Meme foto Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengenakan pakaian adat suku Dani di Papua yang diunggah Ruhut Sitompul menuai banyak kecaman. Peristiwa itu dinilai sebagai serangan rasial. Lantas, mungkinkah unggahan Ruhut tersebut justru menuai simpati bagi Anies yang digadang-gadang jadi kandidat di Pilpres 2024?
Hadirnya media sosial (medsos) dalam kehidupan masyarakat sehari-hari membuat meme semakin populer dalam beberapa dekade terakhir. Media sosial berperan penting menyebarkan informasi, termasuk meme. Meski menjadi bagian dari budaya populer saat ini, meme rupanya mempunyai akar makna yang filosofis.
Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene, memperkenalkan istilah meme yang dibaca mim ini sebagai sebuah terminologi yang diadaptasi dari bahasa Yunani, mimema, yang berarti meniru. Dalam suatu budaya, meme dapat mengambil berbagai bentuk, seperti ide, keterampilan, perilaku, frasa, atau mode tertentu.
Pengertian meme dari Dawkins berfokus pada persoalan kebudayaan, yakni bagaimana budaya direplikasi oleh orang atau kelompok masyarakat. Konsep meme yang kita kenal sehari-hari memperlihatkan proses ketika satu orang menyalin satu unit informasi budaya yang terdiri dari meme dari orang lain. Sehingga dalam kenyataannya, meme bisa menjadi hiburan, tetapi di sisi lain juga dapat menyinggung.
Salah satu meme yang berdampak negatif baru-baru ini ialah foto Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengenakan pakaian adat suku Dani di Papua. Meme yang diunggah oleh Ruhut Sitompul pada akun Twitter miliknya mendapat banyak kecaman dari warganet.
Tudingan rasis dan dianggap sebagai ekspresi permusuhan politik pun disematkan kepada Ruhut Sitompul. Hal ini masuk akal, karena Ruhut sebagai seorang politisi, dikenal berseberangan pandangan politiknya dengan Anies.
Meme Anies, yang menurut pengakuan Ruhut didapat dari kiriman temannya itu, ditambahkan kalimat yang juga menyebut-nyebut etnis Betawi. Sontak apa yang diunggah Ruhut dianggap sebagian orang sebagai imajinasi yang dipenuhi intensi terhadap seseorang atau etnis tertentu.
Ruhut yang selama ini mengaku dan mengkampanyekan nasionalisme, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Pancasila justru dinilai memiliki sikap rasis. Ruhut juga dinilai menjadikan budaya Papua sebagai bahan lelucon.
Riano P. Ahmad, Ketua Umum Badan Musyawarah (Bamus) Betawi, bahkan mendesak Ruhut agar minta maaf atas unggahan meme Anies memakai baju adat Papua. Riano mempersoalkan kata Betawi dalam keterangan foto Anies yang diunggah Ruhut di akun Twitternya.
Menurut Riano, tindakan Ruhut Sitompul itu seolah membenturkan antarsuku bangsa. Menurutnya, itu dikhawatirkan memunculkan sentimen rasis. Bamus Betawi pun mendukung penuh pihak kepolisian menyelidiki motif di balik penyebaran foto hoaks tersebut.
Lantas, bagaimana melihat fenomena sosial tentang dugaan serangan rasial terhadap Anies tersebut?
Rasial Berubah Jadi Simpati?
Persoalan meme Anies bukanlah serangan yang bernada rasis pertama buatnya. Sebelumnya, terdapat juga video seorang pemuda yang mengatakan baliho bergambar Anies dengan sebutan ‘Orang Yaman’.
Jika dilihat secara umum, gelombang rasialisme marak terjadi di media sosial. Serangan rasialisme dilancarkan terhadap sejumlah tokoh politik dengan niatan awal memperburuk citra politik. Tapi kenyataan yang terjadi sebaliknya, isu rasial sering terkonversi menjadi simpati bagi tokoh tersebut.
Karena dianggap sebagai korban yang teraniaya, serangan terhadap Anies akan menggugah simpati dan dukungan publik. Ditambah dengan pernyataan-pernyataan maupun framing kejadian, membuat simpati publik makin melimpah.
Peristiwa ini seringkali muncul dan dinilai cukup ampuh untuk menggiring opini masyarakat. Permainan kata-kata, serta taktik cantik dan cerdik memang terbukti banyak mengelabui dan digunakan dalam berbagai situasi. Seringkali simpati muncul dari kondisi maupun keadaan yang tak terduga.
Fenomena sosio-politik ini mempunyai ide yang sama saat menyaksikan serial La Casa de Papel atau Money Heist karya sutradara Alex Pina. Salah satu bagian dari serial ini menampilkan fenomena munculnya empati masyarakat kepada sekelompok penjahat.
Siapa yang menduga bahwa masyarakat akan mendukung penjahat? Menonton film ini membuat kita seolah harus memilih, apakah pro polisi atau El Professor dan rekan-rekannya. Persepsi publik berhasil dimainkan oleh peran protagonis utama, yaitu El Professor.
Keberhasilan mereka bukan hanya didukung strategi yang apik, akan tetapi dukungan dari masyarakat yang muak dengan perilaku elite birokrasi.
Bisa jadi, konteks dukungan tidak terduga yang berawal dari simpati dapat menghampiri Anies. Kita tahu Anies sejauh ini juga merupakan salah satu dari nama tokoh yang masuk dalam bursa calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Rüdiger Schmitt-Beck dan David M. Farrell dalam bukunya Do Political Campaigns Matter?, menggambarkan terbentuknya kecenderungan dukungan politik dari efek sentimen pemilih untuk mendukung calon alternatif yang diperkirakan akan kalah, karena selalu diserang oleh kekuatan besar.
Bahkan calon alternatif ini, bagi Schmitt-Beck dan Farrell, dapat menjadi variabel penentu kemenangan. Dikarenakan kekuatan menakjubkan dari fenomena bandwagon effect alias efek ikut-ikutan, dapat mendorong berbagai pihak ikut mendukung Anies karena melihat derasnya dukungan terhadapnya.
Dengan demikian, meskipun sampai saat ini Anies masih diam untuk tidak merespons isu rasial tersebut, tapi bandwagon effect yang berawal dari simpati akan mengarah kepadanya. Karena sifat dasar dari dukungan ini bersifat alamiah, maka secara alami tanpa desain, dukungan akan bereaksi terhadap peristiwa simpati tersebut.
Memaknai Dukungan Anies
Banyak masyarakat yang menolak meme Anies berpakaian Papua yang diunggah oleh Ruhut. Suka atau tidak, ini dapat menjadi indikasi bahwa dukungan terhadap Anies itu nyata adanya. Simpulan ini dapat dibuktikan menggunakan semiotika, yakni metode untuk memahami tanda.
Meski istilah semiotika banyak dipakai di dunia kesusastraan dan kebahasaan, tapi sebagai sebuah keilmuan, semiotika bisa digunakan untuk melihat interaksi dan korelasi sosial, berdasarkan sistem penandaan dalam kehidupan manusia.
Upaya untuk menjawab pertanyaan di atas dapat menggunakan sebuah teori semiotika pragmatis yang dipopulerkan oleh filsuf Charles Sanders Peirce. Semiotika Peirce menaruh titik tekan terhadap persoalan pragmatis atau kegunaan.
Kita dapat menginterpretasi bahwa maraknya protes terhadap sikap Ruhut yang mengunggah meme Anies, mempunyai tanda bahwa masyarakat mendukung Anies. Ruhut dari PDIP menjadi simbol kekuasaan, sedangkan Anies dipersepsikan sebagai simbol di luar rezim penguasa.
Di sinilah Anies berpotensi dianggap kuat karena merupakan figur yang berasal dari luar lingkaran pemerintahan Jokowi. Artinya, fenomena meme ini bukan hanya bicara pada tataran personal, melainkan juga merupakan pertarungan nilai-nilai, termasuk pertarungan struktur kekuasaan.
Faktor etis lain dari fenomena meme Anies ini dapat juga kita lacak dari pemilihan memakai pakaian adat Papua. Pertanyaannya tentu satu, mengapa pakaian adat Papua yang digunakan?
Dalam kacamata semiotika Peirce, jika meme itu ditujukan sebagai simbol peyoratif, maka pakaian adat Papua dimaksudkan sebagai makna negatif atau sebagai simbol kerendahan.
Jika benar demikian, tentu ini sangat disayangkan karena Pancasila adalah nilai luhur yang menghargai perbedaan tanpa diskriminasi, apalagi bersifat rasial.
Well, sebagai penutup, terlepas dari pemaknaan fenomena meme Anies ini diartikan sebagai apa, perlu sejenak kita renungkan bahwa bangsa ini sekiranya perlu kembali mengenang budaya politik santun yang diajarkan oleh para pendiri bangsa.
Mereka tidak sedikitpun menggunakan bahasa bernada rasial untuk menyerang lawan politiknya. (I76)