Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani menjadi sorotan publik di tengah pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) setelah diduga mematikan mikrofon salah satu anggota Fraksi Demokrat. Bagaimana ekspektasi masyarakat terhadap kehadiran politisi perempuan di parlemen?
“I do think that we’ve been taking it too much. I think we’ve been tolerating the intolerable” – Alexandria Ocasio-Cortez (AOC), Anggota DPR AS
Di abad ke-21 ini, berbagai kemajuan telah dicapai oleh umat manusia, baik soal teknologi dan ilmu pengetahuan maupun soal pembangunan berkelanjutan. Mengiringi kemajuan itu, banyak juga perubahan dan perkembangan nilai juga terjadi.
Salah satunya adalah perihal kesamaan kesempatan bagi perempuan. Pasalnya, di banyak budaya, perempuan kerap kali dianggap menjadi penduduk kelas kedua. Bahkan, persoalan ini ditengarai tetap terjadi.
Kemudian muncul lah gerakan feminisme yang menjunjung kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, serta sejumlah gender lain. Meski telah lama lahir, gerakan ini terus meraih momentum hingga kesempatan lebih banyak terbuka bagi kelompok perempuan.
Jika kita mempelajari sejarah Indonesia sendiri, upaya emansipasi perempuan juga telah dilakukan oleh sejumlah sosok yang kini bergelar sebagai pahlawan nasional. Salah satunya adalah R.A. Kartini.
Perjuangan Kartini kala era kolonial tersebut bisa jadi merupakan sebuah gebrakan sosial baru – ketika banyak dari kelompok perempuan harus mengikuti norma tertentu untuk tetap tinggal di dapur. Meski beliau berasal dari golongan bangsawan, Kartini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan yang setara untuk menuntut pendidikan.
Di era kontemporer kini, perempuan juga dianggap perlu mendapatkan kesempatan di lebih banyak bidang, termasuk di bidang politik. Tidak dapat dipungkiri kini banyak politisi perempuan yang hadir di panggung politik, baik nasional maupun internasional.
Di Amerika Serikat (AS), misalnya, ada sosok Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS Nancy Pelosi dari Partai Demokrat yang dikenal kritis terhadap pemerintahan Donald Trump. Selain Pelosi, AS juga memiliki seorang politikus Demokrat perempuan yang masih muda yang dikenal dengan nama Alexandria Ocasio-Cortez (AOC).
Tidak hanya AS, kemunculan figur-figur politisi perempuan berpengaruh ini juga datang dari Britania Raya (atau Inggris). Salah satu politikus perempuan yang makin didengar suaranya adalah Zarah Sultana yang merupakan anggota parlemen dari Partai Buruh.
Keteguhan Pelosi, AOC, dan Sultana ini setidaknya menumbuhkan keinginan bagi masyarakat Indonesia. Bukan tidak mungkin, negara kepulauan terbesar ini juga membutuhkan sosok politikus perempuan yang berpengaruh.
Harapan itu akhirnya disebut segera terwujud pada Oktober 2019 lalu ketika Puan Maharani terpilih menjadi Ketua DPR. Bahkan, tidak sedikit orang mulai membandingkan Puan dengan Pelosi.
Meski begitu, banyak warganet merasa harapan itu kandas dengan viral-nya video Puan yang mematikan mikrofon salah satu anggota Fraksi Demokrat dalam pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) beberapa waktu lalu.
Polemik ini tentu menyisakan sejumlah pertanyaan. Mengapa politisi perempuan memiliki peran penting dalam isu-isu sosial dan politik? Lantas, mampukah Puan memenuhi ekspektasi peran politisi perempuan tersebut?
Perempuan dan Politik Kiri
Kemunculan para politisi perempuan seperti AOC dan Sultana tidak lepas dari pergeseran gap gender di bidang politik. Pasalnya, semakin ke sini, politisi perempuan semakin identik dengan politik yang bergerak dalam isu-isu sosial (atau politik kiri).
Setidaknya, asumsi ini muncul melalui studi yang dilakukan di Eropa Barat dan sebagian Amerika Utara. Dalam studi yang dilakukan oleh Rosalin Shorrocks tersebut, dijelaskan bahwa kelompok perempuan – khususnya kelompok muda – lebih memiliki preferensi politik yang mengarah pada politik kiri.
Pergeseran kaum perempuan ke arah politik kiri ini juga dijelaskan oleh Lena Edlund dan Rohini Pande dari Columbia University dalam tulisan mereka yang berjudul Why Have Women Become Left-Wing?. Setidaknya, Edlund dan Pande menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan gap politik di kaum perempuan.
Beberapa di antaranya adalah faktor sosial yang disebabkan oleh menurunnya jumlah pernikahan. Fenomena sosial ini – menurut Edlund dan Pande – membuat kelompok perempuan menjadi lebih tidak beruntung, khususnya kelas menengah.
Alhasil, kelompok perempuan menengah lebih terekspos pada persoalan-persoalan sosial. Bukan tidak mungkin, tumbuhnya tendensi perempuan kelas menengah terhadap politik kiri ini memunculkan kekuatan politik baru di kaum perempuan.
AOC, misalnya, disebut besar di kalangan menengah ke bawah. Belum lagi, politikus Demokrat satu ini berasal dari kelompok minoritas, yakni komunitas hispanik.
Kemunculan AOC ini tidak hanya satu-satunya di AS. Kini, Kongres AS juga memiliki tiga anggota perempuan lainnya yang dikenal vokal, yakni Ilhan Omar, Rashida Tlaib, dan Ayanna Pressley.
Bersama AOC, para anggota Kongres perempuan ini dikenal sebagai The Squad. Mirip seperti AOC, mereka juga berasal dari komunitas minoritas yang cenderung terpinggirkan di masyarakat AS.
Selain itu, kemunculan AOC sendiri disebut-sebut telah memberikan disrupsi bagi peta politik AS. Disrupsi ini dikenal dengan istilah “AOC effect”.
Efek AOC ini disebut-sebut telah membuat Partai Demokrat AS menjadi semakin progresif. Dengan pengaruhnya yang kuat, AOC secara tidak langsung juga menginspirasi banyak politisi perempuan progresif lainnya, seperti Tiffany Cabán dari New York, AS.
Bila politisi perempuan dapat mengambil peran yang luas di peta politik AS dan negara-negara Eropa lainnya, bagaimana dengan Indonesia? Dapatkah Puan mengisi peran politisi perempuan seperti mereka?
Kegagalan Representasi?
Kehadiran AOC, Sultana, Omar, dan politisi perempuan lainnya yang terjadi di AS dan Inggris sepertinya akan sulit terjadi juga di Indonesia. Pasalnya, peta politik Indonesia disebut telah dikuasai oleh kelompok tertentu.
Sebenarnya, kehadiran politisi perempuan di parlemen Indonesia juga telah meningkat. Dalam tulisan milik Sally White dan Edward Aspinall dari Australian National University (ANU) yang berjudul Why Does a Good Woman Lose?, disebutkan bahwa representasi perempuan meningkat pada Pemilu 2019 lalu dari 17,3 persen menjadi 20,9 persen.
Meski dianggap jauh dari harapan 30 persen, White dan Aspinall menilai bahwa peningkatan ini merupakan kemajuan bagi inklusi perempuan dalam perpolitikan Indonesia. Namun, walau peningkatan ini cukup signifikan, para aktivis cemas bahwa peningkatan partisipasi perempuan ini tidak akan membawa banyak perubahan.
Persoalannya adalah siapa politisi perempuan yang terpilih dan sumber apa yang dimiliki. Meski jumlah kandidat perempuan melimpah, hanya politikus tertentu yang mendapatkan kesempatan dan terpilih.
White dan Aspinall mengungkapkan bahwa politisi perempuan yang terpilih justru adalah mereka yang memiliki koneksi keluarga – atau dikenal politik dinasti – dengan kekuatan-kekuatan politik lama. Ini juga diungkapkan oleh Puskapol Universitas Indonesia yang menyebutkan bahwa 41 persen politisi perempuan di DPR memiliki koneksi politik dinasti.
Walaupun sebagian dari mereka memiliki kapabilitas yang mumpuni, hal ini dinilai menjadi penghambat bagi terwujudnya representasi perempuan sepenuhnya. Kegagalan representasi oleh perempuan-perempuan yang ‘baik’ ini dinilai mempersulit terwujudnya representasi susbtantif (substantive representation).
Istilah yang sama juga disebutkan oleh Beth Reingold dalam bukunya yang berjudul Representing Women. Reingold menjelaskan bahwa peningkatan representasi perempuan di lembaga legislatif merupakan hal yang baik.
Namun, peningkatan representasi tersebut bisa saja terjebak dalam apa yang disebut sebagai representasi deskriptif (descriptive representation). Bagi Reingold, untuk benar-benar mewakili kelompok perempuan – dan kelompok lainnya – dengan mewujudkan representasi substantif, perwakilan harus benar-benar mementingkan kepentingan dan aspirasi kelompok yang diwakili.
Mungkin, inilah yang tengah berusaha diwujudkan di AS dengan kemunculan politisi perempuan seperti AOC dan kawan-kawan. AOC sendiri dikenal dengan pidato-pidatonya yang menggambarkan situasi nyata yang ada di masyarakat.
Berkaca dari sini, harapan akan munculnya AOC ala Indonesia bisa jadi merupakan mimpi yang masih sulit tercapai – apalagi kini muncul polemik RUU Ciptaker yang dianggap tidak melibatkan suara masyarakat. Mungkin, insiden yang ditunjukkan oleh Puan beberapa waktu lalu menjadi pematah akan mimpi tersebut. (A43)