Kasus Ferdy Sambo telah memasuki babak baru setelah berkas perkara dilimpahkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung) kemarin. Terdapat satu hal yang menarik di balik proses penegakan hukumnya, yakni pergeseran konsentrasi keadilan dari fragmentasi tertentu ke arah keadilan yang benar-benar diinginkan semua pihak.
Ferdy Sambo dan tersangka pembunuhan berencana plus perintangan proses hukum (obstruction of justice) kasus Brigadir J kini telah mengenakan rompi baru berwarna merah pasca resmi menjadi tahanan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Itu setelah penyidik Bareskrim Mabes Polri melimpahkan berkas perkara kasus tersebut ke Korps Adhyaksa pada hari Rabu kemarin.
Satu per satu tersangka ditampilkan ke hadapan awak media. Sambo dan sang istri Putri Candrawathi menjadi yang pertama muncul. Kemudian, Setelahnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung menampilkan tersangka Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal secara bersamaan.
Satu tersangka pembunuhan berencana lainnya, Richard Eliezer menjadi yang terakhir untuk ditampilkan ke publik.
Selanjutnya, JPU menampilkan dua tersangka obstruction of justice yakni Hendra Kurniawan dan Agus Nur Patria.
Sementara empat tersangka terakhir ditampilkan Kejagung secara bersamaan. Mereka adalah Baiquni Wibowo, Chuck Putranto, Irfan Widyanto, dan Arif Rahman Arifin.
Nantinya, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan akan menjadi tempat Ferdy Sambo Cs. diisidangkan, baik kasus pembunuhan berencana maupun obstruction of justice. Itu sebagaimana dijelaskan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejagung Fadil Zumhana.
Fadil juga memastikan tidak ada pemindahan lokasi sidang sebagaimana yang disampaikan oleh Komisi Yudisial (KY).
Dengan perkembangan tersebut, walaupun terkesan agak lamban, proses perkara kasus pembunuhan Brigadir J nyatanya terus berproses.
Artinya, empat kali ultimatum Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kasus yang mencoreng institusi Polri itu untuk dibuka apa adanya mulai menunjukkan hasil.
Mengenai arahan kepala negara, agaknya terdapat satu yang luput dari pemberitaan, yakni mengenai efek kebijakan spesifik Presiden Jokowi selama ini. Kemungkinan, itu yang secara tidak langsung membuat progresivitas proses pengungkapan kasus Brigadir J dapat berjalan dengan semestinya. Benarkah demikian?
Efek Jokowi?
Sejak menjabat sebagai RI-1, Presiden Jokowi memang tampak membawa harmoni dalam berbangsa dan bernegara.
Itu misalnya diimplementasikan dalam fokusnya mengakselerasi pembangunan fisik dan non-fisik, termasuk hingga ke Indonesia bagian Timur. Pembangunan non-fisik kemudian menjadi kata kunci yang menjadi kredit poin bagi mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Ya, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, pembangunan sosial-budaya, utamanya dalam harmoni keberagaman cukup dijunjung tinggi.
Selain mengakomodasi minoritas dalam aspek pembangunan, penunjukan sosok nonmuslim untuk mengemban jabatan tertinggi di institusi negara kiranya juga menjadi hal positif yang dilakukan Presiden Jokowi.
Salah satunya adalah ditunjuknya Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi Kapolri.
Awalnya, riak resistensi muncul ke permukaan di awal terobosan Presiden Jokowi itu. Penolakan demi penolakan muncul, terlebih posisi Jenderal Sigit adalah aparat penegak hukum.
Muncul pertanyaan yang berkaitan dengan moralitas, misalnya, asumsi bahwa Kapolri Muslim pun belum tentu berlaku adil terhadap Muslim, lantas bagaimana dengan yang nonmuslim?
Itu mengindikasikan bahwa kala itu, terdapat asumsi filosofis mengenai baik atau buruk (moralitas) ditentukan oleh agama.
Lawrence M. Hinman dalam bukunya yang berjudul Ethics: A Pluralistic Approach to Moral Theory menyebutkan asumsi tersebut sebagai ethics of divine commands atau etika yang berdasar atas perintah ilahi. Itu kerap disebut juga sebagai divine command theory.
Meskipun telah menjadi etika umum yang dipraktikkan, namun divine command theory memiliki tantangannya tersendiri, misalnya, pertanyaan perihal diversitas nilai agama yang tidak jarang saling menegasi.
Menurut Hinman, konsekuensi praktis atau benang merah positif dari pertanyaan itu ialah ada atau tidaknya tuhan, hal baik tetap ada.
Hal tersebut mengacu pada maksim pragmatisme (pragmatic maxim) dari filsuf Amerika Serikat (AS) Charles Sanders Peirce yang menyebutkan dua buah teori – atau lebih – yang tidak memiliki perbedaan secara praktis, sejatinya tidak memiliki perbedaan filosofis.
Singkatnya, persoalan apakah Jenderal Sigit akan berlaku baik atau adil, pada dasarnya tidak berkaitan dengan latar belakang agamanya, melainkan pada persoalan sejauh apa komitmennya terhadap moralitas.
Secara praktis, dalam isu kontemporer, serangkaian kinerja positif Polri dalam Kasus Sambo kiranya menunjukkan bahwa keputusan pengangkatan Jenderal Sigit menunjukkan tangan dingin Presiden Jokowi atas perhatiannya terhadap pluralisme dan profesionalitas.
Itu dikarenakan, dalam kasus Sambo, baik korban, pelaku utama pembunuhan berencana, hingga pengacara korban kebetulan merupakan nonmuslim.
Menariknya, ada fenomena ketika publik tanah air, termasuk masyarakat beragama Muslim juga mendorong agar pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir J berjalan dengan sebaik-baiknya.
Lalu, fenomena apakah yang kiranya cukup positif bagi progresivitas harmoni masyarakat di tanah air itu?
Tuntutan Lebih Luas?
Kasus pembunuhan Brigadir J kiranya memberikan efek dan mencakup dimensi yang begitu luas.
Jika diistilahkan, fenomena tekanan publik agar kasus Brigadir J diusut tuntas kiranya sejalan dengan efek kupu-kupu (butterfly effect)yang dicetuskan oleh seorang ahli matematika dan meteorologis Amerika, bernama Edward Norton Lorenz.
Efek kupu-kupu merupakan bagian dalam teori kekacauan yang berhubungan dengan “ketergantungan yang peka terhadap kondisi awal”. Secara sederhana, perubahan kecil di suatu tempat dalam suatu sistem tidak linear dapat mengakibatkan perbedaan besar bagi keadaan lain nantinya.
Istilah Lorenz merujuk pada pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brasil dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.
Dengan kata lain, sedikit perubahan pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis berjalannya sebuah sistem dalam jangka panjang.
Jika ditelaah, tidak hanya kasus Sambo, keputusan Presiden Jokowi menunjuk Jenderal Sigit sebagai Kapolri kiranya memantik efek yang lebih luas bagi inklusivitas penegakan hukum seadil-adilnya.
Itu sekaligus menimbulkan semacam fenomena yakni larutnya fragmentasi berbasis sosial, politik, dan keagamaan yang jamak terjadi di Indonesia sebelumnya.
Secara spesifik, Profesor Gayus Lumbuun menyiratkan analisis secara umum mengenai fenomena di masyarakat dalam kasus pembunuhan Brigadir J.
Mantan Hakim Agung itu menggunakan konsep social justice, yakni bentuk keadilan di mana masyarakat luas bersama-sama bersuara menuntut hak dan bersolidaritas mengkritik secara terbuka demi memperjuangkan nilai-nilai keadilan hukum.
Tanpa saling memandang latar belakang tiap individu, social justice menjadi gelombang tuntutan yang efektif dan konstruktif dalam proses pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir J.
Meskipun disuarakan oleh minoritas, nyatanya tuntutan agar kasus Brigadir J dibuka sejelas-jelasnya disokong penuh oleh berbagai kalangan, termasuk masyarakat Muslim.
Kendati demikian, social justice harus berjalan beriringan dengan legal justice, yakni penegakan keadilan yang sama bagi setiap individu berdasarkan aturan hukum serta pertimbangan hakim.
Oleh karena itu, diharapkan gelar perkara kasus pembunuhan Brigadir J di pengadilan benar-benar akan menjawab gelombang perhatian serta tuntutan masyarakat luas.
Selain itu, diharapkan pula agar inklusivitas gelombang solidaritas social justice serupa dapat terjadi dalam kasus-kasus lain. Tentunya ini demi terciptanya persatuan dan harmoni di antara masyarakat secara berkesinambungan. (J61)