Belakangan ini, RUU HIP mendapatkan sorotan khusus publik karena dinilai dapat membangkitkan kembali PKI. Menariknya, terdapat desas-desus yang menyebutkan bahwa RUU HIP memiliki tujuan politis kelompok tertentu guna menyongsong Pilpres 2024. Lantas, benarkah salah satu tujuannya untuk mencegah pasangan Anies-Gatot maju di gelaran Pilpres mendatang?
PinterPolitik.com
“However, neither rule of law nor political accountability” – Francis Fukuyama, penulis buku The End of History
Tidak seperti Pilpres sebelumnya, terdapat keunikan tersendiri pada Pilpres 2024. Bagaimana tidak, kendati masih berlangsung 5 tahun lagi, berbagai kandidat telah jamak bermunculan. Mulai dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua DPR Puan Maharani, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, hingga Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Uniknya, dari sekian banyak nama-nama yang bermunculan, kesemuanya dapat dikelompokkan menjadi dua kubu. Pertama, kandidat yang akan melanjutkan estafet pemerintahan saat ini. Dan yang kedua, adalah kandidat yang menjadi penantang kekuasaan.
Terkhusus kubu kedua, setelah Prabowo masuk ke lingkaran Istana, Anies dan Gatot yang dinilai sebagai kandidat yang tersisa. Namun, ini bukannya memberikan kabar buruk, melainkan menjadi berkah tersendiri bagi keduanya.
Pasalnya, dengan tidak adanya sang mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, praktis, basis massa Islam akan berkonsentrasi ke Anies dan Gatot. Atas kondisi ini, banyak beredar kabar yang menyebutkan bahwa Anies-Gatot adalah pasangan yang begitu potensial untuk diusung di Pilpres 2024 mendatang.
Oleh karenanya, melihat gelagat yang ada, tampaknya terdapat agenda politik tertentu yang bertujuan untuk menghalau pasangan yang disebut begitu potensial ini.
Menariknya, agenda tersebut sepertinya dapat dilihat dari Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang tengah menyedot perhatian publik akhir-akhir ini.
Bisakah Pak @prabowo menjadi penghubung antara Tiongkok dan AS? #politik #infografis #pinterpolitikhttps://t.co/tFaqLIdEjr pic.twitter.com/aHCqhezO6s
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 24, 2020
Produk hukum ini sendiri tengah ramai ditolak karena TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI tidak dicantumkan sebagai konsiderans “mengingat”, serta adanya frasa “ketuhanan yang berkebudayaan” dalam Pasal 7. Masifnya resistensi publik bahkan membuat pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan penundaan pembahasan beberapa hari yang lalu.
Lantas, benarkah RUU HIP merupakan agenda pihak tertentu untuk mengganjal laju Anies-Gatot untuk maju di Pilpres 2024?
Demokratisasi yang Masih Berproses
Francis Fukuyama dalam bukunya Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy memberikan poin menarik yang dapat membantu kita memahami agenda politik dalam RUU HIP.
Melalui berbagai studi kasus, Fukuyama menunjukkan bahwa terjadinya demokratisasi sebelum suatu negara atau pemerintahan memperoleh kapasitas untuk memerintah secara efektif akan membuatnya jatuh ke dalam kegagalan. Konteks ini misalnya banyak ditemukan di negara-negara di Afrika.
Singkat kata, Fukuyama hendak menegaskan, demokratisasi suatu negara dapat berjalan dengan baik apabila negara terkait telah terlebih dahulu memiliki kapabilitas untuk menjalankan pemerintahan secara efektif. Ini banyak dikenal sebagai birokrasi yang efektif.
Penjelasan tersebut tampaknya dapat digunakan untuk menjawab mengapa negara-negara yang baru didemokratisasi begitu lekat mengalami turbulensi atau guncangan politik, serta tidak memiliki birokrasi yang baik.
Akan tetapi, Fukuyama juga memberikan penegasan bahwa pada dasarnya memang tidak terdapat mekanisme otomatis yang memproduksi pemerintahan yang bersih dan modern. Artinya, dalam proses demokratisasi, memang akan selalu mengalami perubahan atau adaptasi untuk mencapai suatu tatanan politik yang lebih baik.
Sedikit tidaknya, konteks yang disebutkan Fukuyama tampaknya dapat kita lihat di Indonesia. Tidak sedikit yang menyebutkan bahwa negara kepulauan terbesar ini tidak memiliki kesiapan yang memadai ketika mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1945 lalu. Itu terlihat jelas dengan terus datangnya guncangan politik yang silih berganti, bahkan sampai saat ini.
Hmm, penyelesaian kasus HAM masa lampau emang dari dulu cuma wacana kan ya? 🙃Semoga nggak jadi wacana forever. #infografis #politik #pinterpolitik https://t.co/qGxgiDIrA7 pic.twitter.com/6W68QkvtHI
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 24, 2020
Melalui perubahan sila pertama dalam Piagam Jakarta, terlihat jelas terdapat usaha demokratisasi, yakni ingin dirangkulnya suara minoritas yang bukan beragama Islam. Akan tetapi, selaku negara yang masih berproses, turbulensi yang mengguncang etos-etos demokrasi seperti komunisme ataupun suara untuk mendirikan negara Islam menjadi bayang-bayang yang sulit dilepaskan.
Pada pembentukan RUU HIP, kita sebenarnya dapat melihatnya sebagai usaha demokratisasi. Dengan adanya frasa “ketuhanan yang berkebudayaan”, itu membuat dominasi suara kelompok Islam tertentu, khususnya sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 tengah berusaha untuk dibendung.
Mengacu pada Fukuyama, demokrasi liberal memang berpangkal pada asas-asas diakuinya identitas minoritas untuk menuju kesetaraan. Ini akan memungkinkan kebebasan individu untuk dijunjung.
Akan tetapi, kendati RUU HIP dapat dibaca secara positif karena itu adalah proses demokratisasi. Secara politik praktis, produk hukum tersebut dapat dibaca sebagai alat politik bagi kelompok tertentu.
Ganjalan bagi Anies-Gatot?
Mengacu pada Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia, kita dapat menarik simpulan bahwa konfigurasi hukum di Indonesia memang mengikuti konfigurasi politik yang tengah berlaku. Kasarnya, dapat disebutkan bahwa pemerintahan yang berkuasa memiliki kapabilitas untuk menentukan produk hukum apa yang ingin dibuat, ditegakkan, ataupun dihapus.
Menimbang pada posisi PDIP sebagai partai berkuasa saat ini, serta merupakan partai yang disebut-sebut menginisiasi RUU HIP, tampaknya dapat disimpulkan bahwa produk hukum tersebut adalah pengejawantahan dari konfigurasi politik partai banteng.
Itu misalnya terlihat dari diangkatnya gotong-royong sebagai ekasila, yang mana itu pernah disampaikan Soekarno dalam pidatonya. Sebagaimana diketahui, PDIP yang membawa nama besar sang presiden pertama, memiliki beban sejarah untuk melanjutkan gagasan sang proklamator.
Masalahnya, jika RUU HIP nantinya disahkan, akan terdapat tafsiran tunggal terkait apa itu Pancasila. Imbasnya, kelompok-kelompok tertentu yang memiliki interpretasi berbeda dengan tafsiran tersebut dapat dikategorikan tidak Pancasilais.
Harusnya diganti nama jadi Kartu Dikerjai. Uppps. #pinterpolitik #politik #infografis https://t.co/qGxgiDIrA7 pic.twitter.com/rKxLpTqdFo
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 24, 2020
Getirnya, kelompok-kelompok Islam tertentu yang memiliki suara keras sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 sepertinya adalah pihak yang rentan dituduh tidak Pancasilais nantinya. Jika demikian yang terjadi, itu tentunya dapat menjadi alat politik PDIP ataupun pihak tertentu untuk meredam kelompok-kelompok tersebut.
Seperti yang diketahui, partai banteng memang menempatkan diri berseberangan dengan kelompok-kelompok ini. Begitu pula sebaliknya.
Bak melempar dua burung dengan satu batu, PDIP tidak hanya mengesahkan konsep trisila dan ekasila, melainkan juga dapat memiliki alat yang begitu mumpuni untuk mengamankan kekuasaan pada Pilpres 2024. Pasalnya, tantangan terbesar kandidat dari partai banteng saat ini, disebut-sebut adalah pasangan Anies-Gatot yang merupakan kandidat yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam tersebut.
Dengan kata lain, jika basis pendukung Anies-Gatot dapat diredam sejak dini, bukankah itu membuat pencalonan keduanya menjadi sukar terjadi. Terlebih lagi, Anies dan Gatot tidak memiliki partai politik seperti kandidat-kandidat lainnya.
Suka atau tidak, yang membuat nama keduanya melambung memang dukungan dari massa Islam. Kemenangan mengejutkan Anies atas Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017 misalnya, itu jamak disebut karena besarnya dukungan dari massa Islam.
Pada akhirnya, kita mungkin dapat memaknai RUU HIP dalam dua perspektif. Bagi mereka yang ingin menuju demokrasi liberal, RUU HIP akan dimaknai secara positif. Akan tetapi, bagi mereka yang melihatnya secara politik praktis, produk hukum ini tidak lebih dari alat kelompok tertentu untuk mempertahankan singgasana kekuasaannya.
Namun, tentu harus dicatat, selain kedua pemaknaan tersebut, tentu terdapat pemaknaan-pemaknaan lainnya yang dapat ditarik dari RUU HIP. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.