagi, kini terdapat wacana Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) agar TAP MPRS yang melarang ajaran komunisme, marxisme, dan Leninisme tidak dimasukkan dalam bagian konsiderannya. Bagaimana respons beberapa partai – khususnya Partai Keadilan Sejahtera – dalam menanggapi wacana itu?
PinterPolitik.com
“Third rule is don’t talk to commies” – Ramones, grup band punk-rock asal Amerika Serikat (AS)
Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Dr H. Mulyanto sempat membuat geger publik. Pernyataan yang terdengar tidak biasa dikeluarkan oleh Mulyanto saat menyentil Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Mulyanto mendesak agar Ketetapan MPRS XXV/1966 yang berisi tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penyebaran ideologi komunisme, marxisme, dan leninisme dimasukkan dalam RUU HIP.
Senada dengan Mulyono, Prof. Jimmly Asshiddiqie pun menegaskan bahwa TAP MPRS mesti menjadi roh hirearkis yang layak diposisikan sebagai dasar pembentukan undang-undang, mengingat kedudukan yang tidak bisa serampangan dalam aturan Indonesia sebagai negara hukum. Tidak hanya mereka berdua, desakan demi desakan untuk memasukkan TAP MPRS tentang PKI beserta ideologinya itu pun didengungkan oleh banyak lapisan masyarakat.
Bahkan saking kencangnya tuntutan ini, tidak sedikit dari massa yang menempuh jalan aksi, seperti yang terjadi di beberapa daerah menjelang hari kelahiran Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 19 Mei kemarin di Sampang, Jawa Timur, misalnya, puluhan ulama beserta habaib dan elemen masyarakat lain mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat untuk menyuarakan kekhawatirannya tentang potensi kebangkitan PKI manakala TAP MPRS XXV/1966 tidak dimasukkan dalam pertimbangan RUU HIP.
Meski sudah dijawab oleh pihak DPRD setempat bahwa TAP MPRS masih berlaku dan oleh karenanya secara otomatis menjadi jaminan ketidakmunculan PKI tetapi kekhawatiran tetap menjadi momok yang menakutkan. Pasalnya, kejadian ini tidaklah berlangsung setahun dua tahun saja.
Hampir bisa dipastikan, terutama saat tanggal 30 September dan 1 Oktober, masyarakat disibukkan oleh isu seputar PKI. Kalau hanya sekadar mempelajari sejarah, tidak ada masalah.
FPDIP di DPR menolak usulan kami. Mrk tak setuju memasukkan TAP MPRS XXV/1966 soal PKI sbg Partai terlarang&larangan penyebaran ideologi Komunisme, pd konsideran Menimbang, dlm RUU HIP(Haluan Ideologi Pancasila). RUU HIP sbgmn biasa,akan dibahas dg Pemerintah juga. @mohmahfudmd. https://t.co/1J4LQ0G1pC
— Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) June 2, 2020
Namun, yang menjadi soal adalah ketika ingatan akan sejarah kelam masa lalu itu menjadi kekerasan stigmatikyang kemudian menimbulkan kecurigaan antar warga negara. Padahal, dalam penelitian yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2017 tentang persepsi masyarakat soal potensi kemunculan PKI, hasilnya berkata bahwa hampir 86,8 persen responden tidak menyetujui bahwa terdapat usaha PKI untuk bangkit kembali.
Meski demikian, tetap saja, dalam penelitian itu masih ada sebanyak 12,6 persen orang yang menganggap saat ini sedang terjadi konsolidasi untuk membangkitkan PKI. Sekali lagi, ini bukan soal angka kuantitatif, tetapi penelitian ini harus dibaca sebagai fakta bahwa sejarah kelam masa lalu ternyata masih terwarisi sampai sekarang.
Benarkah warisan sejarah ini akan “muncul” kembali di kemudian hari atau hanya menjadi polemik pada momen tertentu? Lantas, mengapa kebangkitan PKI tetap selalu menarik perhatian dalam perpolitikan Indonesia – khususnya bagi PKS?
Politik Elektoral
Dengan mengutip Noorhaidi Hasan, Gerry van Klinken dan Ward Berenschot dalam sebuah buku yang berjudul In Search of Middle Indonesia menjelaskan bahwa Islam Indonesia telah mengalami proses gentrifikasi, mendukung teknologi tinggi global dan selera Islam konsumeris.
Penjelasan yang dikutip dari Guru Besar UIN Yogyakarta tersebut setidaknya memberi tiga bahan normatif yang mendasar untuk membicarakan kelas menengah Muslim di Indonesia, yakni mereka bergerak maju, cinta kemapanan, dan pragmatis sehingga para ilmuwan sosial kerap menggunakan pendekatan yang dominan ekonomi politik (seperti Hadiz dan Robison) daripada sosial dan kultural (seperti Geertz) dalam studi mereka.
Di mata penganut mazhab ilmu sosial ala Marxis, ‘kelas’ merupakan fenomena yang sepantasnya dipandang secara dialektis-kritis, di mana persinggungan (konflik) dengan kelas lain merupakan hal yang tidak bisa dielakkan.
Berbekal premis persinggungan kelas tersebut, van Klinken mencoba menjelaskan posisi kelas menengah yang menyebutkan bahwa kelas menengah merupakan pusat mediasi antar dua titik geografis, yakni pusat-perifer, kelas menengah memainkan peran sebagai sebuah proses sosial yang diliputi dua aspek, formal, dan informal, serta kelas menengah merupakan respons dari keinginan untuk mempertahankan perlindungan negara terhadap aktivitas mereka maupun transformasi harapan dari kelas bawah.
Bila ketiga poin deskriptif tersebut dimasukkan dalam sebuah analisis, maka kelas menengah bisa diartikan sebagai kelompok sosial yang selalu memiliki ketersinggungan, baik secara ekonomis maupun politis, dengan kelas-kelas yang lain.
Persoalannya, di Indonesia, apakah relasi tersebut berjalan lancar? Tentu saja tidak. Kelas menengah yang memiliki potensi ekonomis dan politis tersebut akan membentuk gerombolan sendiri sesuai dengan keinginan masing-masing.
Dalam pemilihan umum, kelas menengah acap kali mendapat perhatian lebih, yakni sebagai pemain ‘terusan’ sekaligus komoditas isu. Share on XApabila dibuat catatan, premis tersebut bisa dikembangkan menjadi tiga dinamika, yakni pembuatan jejaring yang menentukan ‘mana kawan sehaluan dan mana yang tidak’. Kemudian, jejaring yang awalnya berkutat di ranah formal itu kemudian merangsak masuk ke kanal-kanal politik mulai hulu sampai hilir.
Dalam dinamika yang terakhir, jejaring yang sudah bercampur dengan pertimbangan saling menguntungkan pada aspek ekonomis dan politis mempengaruhi secara kognitif dan afirmatif mereka tentang pandangan dan perilaku politik.
Maka dari itu, dalam urusan politis dan akses ekonomis – kita tidak akan menemukan pertarungan soal like atau dislike dalam hal yang lain (seperti perfilman) – ini, kelas menengah akan terpolarisasi secara nyata.
Dalam pemilihan umum, kelas menengah acap kali mendapat perhatian lebih, yakni sebagai pemain ‘terusan’ sekaligus komoditas isu.
Secara mudah, pada perkembangannya karakter kelas menengah yang di awal sudah dijelaskan van Klinken, saat dikontekskan di Indonesia terkesan abu-abu. Tidak heran apabila para peniliti justru lebih senang menyebut fenomena di Indonesia ini sebagai pseudo-middle-class daripada kelas menengah murni.
Sebab, geliat aktivisme kelas menengah yang dipraktikkan di Indonesia masih sering kali tidak berdiri sendiri (independen), melainkan menempel pada satu kelas di atasnya atau di bawahnya. Selain itu juga masih melibatkan isu-isu primordial sehingga terkesan lebih konservatif daripada progresif.
Bahkan, menyimak catatan Saiful Mujani, beberapa kali aktivitas kelas menengah Indonesia berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip demokrasi. Hal itu tercermin dalam suasana Pemilu terakhir, mulai pusat sampai daerah. Betapa isu-isu agama kerap kali menyeruak ke muka, terutama yang dimainkan oleh antar kelas menengah Muslim sendiri.
Strategi Politik PKS?
Mengapa harus berfokus pada diksi ‘Muslim’? Selain alasan mayoritas orang Indonesia beragama Islam, terdapat juga fakta bahwa Islam sudah menjadi ideologi perebutan ruang ekonomi dan politik merupakan alasan mendasar yang patut dijadikan pijakan, seperti yang tercermin dalam momentum-momentum isu agama selama perhelatan politik elektoral.
Ciri utama konservatisme bisa dilihat dari dua hal, yakni, saat semua isu yang menguntungkan kelompok mereka dijual ke hadapan publik. Salah satu isu yang seksi tentu saja komunisme atau jelasnya jika di Indonesia PKI. Saat isu menggema, secepat kilat akan membagi kelas menengah menjadi tiga kutub yang bisa diidentifikasi, yakni pro, kontra, dan silent, di mana kesemuanya memiliki target politis masing-masing.
Dari sinilah partai politik dapat masuk memanfaatkan konservatisme yang ada pada kelas menengah Indonesia. Partai politik bukan tidak mungkin akan menyesuaikan pandangan kelompok menengah ini.
PKS misalnya kerap berseberangan dengan partai-partai nasional. Dalam spektrum kelompok Islam yang dibuat oleh Angel Rabasa dalam sebuah buku yang berjudul The Muslim World After 9/11, PKS sendiri termasuk dalam kelompok modernis yang mendorong nilai-nilai inti dalam Islam.
Adanya dorongan agar mempromosikan nilai-nilai inti dalam Islam ini bukan tidak mungkin sejalan dengan konservatisme yang berkembang di kelas menengah Indonesia. Gambaran ini sejalan dengan penjelasan milik Adhi Primarizki dan Dedi Dinarto dari S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) dalam sebuah tulisan yang berjudul Capturing Anti-Jokowi Sentiment and Islamic Conservative Masses.
Setidaknya, Primarizki dan Dinarto menganggap bahwa PKS berupaya mengembangkan basis suaranya dengan membangun hubungan dengan beberapa kelompok Islam yang dikenal konservatif. Strategi inilah yang diterapkan ketika bersaing dalam Pemilu 2019.
Bisa jadi, dengan mendorong dimasukkanya TAP MPRS dalam RUU HIP, PKS menerapkan strategi serupa guna meningkatkan identifikasi partainya (party identification). Russell J. Dalton dalam tulisannya yang berjudul Party Identification and Its Implications menjelaskan bahwa identifikasi partai merupakan identifikasi jangka panjang yang afektif dan psikologis terhadap suatu partai politik tertentu.
Identifikasi partai ini berhubungan dengan sistem kepercayaan (belief system) yang dimiliki oleh seseorang. Dengan mengutip teori identitas sosial, Dalton menjelaskan bahwa identifikasi ini juga berhubungan dengan keanggotaan dalam kelompok sosial, seperti kelas sosial dan nilai keagamaan.
Dengan menguatkan posisi politik terhadap isu-isu yang dianggap penting bagi kelompok konservatif menengah, PKS bisa jadi telah mencari kesetiaan dalam kelompok tersebut. Lagi pula, identifikasi partai inilah yang menentukan basis loyalitas suara yang dimiliki oleh suatu partai. Menarik untuk diikuti bagaimana PKS dapat bersaing dalam Pemilu selanjutnya. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.