Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) – atau dikenal sebagai omnibus law – oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu menimbulkan polemik di masyarakat. Mungkinkah pengesahan yang dinilai mendadak ini telah disiapkan sejak lama?
“It’s a war of attrition. If you have patience and a modicum of faith in yourself, your chances are not too bad” – Julie Bowen, aktris asal Amerika Serikat (AS)
Para penggemar komik, film, dan seri pahlawan-pahlawan super pasti tidak asing dengan sosok manusia meta yang memiliki kecepatan luar biasa. Flash, pahlawan super besutan DC Comics, merupakan sosok pahlawan super yang memiliki keunikan sendiri dibandingkan rekan-rekannya – seperti Superman, Aquaman, atau Wonder Woman.
Bagaimana tidak? Tidak seperti pahlawan-pahlawan super tersebut yang memiliki kekuatan dari planet atau kekuatan mistis lainnya, Flash mendapatkan kekuatannya dari insiden ilmiah.
Flash sendiri menjadi semakin unik ketika dirinya ternyata bisa melakukan perjalanan waktu, baik ke masa depan maupun ke masa lalu. Keunikan ini justru malah membawa malapetaka, seperti kemunculan musuh bebuyutannya yang bernama Reverse-Flash.
Mengikuti Flash yang pergi ke masa lalu, Reverse-Flash malah menyiapkan segala hal guna memunculkan Flash baru di masa tersebut. Segala persiapan dilakukan seperti dengan membunuh ibu Flash, mengambil identitas seorang ilmuwan terkemuka, hingga menyiapkan ledakan akselerator partikel yang ‘menginfeksi’ Central City.
Siapa yang tahu ternyata rangkaian peristiwa tersebut telah direncanakan secara teliti dan hati-hati oleh Reverse-Flash. Bahkan, Flash yang baru pun tidak menyadari bahwa serangkaian peristiwa itu dilakukan untuk mempersiapkan dirinya agar dapat mengantarkan Reverse-Flash ke masa asalnya.
Kisah yang disajikan dalam sebuah seri yang berjudul The Flash (2014-sekarang) ini mungkin dapat memberikan gambaran juga akan berbagai peristiwa di dunia nyata. Pasalnya, polemik pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) – atau omnibus law – disebut-sebut sesuatu hal yang dipersiapkan dalam waktu yang cukup lama.
Setidaknya, asumsi seperti ini diungkapkan oleh Sekretaris Nasional PILNET Indonesia Erwin Natosmal Oemar. Menurutnya, pengesahan RUU Ciptaker merupakan upaya yang satu paket dengan pengesahan peraturan-peraturan sebelumnya, seperti revisi Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK), revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru.
Erwin menilai bahwa rangkaian kebijakan ini merupakan bagian dari kebijakan politik hukum yang diterapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, mantan Wali Kota Solo tersebut dinilai menjadikan ekonomi sebagai panglima dalam pemerintahannya.
Bila apa yang dibilang Erwin ini benar, pertanyaan-pertanyaan lain pun dapat muncul. Strategi apa yang mungkin saja diterapkan dalam menyiapkan rangkaian politik hukum tersebut? Mengapa pemerintahan Jokowi menerapkan strategi serupa?
Strategi Atrisi?
Dengan berbagai persiapan rangkaian kebijakan tersebut, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi telah menerapkan strategi yang biasa digunakan dalam peperangan atrisi (attritional warfare). Strategi seperti ini biasa dilakukan dalam jangka waktu yang panjang.
Penggunaan strategi dalam perang atrisi semacam ini pernah dijelaskan oleh John Joseph Mearsheimer – profesor Hubungan Internasional di University of Chicago – dalam bukunya yang berjudul Conventional Deterrence. Dalam buku tersebut, disebutkan tiga jenis strategi perang, yakni strategi atrisi (attrition strategy), strategi dengan tujuan terbatas (limited aim strategy), dan blitzkrieg.
Strategi atrisi biasanya digunakan apabila kedua belah pihak tidak memiliki disparitas kekuatan dan sumber yang tidak terlalu jauh. Maka dari itu, strategi jangka panjang untuk ‘melucuti’ kemampuan pihak lain diperlukan.
Mearsheimer menjelaskan bahwa – meski disparitas sumber tidak terlalu jauh – pemenang strategi ini adalah mereka yang memiliki sumber lebih banyak. Dengan kata lain, mereka yang memiliki sumber dan kekuatan yang lebih sedikit akan semakin kehilangan kemauan dan kemampuan untuk melanjutkan perlawanan.
Strategi semacam ini biasanya digunakan dan dibahas dalam studi perang dan militer. Lukas Milevski dalam tulisannya yang berjudul Grand Strategy is Attrition menyontohkan beberapa contoh penggunaan strategi dalam sebuah perang, seperti pada Perang Dunia I di mana kubu Sekutu dan kubu Sentral saling berhadapan di Front Barat.
Kala itu, pertempuran di antara kedua belah pihak dianggap mencapai deadlock (jalan buntu) karena kekuatan di antara keduanya tidak memiliki disparitas yang signifikan. Alhasil, masing-masing pihak tetap melakukan manuver-manuver kecil agar kemampuan dan kemauan lawannya dapat berkurang.
Sejalan dengan penjelasan Mearsheimer, Milevski menjelaskan bahwa atrisi merupakan upaya untuk mengurangi kemampuan lawan, baik secara material atau psikologis, melalui akumulasi penyerangan (accumulation of damage). Maka dari itu, prosesnya dapat berjalan dengan sangat lambat dan terkadang memakan sumber yang cukup besar.
Selain itu, strategi atrisi ini juga dapat disebut sebagai strategi kumulatif – mengingat hasil taktiknya dapat terakumulasi. J. C. Wylie – ahli strategi dari Amerika Serikat (AS) – menjelaskan bahwa strategi kumulatif merupakan peperangan (warfare) yang polanya diisi oleh kumpulan aksi-aksi kecil yang belum tentu interdependen satu sama lain.
Bila strategi atrisi (atau kumulatif) ini bisa mengantarkan pemenang pada hasil akhir dalam jangka panjang, apakah mungkin pemerintahan Jokowi juga menggunakan strategi semacam ini dalam hal pengesahan RUU Ciptaker? Lantas mungkinkah kemampuan dan kemauan gerakan demonstrasi untuk menolak omnibus law dapat berkurang?
Perang Kognitif?
Meski strategi atrisi semacam ini kerap digunakan dalam studi perang dan militer, pola taktik-taktik yang terkumpul menjadi satu bisa saja ditemukan dalam pengesahan omnibus law ini – seperti yang disebut oleh Erwin. Bisa jadi, dengan begitu, gerakan penolakan terhadap RUU Ciptaker ini dapat berkurang seiring berjalannya waktu.
Apa yang disebut oleh Erwin bisa saja benar. Pasalnya, kini muncul perdebatan terkait apakah mungkin judicial review di MK dapat membatalkan RUU Ciptaker – mengingat pemerintah dan DPR juga telah memberlakukan UU MK yang baru.
Dalam UU MK yang baru tersebut, ketentuan tidak lanjut atas putusan yang tercantum dalam Pasal 59 disebut dihapus – memunculkan anggapan bahwa pemerintah dan DPR tidak wajib menindaklanjuti putusan MK. Meski begitu, sejumlah pakar hukum telah memberikan penjelasan bahwa penghapusan pasal tersebut tidak menghilangkan kewajiban pemerintah dan DPR.
Namun, di luar perdebatan tersebut, muncul juga anggapan bahwa revisi UU MK ini bisa saja menimbulkan beban budi di kalangan hakim-hakim MK terhadap pemerintah dan DPR. Pasalnya, revisi tersebut dianggap menguntungkan dan memperpanjang masa jabatan para hakim.
Terlepas dari benar atau tidaknya keterkaitan revisi UU tersebut dengan RUU Ciptaker, strategi atrisi sebenarnya juga telah digunakan oleh pemerintahan Jokowi. Bagaimana pun juga, seperti yang dijelaskan Milevski, atrisi bisa juga menjadikan kemauan (psikologis) sebagai sasaran.
Dalam hal ini, pemerintah bisa saja menggunakan taktik dalam perang kognitif (cognitive warfare) guna menurunkan keinginan kelompok-kelompok penolak untuk menggagalkan omnibus law. Hal ini terlihat dari bagaimana narasi-narasi tertentu telah disematkan pada para pedemo.
Beberapa di antaranya adalah penumpang gelap, dalang asing, hingga penyebar disinformasi (hoaks). Bisa jadi, label-label seperti ini membuat gerakan penolakan semakin hati-hati karena dapat memengaruhi persepsi masyarakat dalam proses-proses kognitif tertentu.
Perry L. Moriearty dan William Carson dalam tulisan mereka yang berjudul Cognitive Warfare and Young Black Males in America menjelaskan bahwa label-label yang disematkan itu dapat membentuk persepsi publik atas suatu objek atau individu. Dengan persepsi itu, publik dapat memunculkan skema pikiran yang berujung pada perasaan kognitif (stereotip) dan perasaan afektif (prasangka).
Efek dari label-label tersebut pun mulai terlihat dari sejumlah rencana demonstrasi yang akhirnya dibatalkan karena kekhawatiran tertentu. Gerakan Buruh Jakarta (GBJ), misalnya, mengurungkan niat demonstrasi karena takut dicap buruk oleh masyarakat akibat adanya dugaan penumpang gelap.
Bukan tidak mungkin, berbagai taktik-taktik ini – mulai dari revisi UU MK hingga penggunaan label – dapat menjadi upaya atrisi terhadap gerakan demonstrasi. Pasalnya, kemauan dan kemampuan gerakan ini semakin ke sini dapat semakin berkurang.
Meski begitu, gambaran kemungkinan yang dijelaskan di atas belum tentu benar mendasari kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi. Yang jelas, seperti apa yang kutipan dari Julie Bowen di awal tulisan, perang atrisi bisa saja dimenangkan bila ada kesabaran dan keyakinan. Mari kita nantikan saja kelanjutannya. (A43)