Akhir-akhir ini, diskursus publik dihebohkan dengan narasi kebangkitan PKI dalam RUU HIP. Tidak heran kemudian berbagai gelombang penolakan bermunculan agar RUU tersebut ditolak atau dibatalkan. Lantas, benarkah produk hukum ini bertujuan demikian?
PinterPolitik.com
“Ada gula, ada semut”. Pepatah tersebut kerap kita sematkan untuk menggambarkan bahwa suatu kejadian mestilah memiliki penyebabnya. Pun begitu pada ketegangan politik akhir-akhir ini, di mana adanya kritik keras dari berbagai pihak atas laju pemerintahan.
Namun, tidak seperti sebelumnya, ketegangan ini tidak dipicu oleh kebijakan pemerintah terkait pandemi virus Corona (Covdi-19), melainkan karena adanya pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang disebut-sebut bernuansa membangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pangkal penolakan terhadap produk hukum ini setidaknya bermuara pada tiga hal. Pertama, tidak dicantumkannya TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsiderans “mengingat”. Kedua, adanya frasa “ketuhanan yang berkebudayaan” dalam Pasal 7. Dan ketiga, diperasnya pancasila menjadi trisila dan ekasila dalam Pasal 7.
Terkhusus dua alasan pertama, itu kemudian mendorong gelombang penolakan masif karena narasi adanya usaha untuk membangkitkan PKI dinilai begitu jelas terasa. Sebagaimana diketahui, sejak peristiwa G30SPKI, berbagai elemen masyarakat memang memiliki surplus resistensi terhadap PKI dan komunisme karena jamak disebut bertujuan untuk mengganti dasar negara.
Atas surplus tersebut, tidak mengherankan kemudian, narasi pembubaran PDIP selaku partai yang dinilai menginisiasi, serta pada awalnya tidak keberatan TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tidak dimasukkan sebagai konsiderans “mengingat” menjadi bulan-bulan kritik dan hujatan publik.
Lantas, hal apakah yang dapat dimaknai dari kisruh akibat RUU HIP tersebut?
Hmm, emang RUU ini tuh mesti banget dibahas saat lagi #COVID19 kayak gini ya? #infografis #politik #pinterpolitikhttps://t.co/Pjp4S2CuFO pic.twitter.com/m1H27HR11m
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 15, 2020
Recalling the Past
Dengan menggunakan pisau analisis psikologi politik, kita dapat menemukan bahwa terdapat dimensi pertengkaran sejarah yang bersemayam di balik polemik RUU HIP.
Sebagaimana yang diduga oleh peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, produk hukum ini tampaknya menunjukkan gelagat ke arah pengakuan dan formalisasi trisila dan ekasila.
Alhasil, ini menciptakan kesan bahwa tafsir atas Pancasila dapat ditentukan oleh rezim berkuasa, yang dalam konteks kasus ini adalah PDIP.
Selaku partai yang membawa nama besar Soekarno, boleh jadi PDIP bermaksud mengangkat kembali pemahaman Pancasila sang presiden pertama. Hal tersebut terlihat jelas dari diangkatnya konsep gotong-royong sebagai ekasila, yang memang pernah disampaikan Soekarno dalam pidatonya.
Tentu tidak mengherankan, telah lama Soekarno menjadi top mind berbagai pihak jika membahas perihal Pancasila. Mengacu pada Xavier Marquez dalam tulisannya A Model of Cults of Personality, pengkultusan sosok Soekarno ini dapat disebut sebagai sebagai flattery inflation atau inflasi pujian.
Pengkultusan sosok ini memang kerap kali terjadi pada pemimpin-pemimpin bertangan besi, seperti Soekarno. Jika merujuk pada istilah sosiolog terkemuka Jerman Max Weber, pemimpin semacam ini disebut sebagai charismatic leader atau pemimpin karismatik.
Dalam definisi Weber, karisma adalah kualitas tertentu dari kepribadian individu yang dianggap luar biasa dan diperlakukan layaknya berkah supranatural atau dianggap sebagai manusia super.
Tidak hanya terdapat indikasi pengkultusan Soekarno telah dilakukan, terdapat pula indikasi bahwa RUU HIP dijadikan sebagai alat untuk menyamaratakan pandangan publik terkait apa itu Pancasila. Masalah krusialnya adalah, dengan adanya frasa “ketuhanan yang berkebudayaan”, ini dapat terbaca sebagai cara untuk meredam padangan pihak tertentu untuk mengangkat kembali Pancasila yang mengacu pada Piagam Jakarta.
Sejak kemarin CFD jadi Corona Free Day 🙃 Tetap patuhi protokol kesehatan ya kak kalau olahraga di luar rumah. #infografis #politik #pinterpolitik https://t.co/ddgJBROhZV pic.twitter.com/xbtIJe5AIs
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 22, 2020
Ini menjadi persoalan pelik, karena indikasi agenda tersebut seolah berupaya untuk menangkal memori sejarah umat Islam, dan ini tentunya tidak mungkin. Sebagaimana diketahui, umat Islam mestilah memiliki ingatan atas Piagam Jakarta yang rela diubah untuk merangkul masyarakat Indonesia yang tidak beragama Islam. Ingatan ini disebut sebagai “recalling the past”, atau memanggil kembali ingatan masa lalu.
Artinya, memori umat Islam yang pernah berkorban atas terbentuknya Pancasila tentu saja akan tetap bersemayam dan tumbuh. Dalam tesis Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang berjudul “Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariat Islam di Indonesia” misalnya, memori mengenai adanya kebesaran hati kelompok Islam dalam mengubah sila pertama juga dikupas secara mendalam dan berulang.
Kaburnya Pembahasan
Setelah membahas mengenai pertengkaran memori sejarah antara gagasan Soekarno dengan pengorbanan dalam Piagam Jakarta, kita mungkin dapat memahami mengapa umat Islam, seperti FPI, ataupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) begitu keberatan atas RUU HIP.
Tidak hanya itu, dengan tidak dimasukkannya TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 sebagai konsiderans “mengingat”, recalling the past atas peristiwa G30SPKI yang juga banyak menelan korban jiwa santri dan kiai tentunya menjadi ganjalan besar untuk melanjutkan pembahasan RUU HIP. Atas derasnya penolakan publik, pemerintah pusat melalui Menko Polhukam Mahfud MD bahkan telah mengumumkan untuk menunda pembahasan produk hukum ini.
Akan tetapi, cukup disayangkan memang, adanya recalling the past tersebut agaknya telah membuat publik kurang tepat dalam mengkritik RUU HIP. Seperti yang ditegaskan oleh pakar hukum tata negara Refly Harun, peneliti militer dari ISESS Khairul Fahmi, ataupun Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon – RUU HIP dapat menimbulkan masalah dalam segi hierarki hukum.
Sebagaimana diketahui, Pancasila adalah staats fundamental norm atau philosofische grondslag, yakni sumber dari segala hukum yang ada di Indonesia. Dengan adanya RUU HIP yang menetapkan apa pengertian atas Pancasila, secara logis, ini tentunya mengkerdilkan Pancasila itu sendiri.
Singkat kata, alih-alih Pancasila menjadi sumber produk hukum, RUU HIP justru menjadikan dirinya sebagai rujukan Pancasila. Ini jelas begitu mencederai logika dari hierarki hukum yang berlaku.
Selain itu, seperti yang disinggung oleh Fadli Zon, RUU HIP dapat menjadi omnibus law karena dapat menyamaratakan interpretasi terhadap Pancasila.
Getirnya adalah, pembahasan fundamental semacam itu menjadi kabur karena lebih disorotnya perihal TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 ataupun frasa “ketuhanan yang berkebudayaan”. Suka atau tidak, masifnya pemberitaan atas kedua hal tersebut telah menjadikan pembahasan menjadi kabur.
Happy Late Birthday Pak @jokowi . Semoga semakin sabar dan kuat menghadapi semua tantangan di periode kedua kekuasaan. #jokowi #HBD59Jokowi #politik #pinterpolitikhttps://t.co/GDbUJuKMQA pic.twitter.com/xWijkC4WgU
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 23, 2020
Noam Chomsky dalam bukunya Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda turut menjelaskan bahwa pemberitaan masif dari media massa, memang harus diakui dapat menjadi semacam pengarah diskursus atau fokus publik atas suatu peristiwa.
Dengan kata lain, kaburnya pembahasan RUU HIP jamak terjadi karena berbagai media massa hanya fokus mengangkat penolakan-penolakan yang berpangkal pada TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 dan frasa “ketuhanan yang berkebudayaan”.
Tidak hanya itu, isu kebangkitan PKI dalam RUU HIP juga menjadi isu gorengan yang sulit untuk tidak dimainkan. Melihat gelagat yang ada, misalnya isu pemecatan presiden yang bergulir beberapa waktu yang lalu, tampaknya tengah ada semacam agenda untuk merongrong laju pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Terlebih lagi, disematkannnya isu PKI terhadap Presiden Jokowi bukanlah hal yang baru. Ini adalah isu yang terus diproduksi dan sepertinya dijaga kelestariannya.
Pada akhirnya, kita mungkin dapat menarik kesimpulan bahwa derasnya resistensi publik atas RUU HIP diakibatkan oleh recalling the past atas pengorbaan umat Islam dalam mengubah sila pertama Piagam Jakarta dan peristiwa G30SPKI. Akan tetapi, dengan adanya recalling the past itu pula, pembahasan atas produk hukum ini menjadi kabur.
Jika melihat dari perspektif hukum, RUU HIP seharusnya lebih banyak ditolak karena ia mencederai logika dari hierarki hukum yang berlaku.
Tentu kita berharap, alih-alih melanjutkan pembahasan RUU HIP yang justru kembali melahirkan tafsiran-tafsiran atas Pancasila, pemerintah sudah seharusnya fokus pada penyelesaian pandemi Covid-19 yang tengah terjadi.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.