Disahkannya Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) atau omnibus law bisa jadi menandakan tidak terwakilinya suara kelompok buruh di Indonesia. Mungkinkah ini menjadi momentum akan kebangkitan sebuah partai buruh di Indonesia?
“Tryna stay alive and just stay peaceful. So hard to survive a world so lethal. Who will take a stand and be our hero, of my people, yeah?” – Joey Bada$, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)
Semua orang barang kali mengakui bahwa persatuan merupakan salah satu cara yang paling ampuh dalam melawan musuh bersama. Bagaimana tidak? Dengan persatuan, kekuatan dari berbagai pihak dapat dihimpun guna mencapai tujuan bersama.
Kekuatan persatuan semacam ini barang kali dapat dilihat dalam berbagai kisah di film, novel, atau produk-produk kreatif lainnya. Salah satunya mungkin dapat diilhami dari franchise film Avengers, khususnya Avengers: Infinity War (2018) dan Avengers: Endgame (2019).
Dalam dua film tersebut, penonton ditunjukkan aksi-aksi para pahlawan super yang berusaha menggagalkan misi penjahat super yang bernama Thanos. Penjahat super satu ini ingin mengimbangkan kembali jumlah populasi alam semesta agar sumber yang tersedia dapat terdistribusi dengan baik.
Meski terdengar memiliki tujuan yang baik, cara Thanos dinilai kurang tepat, yakni dengan menghilangkan separuh populasi alam semesta. Jelas saja apabila para pahlawan super ingin menghalau ambisi makhluk asal planet Titan tersebut.
Alhasil, walau berasal dari berbagai golongan yang berbeda-beda, para pahlawan super – mulai dari Iron Man, Captain America, Black Panther, hingga Guardians of Galaxy – memutuskan menyatukan kekuatan untuk menghentikan Thanos. Walaupun sempat gagal, mereka pada akhirnya berhasil bersatu kembali dan mengalahkan penjahat super satu ini.
Mungkin, kisah persatuan yang dicontohkan oleh para Avengers ini perlu diilhami oleh kelompok-kelompok buruh. Pasalnya, kelompok-kelompok buruh di Indonesia dinilai satu musuh bersama, yakni Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Adanya lawan bersama ini akhirnya memunculkan pertanyaan mengapa suara kelompok-kelompok buruh tidak bisa tersalurkan baik dalam pemerintahan. Beberapa pihak – seperti Ketua DPP PSI Tsamara Amany – menilai bahwa buruh bisa saja perlu mendirikan partai politik sendiri agar kepentingannya dapat terwakili.
Dengan mendirikan partai politik sendiri, Tsamara menilai bahwa kelompok buruh dapat memiliki fraksi sendiri yang bisa mewakili kepentingan kelompok. Meski begitu, beberapa pihak lainnya menilai bahwa pendirian partai buruh di Indonesia akan menjadi jalan yang sulit untuk dilakukan.
Kira-kira, mengapa pendirian partai politik oleh kelompok-kelompok buruh ini bisa jadi dianggap penting untuk mewakili kepentingan mereka? Lantas, mungkinkah partai buruh yang diharap-harapkan ini berdiri di Indonesia di masa mendatang?
Kemunculan Partai Buruh?
Dengan adanya polemik RUU Ciptaker atau omnibus law akhir-akhir ini, bukan tidak mungkin politik buruh meraih momentum yang sesuai untuk mewujudkan harapan akan lahirnya partai buruh di Indonesia. Semua itu bergantung pada agenda bersama (common agenda) yang terbangun antara kelompok-kelompok buruh.
Kathleen Bawn dari University of California, Los Angeles (UCLA) bersama rekan-rekan penulisnya berusaha menjelaskan mengenai bagaimana sebuah partai politik berdiri dalam tulisan mereka yang berjudul A Theory of Political Parties.
Dalam tulisan itu, Bawn dan rekan-rekan penulisnya menjelaskan bahwa kelompok-kelompok kepentingan (interest groups), aktivis, serta koalisi antarkelompok memainkan peran penting dalam dinamika partai politik. Mereka juga memainkan peran penting bagaimana partai politik dapat terbentuk guna memengaruhi politik elektoral.
Bawn dan rekan-rekannya pun membayangkan sebuah masyarakat yang memiliki berbagai kelompok kepentingan yang ingin memengaruhi hasil pemilihan umum. Dengan kalkulasi atas kepentingan masing-masing, kelompok-kelompok ini akhirnya lebih memilih untuk bersatu – seperti dengan mendirikan partai politik – karena kesempatan yang mereka miliki akan menjadi lebih besar guna memengaruhi pemilihan umum.
Apa yang dijelaskan oleh Bawn dan rekan-rekannya ini bisa diamati dari bagaimana sejumlah partai politik berdiri. Salah satunya adalah Labour Party di Britania Raya – atau dikenal secara umum sebagai Inggris.
Paul David Webb dari University of Sussex dalam tulisannya di Britannica menjelaskan bahwa pendirian Labour Party dimulai sekitar awal abad ke-20. Pendirian itu pun sangat erat dengan politik yang dijalankan oleh serikat-serikat pekerja (trade unions).
Kala itu, kelompok-kelompok buruh merasa frustrasi karena selalu gagal mengusung calon-calon mereka melalui Liberal Party – partai yang juga mengusung reformasi sosial. Pada tahun 1900, Kongres Serikat Buruh bekerja sama dengan Independent Labour Party guna membentuk Labour Representation Committee – nantinya menjadi Labour Party pada tahun 1906.
Bukan tidak mungkin, dengan mengilhami proses pendirian Labour Party di Inggris ini, politik buruh Indonesia bisa saja merasakan adanya agenda bersama, yakni bagaimana cara aspirasi mereka dapat tersalurkan dengan baik di parlemen. Dalam hal ini, pembentukan partai buruh bisa saja bukan menjadi pilihan yang buruk.
Namun, meski ramai polemik RUU Ciptaker ini dapat menjadi momentum untuk membangun agenda bersama tersebut, kemungkinan akan berdirinya partai buruh di Indonesia dinilai akan mengalami berbagai hambatan. Lantas, apakah mungkin partai buruh dapat berdiri di negara kepulauan terbesar ini?
Politik Buruh di Indonesia
Sejumlah partai buruh sebenarnya telah berdiri di Indonesia di masa lampau. Namun, partai-partai politik berbasis buruh tersebut tampak tidak berhasil dan tidak cukup kuat untuk bertahan dalam kancah politik.
Salah satu partai buruh yang pernah berdiri adalah Partai Buruh Indonesia (PBI) pada tahun 1945-1948. Menurut Bambang Sulistyo dalam tulisannya yang berjudul Pasang Surut Gerakan Buruh Indonesia, PBI akhirnya bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena terinspirasi oleh Musso yang mengusulkan sebuah front bersama bagi perjuangan sosial.
Politik buruh yang dijalankan oleh PKI inipun mendapatkan hambatan ketika Musso memproklamasikan Republik Soviet Indonesia pada September 1948. Hal ini membuat PKI dan kelompok buruh mendapatkan backlash dari kalangan militer.
Setelah peristiwa yang diakibatkan oleh PKI tersebut, partai-partai golongan kiri – termasuk Partai Buruh Merdeka – akhirnya mengsonsolidasikan diri dan berfusi menjadi Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) yang menjadikan Tan Malaka sebagai salah satu tokoh sentral. Partai Murba sendiri akhirnya dibekukan pada tahun 1965.
Kekalahan-kekalahan gerakan buruh di Indonesia ini tidak hanya terjadi pada era pemerintahan Soekarno. Jeffrey A. Winters dalam tulisannya yang berjudul The Political Economy of Labor in Indonesia menjelaskan bahwa gerakan buruh kerap mengalami kekalahan, baik pada era Hindia Belanda pada tahun 1926 maupun pada era pemerintahan Soeharto.
Winters melanjutkan bahwa gerakan buruh juga mengalami perpecahan pada era pemerintahan Soeharto dengan kehadiran Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang dianggap memiliki afiliasi yang dekat dengan pemerintah. Momentum Reformasi juga dinilai oleh Winters gagal diambil oleh kelompok-kelompok buruh untuk memajukan politik buruh di Indonesia.
Bisa jadi, kegagalan momentum politik buruh di Indonesia ini masih berlanjut hingga kini. Pasalnya, Indonesia menjadi salah satu negara yang politik buruhnya tidak memiliki pengaruh yang besar dan tetap terpinggirkan dalam perpolitikan.
Teri L. Caraway dan Michele Ford dalam bukunya yang berjudul Labor and Politics in Indonesia menjelaskan bahwa gerakan buruh masih terfragmentasi dan terpecah. Selain itu, alih-alih membentuk partai politik atau menjalankan afiliasi dengan partai-partai politik besar, kelompok-kelompok buruh cenderung membentuk kesepakatan-kesepakatan dengan pejabat-pejabat eksekutif yang terpilih – seperti ketika Prabowo Subianto menggandeng Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dalam Pemilu 2014 dan 2019.
Caraway dan Ford juga menyebutkan beberapa faktor yang membuat gerakan dan politik buruh lemah di Indonesia. Di antaranya adalah minimnya partai politik yang secara kuat pro terhadap gerakan buruh, minimnya kemauan kelompok-kelompok buruh untuk berkoordinasi, dan banyak kelompok buruh yang enggan memobilisasi anggota-anggota untuk kepentingan elektoral.
Bukan tidak mungkin, terfragmentasinya kelompok-kelompok buruh ini menyebabkan partai buruh sulit tumbuh di Indonesia. Di sisi lain, partai buruh yang identik dengan politik kiri bisa saja mengalami penolakan dengan adanya sentimen terjadap komunisme dan PKI di masyarakat.
Bisa jadi, tidak terarahnya gerakan buruh di Indonesia ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan aktivis (activist knowledge) yang dimiliki. S.A. Hamed Hosseini dalam tulisannya yang berjudul Activist Knowledge menjelaskan bahwa pengetahuan ini merupakan dimensi gagasan dari sebuah gerakan – seperti proses-proses intelektual – dalam memahami, mengonseptualisasikan, menjelaskan, dan menganalisis pengalaman dan pengamalan praktik-pratik sosial.
Dalam hal ini, sebuah gerakan perlu memiliki proses transformasi kesadaran sosial dan pengetahuan akan gerakan mereka sendiri. Gerakan hak sipil di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1960-an, misalnya, banyak didorong oleh peran dan gagasan dari tokoh intelektual seperti Martin Luther King, Jr.
Bukan tidak mungkin, proses pembentukan knowledge yang sentral seperti ini belum dapat terbentuk dalam politik buruh Indonesia – untuk sementara ini. Mungkin, kehadiran polemik omnibus law kini bisa menjadi bagian dari proses intelektual bagi gerakan buruh.
Meski begitu, kemungkinan akan terbentuknya politik buruh yang lebih matang di masa mendatang ini belum pasti akan terjadi. Semua ini bergantung pada kemauan aktor-aktor buruh sendiri – entah bersedia membangun partai politik sendiri atau lebih memilih berkoordinasi dengan pejabat eksekutif tertentu. (A43)https://www.youtube.com/embed/216NRZd3HEk?feature=oembed