Site icon PinterPolitik.com

Romantisme “Daripada” Soeharto

Romantisme “Daripada” Soeharto

Soeharto menjadi presiden paling berhasil versi survei Indo Barometer. (Foto: AP)

Survei Indo Barometer mengungkapkan bahwa Soeharto adalah presiden paling berhasil di negeri ini. Nuansa kerinduan terhadap sang jenderal pun menguat.


PinterPolitik.com

“[dropcap]P[/dropcap]iye kabare? Enak jamanku toh?” Ungkapan tersebut kerapkali hilir mudik di media sosial. Disertai dengan foto Soeharto sedang melambaikan tangan, ungkapan tersebut menjadi pernyataan akan kerinduan terhadap satu rezim: Orde Baru.

Kini, 20 tahun setelah reformasi, nampaknya kerinduan pada rezim 32 tahun tersebut tidak juga luntur. Sebuah survei yang dirilis oleh Indo Barometer menunjukkan sebuah fakta yang dapat membuat malu pemimpin era pasca reformasi. Pada survei tersebut, disebutkan bahwa Soeharto adalah presiden Indonesia paling berhasil.

Berat untuk diakui, bahwa sentimen kecintaan pada presiden kedua republik ini memang masih ada. Terlepas dari berbagai isu HAM dan korupsi yang menerpanya, beberapa elemen masyarakat memang masih memendam kecintaan pada jenderal bintang lima tersebut.

Lantas mengapa masyarakat masih menganggap Soeharto sebagai presiden paling berhasil di republik ini? Apakah murni soal kebijakan dan pembangunan? Ataukah ada unsur lain yang membuat presiden terlama ini seolah sangat dirindukan masyarakat?

Petir 20 Tahun Reformasi

Survei Indo Barometer boleh jadi bukan temuan pertama yang mengungkap kerinduan masyarakat terhadap Soeharto. Meski demikian, survei tersebut hadir bak petir karena muncul bertepatan dengan peringatan 20 tahun reformasi.

Dalam survei tersebut, disebutkan bahwa publik menilai Soeharto adalah presiden paling berhasil dengan perolehan 32,9 persen. Di bawahnya, ada Soekarno dengan persentase 21,3 persen masyarakat yang menganggap ia paling berhasil.

Di urutan ketiga, bertengger presiden petahana  Joko Widodo (Jokowi) dengan perolehan 17,8 persen. Di bawah Jokowi, ada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan persentase 11,6 persen.

Urutan keempat dan kelima diisi oleh BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan persentase masing-masing 3,5 persen dan 1,7 persen. Di urutan paling buncit, ada Megawati Soekarnoputri yang hanya mendapat 0,6 persen.

Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari, hasil tersebut seolah mempertegas penemuan mereka sebelumnya. Mereka pernah melakukan survei serupa di tahun 2011 yang menunjukkan bahwa Soeharto adalah presiden paling berhasil menurut masyarakat.

Jika dilihat secara umum, menurut sosiolog UGM Najib Acza, anggapan semacam itu bukanlah sebuah fenomena yang benar-benar ganjil. Menurutnya, fenomena itu dapat muncul di negara-negara yang tengah mengalami proses transisi di mana terjadi kejenuhan terhadap proses demokratisasi yang menemui sejumlah kegagalan. Hal ini membuat masyarakat mulai menengok ke masa lalu.

Romantisme Kepemimpinan Masa Lampau

Hasil survei yang menyebut bahwa Soeharto adalah presiden paling berhasil sebenarnya dapat dipandang sebagai sebuah romantisme. Ada nuansa nostalgia yang kuat di mana sebagian besar masyarakat masih banyak mengenang kejayaan masa lalu terutama di era Soeharto.

Kondisi tersebut memiliki keterkaitan dengan pandangan dari James R. Meindl tentang Romance of Leadership. Menurut Meindl, Romance of Leadership dapat didefinisikan sebagai tendensi untuk melihat kepemimpinan sebagai faktor yang paling penting dari kesuksesan atau kegagalan.

Menurut Michelle C. Blig, ada tiga tema utama yang melatari formulasi Romance of Leadership tersebut.  Yang pertama adalah adanya bias terhadap suatu kepempimpinan. Yang kedua, adanya karakteristik, persepsi, dan motivasi pengikut dalam menginterpretasikan tingkat kesuksesan suatu pemimpin. Yang ketiga, adanya konstruksi sosial dari suatu kepemimpinan, termasuk konstruksi atau dekonstruksi di media.

Terlihat bahwa ketiga tema tersebut melatari munculnya hasil survei Soeharto sebagai pemimpin yang berhasil. Jika diperhatikan, memang ada bias terhadap kepemimpinan Soeharto. Hal ini terutama berkaitan dengan lama masa berkuasa pemimpin berlatar militer tersebut.

Bagi banyak pihak, sangat wajar jika kepempimpinan sang jenderal dianggap paling berhasil karena ia memimpin selama lebih dari 32 tahun. Di masa tersebut, ia dapat berbuat banyak hal dan membangun banyak infratruktur. Dalam waktu sepanjang itu, ia juga memiliki keleluasaan pada akses dana sehingga mudah membuat banyak kebijakan.

Soeharto memiliki keuntungan yang besar dengan masa kepemimpinan yang panjang tersebut. Hal ini membuat masyarakat cenderung bias dan sulit melihat kepemimpinan presiden lain sebagai sesuatu yang berhasil.

Di era terkini sisa-sisa kroni Soeharto dapat dikatakan masih mencengkeram erat sendi-sendi politik, ekonomi, dan sosial masyarakat. Menurut Vedi Hadiz, secara rezim, Orde Baru boleh saja sudah berakhir, tetapi kepentingan mereka tetap hidup. Hal ini membuat para kroni Soeharto masih bebas memberi interpretasi bahwa Soeharto adalah pemimpin yang baik. Mereka memiliki kemampuan untuk memelihara citra bahwa mantan Pangkomkamtib tersebut adalah pemimpin terbaik.

Secara khusus, saat ini muncul Partai Berkarya yang membawa nostalgia Soeharto sebagai tema utama. Tidak tanggung-tanggung, partai berlogo beringin tersebut menunjuk Tommy Soeharto sebagai ketua umum. Tommy dan Berkarya menciptakan nuansa bahwa masyarakat saat ini tengah menunggu kembalinya era Soeharto.

Kerinduan pada Soeharto juga terbangun melalui konstruksi yang dibangun melalui media. Berbagai aktor politik seperti Tommy atau tokoh lainnya misalnya gemar membawa keberhasilan Soeharto di media massa. Televisi atau surat kabar hingga saat ini masih sering mewartakan bahwa pria asal Dusun Kemusuk tersebut adalah presiden yang cukup sukses memimpin.

Tidak hanya di media massa, media sosial pun kini tidak ketinggalan mencitrakan Soeharto sebagai presiden yang berhasil. Meme ‘piye kabare’ merupakan salah satu contoh kecil bagaimana citra keberhasilan Soeharto dibangun di masyarakat.

Menurut Jorg Felfe, ada kecenderungan untuk melebih-lebihkan atau overestimation terhadap kepemimpinan seseorang. Padahal ada beragam kondisi eksternal yang harus diperhitungkan dalam memandang kiprah seseorang dalam suatu kepemimpinan untuk dapat dipandang gagal atau berhasil.

Dalam kasus Soeharto, ada beragam variabel lain yang luput diperhatikan sebelum tergesa-gesa menilai bahwa ia adalah presiden terbaik. Yang paling mengemuka adalah soal pelanggaran HAM yang banyak terjadi di eranya. Kasus penembakan misterius (petrus), berbagai kerusuhan, dan penculikan serta penghilangan aktivis harusnya diperhitungkan sebelum menentukan keberhasilan sang jenderal bintang lima.

Selain itu, Soeharto juga kerap diiidentikkan dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Rezim 32 tahun itu dianggap hanya memperkaya Soeharto dan kroni-kroninya. Tidak tanggung-tanggung, majalah Forbes menempatkan sang jenderal sebagai pemimpin paling korup di seluruh dunia.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, keberhasilan Soeharto merebut tahta presiden paling berhasil tidak lain karena romantisme. Ia menjadi presiden nomor satu versi survei tersebut lebih dikarenakan pribadinya sendiri, alih-alih kebijakannya.

Nostalgia di Asia

Jika dilihat dari survei tersebut, ada kencederungan romantisme dan nostalgia menjadi nuansa yang lebih kuat. Hal ini terlihat melalui dua presiden yang menduduki posisi teratas dari survei Indo Barometer tersebut.

Selain Soeharto, Soekarno menjadi presiden yang dianggap paling berhasil menjalankan kepemimpinannya di tanah air. Padahal, kedua orang presiden ini hidup di zaman yang amat lampau dan dapat dikatakan jauh dari generasi yang hidup saat ini.

Umumnya, romantisme ini berlaku pada negara-negara yang pernah memiliki pemimpin dengan karakter strong man atau orang kuat. Nuansa romantisme kepemimpinan ini sangat kuat terutama di kawasan Asia. Negara-negara seperti Korea Selatan, Malaysia, atau Tiongkok memiliki kesan nostalgia yang amat tinggi terhadap kepemimpinan orang kuat di masa lampau.

Di Korea Selatan, kepemimpinan Park Chung-hee dianggap masyarakat berhasil menaikkan pamor negeri ginseng tersebut. Anggapan masyarakat tersebut kemudian dimunculkan oleh sang putri, Park Geun-hye di era yang lebih modern. Nostalgia dinasti Park tersebut berhasil mengantarkan Geun-hye menjadi presiden Korea Selatan, meski tidak lama.

Kondisi serupa berlaku di negeri jiran Malaysia di mana sentimentalitas terjadi terhadap sosok Mahathir Mohamad. Mahathir dianggap sebagai pemimpin yang berhasil secara ekonomi, meski menyimpan sejumlah kelam dalam hal demokrasi. Tidak heran jika kemudian ia kembali ke tahta Perdana Menteri karena kerinduan masyarakat padanya masih tergolong dalam.

Tidak ketinggalan, nostalgia juga terjadi pada kepemimpinan Mao Zedong di Tiongkok. Di awal kepemimpinannya, Xi Jinping harus banyak memberikan penghormatan pada Mao agar kebijakannya direstui masyarakat. Pengaruh Mao mau tidak mau memang masih kuat di Negeri Tirai Bambu tersebut.

Jika diperhatikan, baik Chung-hee, Mahathir, maupun Mao memiliki karakteristik serupa dengan Soeharto. Mereka kerap dikategorikan sebagai pemimpin kuat atau strong man di mana kepemimpinan nyaris absolut di tangan mereka. Dengan kekuatan absolut tersebut, wajar kepemimpinan mereka dianggap berhasil sehingga muncul romantisme.

Oleh karena itu, sulit untuk dapat dinilai secara mutlak bahwa benar Soeharto adalah presiden paling berhasil di negeri ini. Nuansa romantisme terlihat lebih kuat ketimbang capaian-capaian berbau kebijakan. Terlihat bahwa klaim berhasil lebih terletak pada Soeharto sebagai figur, alih-alih Soeharto sebagai pembuat kebijakan. (H33)

Exit mobile version