Site icon PinterPolitik.com

Hati-Hati Rupiah, Menuju 1998?

Hati-Hati Rupiah, Menuju 1998?

Foto: Berita.live

 “There’s one overwhelming fact about crises: mainstream economists do not see them coming.” – Chris Dillow


Pinterpolitik.com

[dropcap]N[/dropcap]ilai tukar mata uang negara-negara berkembang alias emerging markets kembali mengalami tekanan pada beberapa waktu terakhir. Ambrolnya nilai tukar mata uang negara-negara berkembang ini seolah membawa kembali ingatan ke tahun 2013 silam. Kala itu, muncul sebutan Fragile Five alias negara-negara yang paling menderita nilai tukar mata uangnya terhadap dolar AS. Negara tersebut adalah Brasil, India, Indonesia, Afrika Selatan, dan Turki.

Namun, kali ini pelemahan nilai tukar mata uang juga menyebar ke negara-negara berkembang lainnya, misalnya Argentina, Rusia, Meksiko, hingga Iran.

Artinya, jika fundamental ekonomi Indonesia dikatakan baik, seharusnya rupiah bisa menangkis serangan dolar AS. Share on X

Sementara itu, nilai tukar rupiah kian hari kian tak berdaya terhadap dolar AS. Bahkan rupiah terperosok hingga menyentuh level Rp 15.029 per dolar AS pada penutupan perdagangan hari Selasa.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah kenapa ekonomi Indonesia semakin terpuruk? Apa ada kemungkinan terburuk dari kondisi ini?

Kondisi Argentina dan Turki Pengaruhi Indonesia

Faktanya, krisis Turki dan Argentina turut merugikan perekonomian Indonesia dan melemahkan rupiah. Ketika krisis pasar keuangan di dua negara ini menyebar melalui pasar global yang sedang berkembang, Indonesia merasakan dampak lebih dari rekan-rekannya di Asia.

Krisis mata uang tersebut mengurangi minat investor untuk berinvestasi pada pasar negara berkembang yang berisiko, di mana hal ini mendorong eksodus investasi ke tempat yang relatif aman di pasar negara maju. Artinya, ada kemacetan arus modal asing yang masuk.

Selain itu, Indonesia adalah salah satu dari beberapa pasar negara berkembang di Asia yang mengalami defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Data terbaru menunjukkan bahwa defisit tersebut melesat ke titik tertinggi dalam empat tahun terakhir. Defisit yang lebar ini menjadi perhatian para investor. Indikator ekonomi di Indonesia akan menjadi pertimbangan bagi investor asing untuk menaruh dananya di Tanah Air.

Meskipun demikian, dilihat dari sisi perdagangan, tampak kondisi Argentina dan Turki ini tak banyak mempengaruhi neraca perdagangan Indonesia. Sebab, hubungan dagang Indonesia pada kedua negara tersebut sangat minim.

Jadi, efeknya lebih akan terasa pada sektor finansial melalui aliran modal. Adanya respon negatif dari investor ini akan menyeret pasar keuangan Indonesia. Hal itu akan menyebabkan terjadinya capital outflow atau arus modal yang keluar dan akhirnya menekan nilai tukar rupiah.

Faktor Internal Memperburuk Keadaan

Baik tidaknya kondisi ekonomi Indonesia harus dilihat secara menyeluruh, tidak bisa dari satu sisi semata. Pernyataan pemerintah yang selalu menitikberatkan pelemahan rupiah pada faktor eksternal terlihat seperti menutup sebelah mata. Padahal ada juga faktor internal yang lebih mendasar dan menuntut penanganan komprehensif.

Sering masyarakat mendengar bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat untuk menahan laju depresiasi rupiah. Fundamental ekonomi ini kerap menjadi rujukan bagi penjelasan kondisi perekonomian secara keseluruhan. Lantas apa yang dimaksud dengan fundamental ekonomi tersebut? Apakah memang fundamental ekonomi itu baik-baik saja seperti yang diklaim pemerintah?

Fundamental ekonomi merupakan pendekatan yang lazim digunakan untuk memprediksi perubahan kurs mata uang asing. Pada prinsipnya, analisis fundamental ini mempelajari dan mengevaluasi berbagai variabel ekonomi makro yang berpengaruh terhadap perubahan kurs. Indikator makro ini misalnya pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca transaksi berjalan, neraca perdagangan, dan utang luar negeri.

Teori penentuan nilai tukar (exchange rate determination) Dornbusch Overshooting Model dapat menjelaskan fenomena pelemahan nilai tukar yang jauh dari keseimbangan fundamentalnya. Teori tersebut menjelaskan bahwa dalam jangka pendek, nilai tukar dapat menjauh (melemah) dari nilai fundamentalnya.

Dasar dari teori tersebut adalah adanya asumsi bahwa peningkatan permintaan agregat akan lebih berdampak pada inflasi dibanding pada peningkatan output, dalam hal ini adalah Produk Domestik Bruto (PDB).

Dengan teori Overshoting Dornbusch itu, bisa dilihat kondisi ekonomi AS cenderung stabil dan menuju arah positif sejak recovery akibat krisis keuangan global tahun 2008. Indikator makro seperti inflasi dan pengangguran menunjukkan sinyal baik. Daya beli masyarakat juga sudah mulai baik, walaupun hal itu malah berpotensi meningkatkan inflasi. Untuk meredam potensi itu, The Fed menaikkan tingkat suku bunga dalam rangka stabilisasi.

Nyatanya, tren pelemahan kurs rupiah ini juga diakibatkan oleh perilaku The Fed yang menaikkan suku bunga acuan, selain karena adanya perang dagang antara AS dan Tiongkok.

Di sisi lain, dan hal ini yang lebih penting, adalah dimensi internal kondisi ini. Ada faktor dari dalam yang turut melanggengkan kondisi ekonomi Indonesia semakin terpuruk. Salah satu yang harus mendapat perhatian adalah defisit transaksi berjalan. Data Bank Indonesia per akhir kuartal II 2018 menunjukkan transaksi berjalan mengalami defisit mencapai US$8 miliar atau setara 3 persen terhadap PDB. Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II 2014 yang saat itu menyentuh 4,3 persen terhadap PDB.

Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani bahwa transaksi berjalan adalah titik lemah ekonomi Indonesia. Neraca transaksi berjalan itu sendiri adalah alat ukur terluas untuk perdagangan internasional yang mencakup transaksi barang, jasa, pendapatan faktor produksi (dari aset dan tenaga kerja), dan juga transfer uang.

Kalau sebuah negara mencatat defisit transaksi berjalan, berarti negara ini menjadi peminjam dari negara-negara lain di dunia dan karenanya membutuhkan modal atau aliran finansial untuk membiayai defisit ini.

Melebarnya defisit transaksi berjalan ini membuat lemah fundamental makro ekonomi. Sri Mulyani juga mengakui defisit transaksi berjalan dan neraca pembayaran secara keseluruhan merupakan momok atas rentannya Indonesia terhadap sentimen eksternal.

Perlu diketahui, sejak awal tahun pemerintah telah menguras cadangan devisa sebesar US$ 13,68 miliar untuk menutupi defisit tersebut. Terjadinya defisit transaksi berjalan dan neraca perdagangan membuat pasokan dolar Amerika Serikat di pasar domestik seret. Selain karena devisa hasil ekspor berkurang, para eksportir juga enggan melepaskan dolar AS yang mereka miliki. Rangkaian kondisi tersebut membuat rupiah babak belur di hadapan dolar AS.

Saat Ini Lebih Buruk?

Pergunjingan ihwal kondisi ekonomi saat ini dengan krisis 1998 membawa kekhawatiran di tengah masyarakat. Baik pemerintah, ekonom, maupun masyarakat luas coba menganalisa dua kondisi yang sebetulnya berbeda ini.

Banyak yang menyebut bahwa saat ini kondisinya lebih baik. Hal itu diukur dari presentase depresiasi atau pelemahan kurs rupiah, cadangan devisa, pertumbuhan ekonomi, inflasi, kemiskinan, dan pengelolaan utang luar negeri.

Dari indikator di atas memang kondisi saat ini lebih baik. Namun ada fakta yang perlu diperhatikan dari head to head dua waktu berbeda itu. Tahun 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 3,09 miliar, sementara pada 1998 neraca perdagangan justru surplus sebesar US$ 21,5 miliar.

Kondisi ini mengamini pendapat ekonom Rizal Ramli, yang menyebut bahwa pada tahun 1998, meski dilanda krisis Indonesia mendapat manfaat positif dari melonjaknya peningkatan ekspor yang dampaknya baik untuk mendorong perekonomian dalam negeri. Sementara saat ini, Indonesia tidak bisa mendapatkan keuntungan sebesar itu dari ekspor. Malahan, impor justru tumbuh lebih tinggi dibanding ekspor yang membuat neraca perdagangan lebih banyak mengalami defisit sejak awal tahun.

Dari sini sebenarnya bisa dilihat bahwa struktur ekonomi Indonesia lemah. Kelemahan itu merepresentasikan naiknya tingkat kerawanan terhadap gejolak eksternal. Artinya, jika fundamental ekonomi Indonesia dikatakan baik, seharusnya rupiah bisa menangkis serangan dolar AS. Kunci untuk penangkalan sentimen negatif ini ada pada orientasi ekspor.

Jika ingin mengamankan kondisi perekonomian, jalan yang perlu ditempuh adalah dengan meningkatkan kualitas ekspor. Bisa diambil contoh, negara seperti Taiwan dan Korea Selatan relatif kuat menghadapi kondisi ini karena dua negara tersebut berorientasi pada ekspor. Dengan perdagangan yang kuat, keduanya bisa menghimpun cadangan devisa yang besar, sehingga membuat mata uang mereka stabil.

Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute Haryo Kuncoro turut memberikan analisa terkait urgensi ekspor untuk menangani “darurat” defisit transaksi berjalan. Ia menyebut Indonesia perlu meningkatkan kualitas ekspor non-migas, yakni dari bahan mentah ke produk olahan.

Memang pengenaan pajak impor pada seribuan macam barang konsumsi dan penerapan campuran bahan bakar minyak dengan minyak sawit 20 persen (B20) bisa meredam laju impor. Tapi, dari sisi nilai, cara ini tidak terlalu signifikan dalam menutup defisit transaksi berjalan.

Secara psikologis, memang ekonomi saat ini tidak ada masalah, apalagi dilengkapi data-data yang menunjukkan kondisi saat ini lebih baik ketimbang krisis 1998. Tapi, penurunan rupiah ke angka Rp 15.000 per dolar AS membuka batas psikologi baru.

Tren penurunan rupiah yang terus berlanjut ini, mau tidak mau, harus diakui membuat Indonesia memasuki masa krisis. Tidak mudah membalikkan kecenderungan ini ke kondisi semula. Sama tidak mudahnya untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah jika kurs tidak kunjung menunjukkan ke arah penguatan.

Menggunakan Bahasa Rizal Ramli, saat ini Indonesia telah memasuki “lampu kuning”, sehingga perlu cermat dan hati-hati dalam melangkah. Jika kondisi seperti ini tidak segera diatasi, tidak menutup kemungkinan risiko terburuk akan menghantui Indonesia. (A37)

 

Exit mobile version