“Perubahan kondisi global menuju ‘a new normal’ menciptakan gejolak dan tekanan yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi domestik.” – Sri Mulyani
PinterPolitik.com
[dropcap]R[/dropcap]upiah terus-menerus terpuruk akibat keperkasaan dolar AS. Beberapa waktu terakhir, mata uang negeri ini harus takluk dan menyentuh angka Rp 15.200-an. Level itu adalah capaian terburuk rupiah sejak terjadinya krisis keuangan di tahun 1998.
Masyarakat dilanda kebingungan terkait dengan kondisi tersebut. Spekulasi merebak, apakah Indonesia akan terseret ke dalam pusaran krisis? Memori masyarakat langsung memutar pengalaman buruk di tahun 1998 di mana kondisi ekonomi benar-benar terpukul. Belum lagi, ada ungkapan tentang krisis 10 tahunan yang bisa menjadi ancaman besar. Tokoh-tokoh politik Indonesia dari kalangan oposisi juga tak henti-hentinya mengkritik pemerintah.
Nyatanya, di tengah kebingungan masyarakat tersebut, pemerintah sebagai pembuat kebijakan ekonomi utama tampak santai-santai saja. Pejabat-pejabat seperti menteri keuangan hingga Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tampak tidak menanggapi berlebihan kondisi rupiah yang terlihat ambruk. Menkeu Sri Mulyani bahkan selalu hadir di media dengan ungkapannya bahwa kondisi saat ini tengah mengarah menuju kondisi “new normal” atau normal baru.
Istilah new normal mungkin bukan istilah yang normal didengar orang normal. Lalu, mengapa istilah ini sering kali menyertai pernyataan pejabat ekonomi tentang ekonomi? Adakah maksud khusus yang ingin dicapai lewat istilah tersebut?
Normal Baru
Sri Mulyani tergolong rajin menggunakan istilah new normal, normal baru atau yang sepadan dengan itu. Pernyataan ini sering kali terlontar ketika bendahara negara tersebut diminta menjawab pertanyaan tentang kondisi rupiah yang terus-menerus tercecer di belakang dolar AS.
Tidak hanya Sri Mulyani, pejabat lain seperti Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso juga mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, rupiah akan bergerak menuju level fundamental yang disebut sebagai new normal.
Sy tentu sangat bisa salah, namun sy tak melihat bahwa kita akan kembali ke krisis 1998. Yg terjadi saat ini sebenarnya adalah kembalinya dunia kepada situasi normal baru (new normal).
— M. Chatib Basri (@ChatibBasri) September 6, 2018
New normal sendiri sebuah istilah yang tergolong fleksibel tergantung konteksnya. Umumnya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi-kondisi ekonomi terutama pasca krisis atau resesi yang memiliki dampak perubahan cukup besar.
Istilah itu digunakan misalnya oleh Mohamed El-Erian untuk memperingatkan pasar bahwa ekonomi pasca-krisis tidak akan kembali ke kondisi terakhirnya. Normalisasi ekonomi akan berjalan dengan lebih kompleks dan tidak pasti. El-Erian menggambarkan bahwa dalam kondisi tersebut, ekonomi tidak memantul kembali. Alih-alih kembali, tidak hanya terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi saja, tetapi kesenjangan juga terus memburuk.
Menurut Per Jacobsen, konsep new normal digunakan bukan untuk menangkap apa yang seharusnya terjadi, melainkan apa yang mungkin terjadi. Hal ini terkait dengan konfigurasi faktor nasional dan global.
Secara khusus, new normal belakangan ini dikaitkan dengan berakhirnya kondisi abnormal yang diakibatkan oleh kebijakan bank sentral AS atau The Fed. Menguatnya perekonomian negeri Paman Sam itu memang membuat bank sentralnya harus melakukan normalisasi.
Istilah Fleksibel
Meski lazim digunakan untuk perkara ekonomi, bisnis dan keuangan, istilah new normal sebenarnya juga tergolong fleksibel untuk digunakan pada urusan lain. Urusan sosial, lingkungan, hingga politik sering kali dapat dikaitkan dengan istilah tersebut.
Dalam perkara lingkungan misalnya, Gubernur California Jerry Brown pernah menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan munculnya bencana kebakaran hutan. Brown menyebut banyak orang harus membiasakan dengan kebakaran tersebut karena itu adalah hal normal baru di masa depan.
Anggapan Brown tersebut menuai sejumlah kritik dari berbagai lapisan masyarakat termasuk dari Crystal Kolden dari University of Idaho. Ia menyebut bahwa hal tersebut bukanlah the new normal, akan tetapi merupakan sebuah tangga awal menuju kondisi yang lebih ekstrem.
Hal yang serupa berlaku untuk urusan politik. New normal ini misalnya digunakan untuk menggambarkan perubahan arah politik dunia yang terjadi belakangan ini. Salah satu yang dianggap sebagai new normal itu misalnya adalah kemenangan Donald Trump di AS.
New normal dalam politik juga dapat ditarik secara umum dalam bentuk munculnya kekuatan politik kanan jauh yang menjadi begitu dominan di seluruh dunia. Terlihat ada perubahan radikal dalam politik dunia dan ada kemungkinan bahwa hal itu tidak akan kembali ke kondisi semula.
Tak hanya itu, dalam kadar tertentu skandal dalam politik juga sering kali menjadi salah satu ragam dari penggunaan istilah new normal. Hal ini digambarkan misalnya dalam penelitian yang dilakukan oleh Ester Pollack, Sigurd Allern, Anu Kantola dan Mark Orsten.
Mereka menemukan bahwa dalam urusan skandal politik, ada perubahan standar dari para pejabat publik saat menghadapi masalah. Dalam penelitian tersebut digambarkan bahwa ternyata angka pejabat yang mengalami skandal mengalami kenaikan. Akan tetapi, di saat yang bersamaan, angka pejabat publik yang mengundurkan diri akibat skandal tersebut justru mengalami penurunan.
Dalam konteks ini new normal dalam sebuah kesalahan memunculkan standar baru di mana para pejabat tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan yang mereka perbuat. Alih-alih bertanggung jawab, melakukan skandal boleh jadi telah menjadi standar baru atau hal normal baru dalam politik.
Menormalkan Masalah?
Berdasarkan kondisi tersebut, pernyataan tentang rupiah menuju new normal dapat dilihat dari berbagai sisi. Pertama adalah bahwa boleh jadi benar akan ada normalisasi terkait dengan berbagai kondisi perekonomian dunia sehingga akan muncul titik ekuilibrium baru.
Di sisi yang lain, pemberian istilah new normal ini juga memiliki masalah tersendiri jika pelabelan ini setara dengan pernyataan Jerry Brown terkait dengan kebakaran hutan. Bisa saja pemerintah seperti Brown menganggap remeh suatu kondisi genting padahal dapat memiliki dampak buruk di masa depan.
Urusan rupiah yang terus melemah ini jika mengambil analogi kasus Brown maka bisa saja bukan tergolong ke dalam normal baru. Terus melemahnya rupiah justru bisa saja menjadi tangga awal dari kondisi yang lebih ekstrem.
Jawabannya Deputi Menko Ekonomi ini kayanya mulai dg narasi baru, “new normal” – pelemahan (Rupiah) itu bukan ancaman, justru perlu dimanfaatkan.
New Normal. Really? This is normal?
— gus haye (@_haye_) July 5, 2018
Secara politik, boleh jadi memberi istilah new normal terhadap terperosoknya rupiah ini merupakan bentuk dari langkah pemerintah untuk tidak terlalu bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut. Hal ini merujuk pada kondisi new normal secara politik yang diungkapkan oleh Pollack, Allern, Kantola, dan Orsten.
Skandal, atau dalam konteks ini adalah krisis yang dialami rupiah akan dianggap sebagai standar baru bagi negeri ini. Padahal, hal tersebut sebenarnya adalah hal yang bisa memiliki potensi bahaya jika dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja.
Apakah new normal rupiah itu benar-benar normal? Share on XBerdasarkan kondisi-kondisi tersebut, akan sangat ideal jika pemerintah tidak terus-menerus memberi normalisasi berlebihan terhadap kondisi rupiah yang kian hari terlihat kian lemah. Bukan tidak mungkin, ada sesuatu yang lebih besar jika pemerintah terus menganggap hal itu sebagai hal yang normal.
Di titik ini, pemerintah bisa saja tengah melakukan politics of denial yang menurut Michael A. Milburn dan Sheree D. Conrad adalah bentuk penolakan negara terhadap sesuatu yang menyakitkan. Politics of denial ini kerap kali menjadi bencana bagi mereka yang mencoba menutupi suatu masalah yang ada.
Jika benar bahwa menormalkan rupiah adalah bagian dari politics of denial, maka pemerintah harus benar-benar berhati-hati. Pasalnya bukan satu negara saja yang gagal mengidentifikasi masalah sehingga berujung krisis. New normal tidak bisa dijadikan tameng jika pemerintah tidak berusaha keras melawan keperkasaan dolar AS. (H33)