HomeNalar PolitikRusia, Sekutu Lebih Baik?

Rusia, Sekutu Lebih Baik?

Rusia seringkali tidak memberi syarat seberat AS dalam menjalin kerja sama pertahanan.


PinterPolitik.com

Demam “Russophobic (fobia Rusia)” tampak menyelimuti sebagian besar negara-negara dunia. Banyak negara-negara di dunia memilih sangat berhati-hati sebelum memutuskan menjalin hubungan dengan pemerintahan Kremlin itu.

Di benak banyak orang, Rusia digambarkan sebagai negara yang penuh dengan kekejaman. Film-film spionase dan perang dari Hollywood seringkali menggambarkan negara terluas di dunia itu, sebagai negara yang kerap menghabisi lawannya tanpa memberi ampun sama sekali.

Sikap sadis dan kejam ini, misalnya digambarkan oleh Inggris dalam kasus serangan racun kepada agen ganda di tanah Negeri Ratu Elizabeth. Inggris mengecam tindakan tersebut dan meminta dunia internasional, termasuk Indonesia, untuk menangkal langkah Rusia tersebut.

Meski digambarkan mengerikan, Rusia nyatanya tidak pernah kekurangan teman. Negara-negara seperti Tiongkok, Iran, atau Suriah, terlihat menikmati hubungan mereka dengan Moskow. Pemerintahan di Kremlin pun tampak setia mendukung sahabat-sahabatnya tersebut.

Berteman dengan dunia Barat, seperti Inggris atau Amerika Serikat, memang memberi manfaat. Akan tetapi, jika melihat hubungan Rusia dengan negara sekutunya, perlukah Indonesia juga meningkatkan kemesraan dengan negara tersebut? Apakah Rusia akan menjadi sekutu yang lebih baik bagi Indonesia?

Membangun Kemesraan Jakarta-Moskow

Secara historis, hubungan antara Jakarta dan Moskow telah terjalin cukup lama. Kala itu, Rusia masih menjadi bagian dari Uni Soviet. Presiden Soekarno memang dikenal sejarah sebagai presiden yang lebih dekat dengan kubu Soviet.

Hubungan diplomatik antara Jakarta dan Moskow, pertama kali terjalin secara resmi pada 3 Februari 1950. Salah satu kerja sama paling awal poros ini adalah soal peremajaan senjata Indonesia. Hubungan ini terus berlanjut melalui lawatan Soekarno ke Moskow.

Pada tahun 1956, Soekarno melakukan kunjungan pertamanya ke ibukota Uni Soviet tersebut. Pemimpin Soviet saat itu, Nikita Khrushchev memberikan dukungan kepada Indonesia untuk membebaskan Irian Barat. Mereka memberikan persenjataan yang cukup untuk membebaskan wilayah tersebut dari genggaman Belanda.

Rusia, Sekutu Lebih Baik?
Presiden Soekarno dan Pemimpin Soviet Nikita Krushchev. (Foto: Time)

Hubungan kedua negara lama-kelamaan semakin mesra. Pada tahun 1961, Soekarno melakukan kunjungan kedua kalinya ke Negeri Beruang Merah tersebut. Beberapa pengamat menilai, Soviet saat itu mengharapkan Indonesia dapat menjadi sekutu mereka, baik dari segi militer maupun ideologi.

Mesranya Jakarta dan Moskow ini disinyalir membuat Washington kebakaran jenggot. Di tengah upaya mereka mengurangi pengaruh komunisme di Asia, Indonesia justru menjalin kemesraan dengan Soviet yang saat itu mengusung ideologi berbau komunis. Beberapa sejarawan menyebut, inilah yang menyebabkan Soekarno ditarget CIA untuk dilengserkan.

Pasca Soekarno lengser, kemesraan ini seolah-olah pudar. Orde Baru di bawah Soeharto tidak banyak melanjutkan kerja sama yang dibangun oleh Soekarno. Secara formal, kedua negara memang masih berhubungan, tetapi tidak pada tingkat yang sama seperti di era Soekarno.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Sahabat yang Setia

Jika melihat kiprah Kremlin di dunia internasional, mereka memiliki sejumlah sekutu abadi di berbagai penjuru dunia. Rusia tergolong cukup piawai membangun hubungan baik dengan sejumlah negara di seluruh dunia.

Beberapa negara yang kerap diidentikkan dengan negara pecahan Uni Soviet ini, misalnya adalah India, Iran, Suriah, Kuba, atau Tiongkok. Beberapa negara memang menjalin hubungan baik dengan Rusia karena kepentingan politik tertentu. Hal serupa berlaku bagi Rusia, mereka menjalin hubungan dengan negara tertentu umumnya untuk membendung pengaruh AS di wilayah tersebut.

Meski diwarnai kepentingan, nyatanya Moskow tergolong sekutu yang setia bagi negara-negara tersebut. Berbagai rezim mampu bertahan karena mendapat restu dari Kremlin. Salah satu yang paling mengemuka adalah rezim Bashar Al-Assad di Suriah.

Rezim Assad di Suriah seolah tidak tergoyahkan. Ada banyak kelompok milisi pemberontak yang menginginkan Assad jatuh, nyatanya rezim itu tidak juga tumbang. Hal ini disebut-sebut karena dukungan Kremlin terutama dalam bentuk persenjataan untuk melawan para pemberontak.

Di luar Suriah, Rusia juga tergolong rajin membantu India. Negara yang terletak di Asia Selatan itu telah menikmati alat-alat perang Rusia sejak tahun 1947. Rusia juga membantu India dengan menggunakan hak veto dalam isu Kashmir di PBB.

Pemerintahan di Kremlin juga cenderung lebih stabil ketimbang adidaya lain di Gedung Putih. Rusia cenderung jarang mengalami perubahan kebijakan ekstrem seperti AS. Di AS, pergantian rezim dari satu partai ke partai lainnya dapat mengubah kebijakan luar negeri secara drastis.

Meski menggelar Pemilu, hasil akhir dari pemilihan di Rusia hampir selalu dapat ditebak sejak awal. Dalam beberapa tahun terakhir, jabatan presiden di Negeri Beruang Merah tersebut dipegang oleh Vladimir Putin. Kemenangan Putin pada Pemilu yang berlangsung baru-baru inipun, sudah bukan hal yang mengagetkan lagi.

Hal ini membuat kebijakan luar negeri Kremlin amat jarang berubah. Jarangnya perubahan kebijakan ini, tentu juga bermanfaat bagi negara-negara sekutu yang terus menikmati kemesraan dengan Moskow.

Kerja Sama Militer yang Lebih Untung

Seorang pejabat tinggi militer AS, Jenderal Joseph L. Votel pernah mengungkap bahwa Negeri Paman Sam ini terancam kehilangan pengaruhnya di hadapan banyak negara. Hal ini dikarenakan banyak negara memilih untuk membeli senjata dari Rusia. Menurut pejabat tersebut, kondisi ini terjadi karena harga senjata dari negara tersebut lebih murah ketimbang buatan AS.

Baca juga :  Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Selain lebih murah, Kremlin juga umumnya memberikan persyaratan lebih mudah kepada negara pembeli. Berbeda dengan Washington, Moskow cenderung tidak memberikan pra-syarat politik tertentu kepada negara yang akan membeli senjata mereka.

Sementara AS, umumnya memberikan persyaratan politik seperti penegakan HAM atau demokrasi sebelum memberi bantuan militer. Persyaratan ini pernah beberapa kali menyulitkan Indonesia untuk mendapatkan senjata dari Negeri Paman Sam.

Rusia, Sekutu Lebih Baik?
Menlu Rusia Sergey Lavrov dan Menlu Indonesia Retno Marsudi. (Foto: AFP)

Indonesia misalnya, pernah ditimpa embargo oleh AS pada tahun 1995 hingga 2005. Hal ini dilakukan karena Indonesia dianggap telah melakukan pelanggaran HAM di Timor Timur.

Hal ini berbeda dengan Rusia. Mereka cenderung tidak begitu mempedulikan persyaratan politik, seperti penegakan HAM ala AS. Moskow seringkali tampak bermurah hati dalam melakukan jual beli senjata dengan Indonesia.

Sikap “murah hati” Rusia ini terlihat misalnya saat di tahun 1950-an. Indonesia amat membutuhkan persenjataan baru, karena peralatan tempur Indonesia saat itu masih tergolong sisa Perang Dunia II. Indonesia sempat memberikan proposal kepada AS, namun ditolak karena khawatir akan digunakan untuk melawan Belanda. Proposal ini kemudian dialihkan ke Rusia yang masih berada di bawah bendera Uni Soviet.

Berbeda dengan AS, Soviet menyanggupi proyek peremajaan senjata Indonesia tersebut. Tidak hanya menyanggupi permintaan, Soviet juga membantu pengembangan teknologi dan pengetahuan Indonesia di bidang militer.

Sikap ini ternyata terus berlanjut dalam beberapa kesempatan. Dalam kesepakatan pembelian pesawat Sukhoi beberapa waktu lalu misalnya, tidak banyak persyaratan politik yang diminta oleh Negeri Beruang Merah tersebut.

Tidak hanya persyaratan yang mudah, negara terluas di dunia tersebut juga memberikan transfer pengetahuan kepada Indonesia dalam penggunaan alutsista itu. Hal ini berbeda dengan AS yang tergolong pelit melakukan transfer pengetahuan.

Negara tersebut juga membebaskan Indonesia untuk membangun tempat pemeliharaan suku cadang di tanah air. Hal ini tergolong amat menguntungkan bagi Indonesia. negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam misalnya, menggunakan Sukhoi dari Rusia. Pemeliharaan suku cadang kedua negara tersebut bisa dilakukan di Indonesia, sehingga memberikan keuntungan tersendiri.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, terlihat bahwa Rusia tergolong sebagai negara yang bersahabat, terutama dari segi pertahanan. Jika sudah begini, haruskah Indonesia membatasi hubungan dengan Barat dan meresmikan diri sebagai sekutu Rusia? (H33)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...