Pecahnya kerusuhan yang mendatangkan korban pada 22 Mei 2019 lalu menjadi gambaran kegagalan Jokowi melakukan pendekatan politik kepada Prabowo. Beberapa pihak juga menyebutkan bahwa hal ini menjadi penanda ketidakmampuan tokoh-tokoh jembatan lama, seperti Luhut Pandjaitan dan Jusuf Kalla, untuk mencegah terjadinya konflik yang sesungguhnya merupakan muara pertentangan di tingkatan elite. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
“There are good people in the lobbying industry. Lobbyists can serve a very useful purpose”.
:: Kevin Spacey, aktor dan produser asal AS ::
Kerusuhan yang menyebabkan 8 orang tewas tersebut memang menjadi lembaran kelam pelaksanaan Pemilu di tahun ini – terlepas dari berbagai dugaan konspirasi yang mencuat di belakangnya. Pasalnya, hal ini menandai belum mampunya demokrasi di Indonesia berjalan pada koridor yang aman dan damai.
Apalagi, dugaan adanya pihak-pihak yang menunggangi kerusuhan tersebut membuat banyak pertanyaan lahir terkait identitas demokrasi yang faktanya tidak lagi berdiri murni di atas kedaulatan rakyat, tetapi di atas kepentingan sekelompok orang atau elite tertentu.
Dengan konteks polarisasi politik yang saat ini terjadi dan melibatkan dua kubu, munculnya kerusuhan tersebut sangat mungkin menjadi bukti kegagalan titik temu, termasuk ketiadaan penghubung yang bisa menjadi jembatan antara Joko Widodo (Jokowi) sebagai petahana dengan Prabowo Subianto sebagai penantang.
Konflik di 22 Mei menunjukkan kegagalan JK memainkan posisi the lobbyist. Dirinya dan Luhut Pandjaitan tampaknya terbentur pada dua hal yang berbeda dan tak mampu mengatasi kesulitan – juga mungkin hasrat – yang muncul kala itu. Share on XKetiadaan penghubung antara Prabowo dan Jokowi ini nyatanya bisa berdampak buruk, terutama dalam konteks kesamaan pemahaman akan situasi politik yang terjadi. Pasalnya, dua tokoh ini menjadi sentral politik nasional dalam 5 tahun terakhir, sehingga tanpa adanya komunikasi politik yang sehat, kekacauan politik di tingkatan masyarakat paling bawah sangat mungkin terjadi.
Komunikasi tersebut penting bukan hanya dalam konteks mengetahui keinginan masing-masing kubu saja, tetapi juga agar mampu mewujudkan solusi damai yang tidak menimbulkan gesekan serta kericuhan politik yang tidak terkontrol.
Jatuhnya korban jiwa dan aksi massa pada 22 Mei memang menunjukkan bahwa jembatan penghubung antara Prabowo dan Jokowi tersebut tidak ada. Hal ini berbeda dengan kondisi politik yang terjadi sejak 2014 lalu, pun di sekitaran aksi-aksi massa jelang Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, di mana jembatan-jembatan politik antara Jokowi dan Prabowo bisa berfungsi dengan baik.
Jika diperhatikan secara seksama, salah satu sosok yang cukup mampu menjadi penghubung antara Jokowi dan Prabowo sebetulnya adalah Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Berbekal kedekatan masa lalu dengan Prabowo, Luhut memang seharusnya mampu menjadi jembatan bagi dua kubu dan mencegah terjadinya korban.
Sementara, sosok lain yang seharusnya bisa menjadi jembatan adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang juga cukup dekat dengan Prabowo. JK adalah orang yang mengusulkan agar Anies Baswedan diusung oleh Prabowo pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Belakangan, pasca kerusuhan terjadi, barulah JK bertemu dengan Prabowo – hal yang seharusnya sudah terjadi sebelum-sebelumnya, jika pemerintah memang benar-benar telah mendapatkan informasi intelijen terkait potensi kerusuhan.
Tidak berjalannya pendekatan politik yang dilakukan oleh Luhut dan JK ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa baik sosok Menko Kemaritiman maupun Wapres tak bisa menjadi penengah untuk mencegah konflik pasca Pemilu kali ini?
Kegagalan the Lobbyists Jokowi?
Orang-orang yang menjadi penghubung dalam konteks pemerintahan memang biasa disebut sebagai the lobbyist atau pelobi yang melakukan lobi-lobi kepentingan. Istilah ini sebetulnya mengarah pada aktor-aktor dari luar yang berperan dalam pembentukan aturan hukum atau kebijakan publik, katakanlah di lembaga legislatif atau sejenisnya.
Namun, pelobi ini bisa dimaknai secara lebih luas sebagai orang atau aktor yang bisa menjadi penjembatan kepentingan orang atau kelompok tertentu agar difasilitasi oleh lawan atau kubu tertentu.
Jimmy Williams dalam salah satu tulisannya di Vox mengisahkan bagaimana kariernya selama 6 tahun menjadi the lobbyist untuk banyak pengusaha, termasuk untuk Carl Ichan – orang yang pernah diangkat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebagai penasihat ekonomi dan finansialnya, sekaligus yang disebut-sebut memiliki saham di Freeport Indonesia.
Kala itu, Williams bertugas menjadi jembatan agar regulasi atau kebijakan yang dibuat di Kongres AS tidak berbenturan dengan kepentingan kliennya.
Dalam konteks yang lebih besar, apa yang dijalankan oleh Jimmy Williams itu tidak berbeda dengan fungsi pelobi dalam hubungan antar faksi politik. Ibaratnya, jika ada dua kerajaan yang akan berperang, pelobi ini adalah sosok penting yang akan menentukan apakah perang tersebut benar-benar terjadi – yang dalam konteks tertentu tentu akan menimbulkan kerugian jika menyebabkan jatuhnya korban jiwa – atau ujung perbedaan kepentingan yang terjadi bisa diselesaikan secara damai.
Dengan kata lain aktivitas lobbying tersebut melibatkan negosiasi kepentingan yang oleh I. William Zartman disebut sebagai cara untuk menyatukan sudut pandang yang berbeda demi mendapatkan persetujuan yang sepadan untuk masing-masing kubu.
Idealnya, keberadaan pelobi dalam politik internal sebuah negara tentu saja untuk mencegah agar konflik horizontal yang berakar dari perbedaan kepentingan di tingkat elite tidak terjadi. Dalam konteks polarisasi politik nasional yang terjadi di seputaran Pilpres 2019, hal ini tentu sangat penting demi mencegah benturan masyarakat yang bisa berujung pada konflik sipil di antara masing-masing pendukung pasangan yang berkontestasi.
Nama Luhut Binsar Pandjaitan adalah salah satu sosok yang bisa menjadi pelobi Jokowi saat berhubungan dengan kubu Prabowo. Berbekal rekam jejaknya di militer yang dekat dengan Prabowo, tentu menjadi keuntungan politik tersendiri bagi Jokowi jika menggunakan sang jenderal untuk berkomunikasi dengan lawan politiknya itu.
Luhut adalah “abang” atau senior Prabowo di Kopassus. Ia pernah menjabat sebagai Komandan Detasemen 81/Anti Teror dengan Prabowo sebagai wakilnya. Keduanya pun tercatat pernah berbisnis bersama.
Sebagai pelobi, Luhut cukup berhasil menjalankan perannya. Sebelum terjadinya Aksi 411 pada 2016 lalu, pertemuan Jokowi dan Prabowo disebut-sebut terjadi berkat prakarsa Luhut.
Konteks tersebut penting untuk diperhatikan, mengingat kedua aksi protes besar tersebut terjadi dengan cukup aman dan damai. Artinya, Luhut berhasil menekan potensi konflik yang mungkin timbul dengan lawan-lawan politik Jokowi, dalam hal ini Prabowo.
Emirza Adi Syailendra dari S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) dalam salah satu tulisannya juga menyebutkan bahwa Luhut adalah orang yang berjasa mengubah peta politik antara Jokowi dengan elite-elite nasional lain, misalnya di DPR saat awal-awal kekuasaan Jokowi.
Ia disebut berhasil mengubah arah politik Golkar berkat kedekatannya dengan Setya Novanto yang kemudian membawa gerbong partai beringin itu ke koalisi Jokowi.
Artinya, Luhut memang adalah pelobi ulung bagi Jokowi. Lalu, mengapa ia gagal menjalankan perannya pada Pilpres 2019?
Ada banyak alasan yang bisa dianggap sebagai faktor kegagalan Luhut. Salah satunya adalah terkait persepsi lawan politik – dalam hal ini kubu Prabowo – terhadap sang jenderal yang kelihatannya sudah cukup berubah. Luhut yang awalnya bisa diterima Prabowo, belakangan terlihat kehilangan “keistimewaan” tersebut.
Selain itu, petinggi-petinggi kubu Prabowo tampak membatasi alur komunikasi terhadap kubu Jokowi – hal yang bisa dilihat dalam pernyataan-pernyataan Fadli Zon dan kawan-kawannya.
Padahal, Luhut sejak selesai hari pemungutan suara sudah diminta Jokowi untuk bertemu Prabowo. Namun, benteng di sekitar Prabowo masih cukup kuat menghalangi – setidaknya kalau dibaca dari pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh di benteng tersebut.
Bab Akhir Para Pelobi
Sosok lain yang seharusnya bisa menjadi penghubung Jokowi dan Prabowo adalah Wapres JK. Namun, Daeng Ucu – demikian nama kecilnya – yang sebenarnya punya kedekatan dengan Prabowo tidak melakukan hal tersebut.
JK baru bergerak dan bertemu Prabowo pasca kerusuhan di Bawaslu dan beberapa titik lain di Jakarta tersebut menjadi penghias layar kaca serta disiarkan layaknya film-film laga.
Politisi senior yang dulu terkenal dengan jargon “lebih cepat lebih baik” ini, entah mengapa justru mengambil sikap yang cenderung lambat dalam kasus ini.
Terlepas dari siapa pun pihak yang menjadi dalang kerusuhan tersebut, jika pendekatan pra-konflik bisa dilakukan dengan baik – misalnya oleh JK – maka potensi eskalasi konflik menjadi lebih cepat diredam, pun proses penyelesaiannya.
Karena hal tersebut tidak dilakukan, banyak pihak yang malah berspekulasi bahwa JK cenderung oportunis menyikapi keadaan yang terjadi – sekalipun hal ini masih sulit dibuktikan kebenarannya. Pasalnya, jika Jokowi jatuh dari posisi puncak kekuasaan, maka JK bisa mengambil alih kekuasaan – hal yang tentu saja menguntungkan bagi mantan Ketua Umum Golkar itu.
Yang jelas, terjadinya konflik juga menunjukkan kegagalan JK memainkan posisi the lobbyist. Dirinya dan Luhut Pandjaitan tampaknya terbentur pada dua hal yang berbeda dan tak mampu mengatasi kesulitan – juga mungkin hasrat – yang muncul kala itu.
Jika demikian, apa yang harus dilakukan oleh Jokowi?
Jawabannya adalah kembali mempertegas posisi pelobi ini. Mungkin hal ini bisa dilakukan dengan menemukan tokoh lain sebagai pengganti.
Beberapa sosok yang bisa menjalankan fungsi tersebut adalah Try Sutrisno yang belakangan kerap muncul bersama Jokowi. Berbekal senioritas dan background-nya di militer, sangat mungkin mantan Wakil Presiden tersebut bisa menjadi jembatan Jokowi dan Prabowo.
Try juga adalah sosok yang sangat dihormati, terutama di kalangan para petinggi dan purnawirawan militer. Persoalannya adalah tinggal apakah keputusan tersebut berani diambil Jokowi atau tidak.
Pada akhirnya, kerusuhan 22 Mei menunjukkan bahwa Prabowo memiliki benteng pelindung yang kuat. Persoalannya tinggal siapa yang akan berinisiatif membuka kembali jembatan komunikasi dengan menempatkan sosok pelobi yang bisa menjadi penghubung. Sebab, seperti kata Kevin Spacey di awal tulisan, para pelobi memiliki peran yang sangat penting. (S13)